***
Liberty melangkah cepat menuju ruang kelasnya. Ia sedikit terlambat waktu bangun pagi tadi. Kepalanya agak sakit, mungkin karena masuk angin.
Selangkah lagi masuk kelas, tangannya ditarik seseorang. Liberty pun menoleh, dan raut wajahnya semakin masam saat melihat Annabelle di belakangnya.
"Bisakah kita bicara?" pinta Annabelle dengan wajah memelas.
Liberty mengerutkan keningnya, melihat penampilan gadis pemandu sorak itu hari ini. Pakaiannya sedikit lebih panjang dari biasanya, dan wajahnya tanpa riasan tebal dan bulu mata palsu. Terlihat polos dan natural.
"Aku ada kelas, jika kau mau bicara sebaiknya nanti pada saat makan siang!" ujar Liberty seraya menarik tangannya perlahan.
Annabelle tak menjawab, namun sorot matanya tampak sedikit lega. Ia lalu mengangguk sambil tersenyum tipis. Liberty pun memasuki kelasnya.
Begitu jam makan siang, Annabelle sudah menunggu di kantin. Ia melambai riang begitu melihat Liberty celingukan mencari meja kosong untuk makan. Liberty lebih suka makan siang sendiri, karena lebih cepat tanpa harus banyak mengobrol tidak jelas. Tapi, karena tidak ada meja kosong lagi, dalam artian dia tidak nyaman jika berbaur dengan yang lain. Maka tidak ada pilihan lain yaitu menuruti ajakan Annabelle.
"Kau sendirian?" tanya Liberty heran, matanya mencari keberadaan teman Annabelle yang entah siapa itu namanya, yang ikut merisaknya waktu pertama masuk sekolah.
Annabelle menarik senyum hambar, "Dia tidak mau berteman denganku lagi karena aku bukan lagi kapten pemandu sorak," terangnya seraya menatap ke arah belakang Liberty.
Liberty ikut menoleh, dan benar saja, gadis yang dimaksud Annabelle itu, berada di meja bersama para pemandu sorak yang tampaknya memiliki kapten yang baru.
Annabelle mendenguskan tawa sinis. "Tidak ada yang benar-benar tulus berteman di sini!" ucapnya miris.
Liberty masih tak tahu harus berkata apa untuk berkomentar. Lagipula itu bukan urusannya. Ia pun mulai menyantap makan siangnya.
"Aku mau minta maaf soal semalam," ucap Annabelle tanpa basa-basi, sepertinya ia sudah mulai memahami karakter Liberty yang tidak suka bicara panjang lebar.
Liberty hanya menggumam menjawabnya. Annabelle menelan saliva, mulai gugup. Ia mengira Liberty akan marah dan mencacinya di depan umum, namun justru reaksi gadis itu terlihat datar seolah tak peduli. Itu membuatnya tidak nyaman.
"Liberty, kau boleh mencaci maki aku jika kau marah!" kata Annabelle, "aku tahu yang kami lakukan semalam hampir mencelakaimu!" lanjutnya, menggigit bibir merasa bersalah.
Liberty mengangkat kepala, menatapnya datar. "Tapi aku selamat," ujarnya ringan, "lain soal jika terjadi sesuatu, kalian akan mendapat balasan seumur hidup dari ayahku," tambahnya, matanya menatap dingin.
Annabelle mengangguk dengan gugup. Membenarkan yang dikatakan oleh Liberty. Ia merutuk dirinya sendiri karena mau saja menurut perintah Derek.
Liberty memperhatikan Annabelle yang terdiam. Sepertinya gadis itu tidak terlalu jahat, hanya tuntunan ketenaran yang membuatnya seperti itu. Dia seperti Claire yang kesepian.
Suara bel tanda istirahat berakhir, menyadarkan mereka. Liberty pun segera beranjak.
"Tunggu, Libb!" tahan Annabelle, Liberty berbalik menatapnya.
Annabelle tampak ragu untuk bicara, "Apa ... kita bisa berteman?" tanyanya.
Liberty mengerutkan kening, tersenyum. "Ya, kenapa tidak?" jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Being Your Mama
General FictionBlurb singkat : Davina yang harus berhadapan dengan anak remaja putri, dari Gregory Smith, tunangannya. Yang menolak kehadirannya sebagai calon istri ayahnya. Juga menghindari cinta segitiga yang menjebaknya bersama atasannya, Axel William Brighton...