***
Davina duduk di cafetaria kantor sambil menikmati secangkir kopi, selagi menunggu Greg menjemputnya. Ia tak bisa pergi dengan taksi karena Greg melarangnya. Maka ia pun akhirnya menunggu dengan sabar, meskipun waktu sudah hampir petang dan kantor mulai sepi.
Tangannya mengaduk isi cangkir dengan gelisah, sehingga kopi yang awalnya cantik dengan buih membentuk boneka di atasnya itu kini hanya menjadi kopi biasa yang bahkan sudah mulai dingin. Beberapa kali ia memeriksa ponselnya, namun Greg tak juga menjawab pesannya. Ditelepon pun tidak diangkat. Membuatnya berpikir kemana-mana dan mulai cemas.
"Kau masih disini?"
Davina mendongak, melihat Axel berdiri menatapnya heran. Laki-laki itu melihat sekeliling, cafetaria mulai sepi seiring para pegawai yang pulang satu persatu.
"Dia belum datang?" tanya Axel lagi, sembari tanpa permisi duduk di kursi di sebrang Davina.
Davina mengangguk, hanya menarik bibirnya mengiyakan. Sedikit tidak nyaman. Axel sendiri kemudian hanya diam sambil sesekali menatap wanita di hadapannya itu.
Sedang mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, ponsel Davina berbunyi. Ia segera meraihnya dengan cepat, dan sedikit mendesah kesal ketika melihat siapa yang meneleponnya.
"Ya, Mori?"
Axel memperhatikannya. Dilihatnya wajah Davina tampak terkejut dengan mata membelalak lebar.
"Baik, aku akan segera pulang!" Tutupnya kemudian.
"Ada masalah?" tanya Axel penasaran.
Davina menarik senyum pahit, gerakannya memasukkan ponsel ke dalam tasnya melambat.
"Liberty hilang, jadi Greg mencarinya sejak siang tadi," jawabnya, tercekat.
Axel mengerutkan kening. Davina jelas tengah menahan tangis. Ia bisa menangkap penyebabnya disini. Dan itu membuatnya marah.
"Dan dia sama sekali tak memberitahumu?!" kata Axel geram.
"Tidak apa-apa, mungkin itu karena dia terlalu panik," tepis Davina mengulas senyum tipis.
Axel menghembus nafas kasar, mulutnya ingin mengumpat namun ditahannya. Semakin emosi saat melihat Davina buru-buru mengusap sebutir air mata yang menitik di pipinya.
"Ayo, kuantar kau pulang!" tukas Axel hendak beranjak.
"Tidak usah!" tolak Davina cepat, "aku tidak ingin menambah masalah, maaf ..." lanjutnya lirih, lalu beranjak berdiri lalu melangkah keluar dari cafetaria.
Davina memang benar. Hanya saja bagaimana ia bisa menahan diri melihat wanita yang dia cintai, terlihat sedih seperti itu meski bibirnya tersenyum. Bagaimana bisa Greg sampai melupakan istrinya sendiri?!
Axel hanya mampu menatap tanpa tahu harus berbuat apa ketika melihat punggung Davina bergerak menjauh. Ia mengawasinya, jika dalam 5 menit tak ada taksi yang lewat, ia sendiri yang akan memaksa untuk mengantarnya.
Namun kali ini keberuntungan bukan di pihaknya, selang beberapa detik Davina berhenti di pinggir jalan, sebuah mobil taksi menepi. Dan tanpa menunggu lagi, Davina pun masuk ke dalam mobil.
Axel pun menghela nafas kesal. Tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan kunci mobil yang sedari tadi dipegangnya. Ia menoleh ke sekitar, cafetaria sudah tampak sepi. Selain pramusaji dan barista yang ada di station mereka, hanya dirinya saja yang duduk di sana. Pada akhirnya, laki-laki itu pun menghela nafas panjang, kemudian beranjak berdiri. Berjalan menuju ke parkiran dengan langkah lesu.
***
Pikiran yang kalut membuat Axel tanpa sadar membelokkan mobilnya ke sebuah klub malam. Mungkin sedikit minuman akan membuyarkan pikirannya, setidaknya untuk malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Being Your Mama
General FictionBlurb singkat : Davina yang harus berhadapan dengan anak remaja putri, dari Gregory Smith, tunangannya. Yang menolak kehadirannya sebagai calon istri ayahnya. Juga menghindari cinta segitiga yang menjebaknya bersama atasannya, Axel William Brighton...