31

10 7 0
                                    

Vanya keluar dari kamar, dia mendengar alunan gitar dan suara nyanyian laki-laki dari arah teras. Dia mengintip teras dari pintu yang terbuka sedikit. Ada Madeva yang sedang memangku gitar dan beberapa laki-laki lain yang tadi sore mengganggu Vanya saat makan, mereka bernyanyi bersama.

"Cinta tak mungkin berhenti

Secepat saat aku jatuh hati

Jatuhkan hatiku kepadamu

Sehingga hidupku pun berarti"

Berbagai macam jenis suara laki-laki bercampur jadi satu di sana.

Madeva tidak sengaja melihat wajah Vanya yang terlihat setengah, dia menghentikan petikan gitar nya.

"Sini Li," Madeva tersenyum, dia menepuk-nepuk kursi kayu yang kosong disebelahnya.

Vanya kikuk. Dengan malu-malu dia menghampiri Madeva, membelah barisan laki-laki lain yang mengelilingi Madeva. "Aduh ada Bu Bos. Awas woi"

"Silakan Bu Bos," Andika, salah satu dari pria disana mengusap-usap kursi yang kosong itu.

Vanya duduk disana dengan malu-malu.

"Lanjut," Madeva kembali memetik gitar nya.

"Cinta tak mudah berganti

Tak mudah berganti jadi benci

Walau kini aku harus pergi

'Tuk sembuhkan hati"

Vanya melirik Madeva yang sedang menggunakan hoodie putih dan celana boxer hitam pendek yang sedang menghayati lagu hingga petikan terakhir.

Madeva mengangkat kepalanya dan menurunkan tudung hoodie nya, dia menatap Vanya dengan dalam. "Tau lagu peri cinta ku?"

Vanya menahan nafasnya. "T-tau"

"Nyanyi ya?" Vanya mengangguk.

"Aduh, ribet nih masalahnya. Duduk bro," Andre menyuruh teman-temannya duduk di lantai, sedangkan Madeva dan Vanya duduk di kursi kayu.

Madeva menarik nafasnya dalam dan memulai petikan intro.

Vanya memejamkan mata nya hingga bait pertama dimulai.

"Di dalam hati ini, hanya satu nama

Yang ada di tulus hati kuingini," Vanya memulai dengan nada lirih. Madeva menatap Vanya dengan tatapan tulus yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Terlihat ada sebuah air mata yang siap meluncur.

"Kesetiaan yang indah takkan tertandingi

Hanyalah dirimu satu, peri cintaku

Benteng begitu tinggi

Sulit untuk kugapai." Madeva menjeda petikannya menuju reff. Vanya menahan nafasnya. Bibirnya sedikit bergetar menahan tangis.

Vanya menghela nafasnya. Dia mulai melanjutkan nyanyian itu dengan nada sedikit improvisasi. Madeva ikut memetik gitarnya.

"Aku untuk kamu

Kamu untuk aku

Namun semua, apa mungkin

Iman kita yang berbeda?

Tuhan memang satu

Kita yang tak sama

Haruskah aku lantas pergi

Meski cinta takkan bisa pergi?"

Petikan panjang menandakan lagu usai. Madeva menghela nafas. Madeva dan Vanya saling tatap, ada luka di masing-masing bola mata itu. Vanya berdiri dan masuk kembali ke Villa, karena tak kuasa menahan tangis, dia tak ingin terlihat lemah di depan Madeva. Vanya menuju balkon belakang, menatap ke depan. Pemandangan pohon cemara dan kolam renang terasa buram di mata Vanya. Vanya menangis dalam diam.

Madeva menunduk. "Kangen Li," batin Vanya. Naurel menghampiri Madeva, duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Vanya. "Sabar ya. Lu sadar kan emang ending nya harus begitu?"

Madeva mengangguk lemah.


🍁🍁🍁


Seusai berhasil mengontrol nafas nya lagi dan hati nya sudah kembali lega, Vanya berjalan menuruni tangga, dia mencium aroma bakar-bakaran di samping kolam renang—belakang Villa. Disana sudah ada para orang tua yang sibuk memasak dan beberapa anak kecil yang menunggu sosis dan bakso bakar matang dari bakaran. Ada Dita, Londra, dan Jefran disana.

"Woi bagi dong"

Mama Fira menyaut. "Sini lah woi." Vanya tertawa.

Vanya ikut berjongkok disamping teman-temannya. Vanya menatap sosis bakar yang setengah matang itu.

"Dari mana lu? Gua sama Londra nyariin"

"Teras atas"

"Ngapain?"

"Ngadem lah, masa mandi"

"Ye, sans dong"

"Nih sosisnya dah mateng, siapa mau?" 10 tusuk sosis diangkat dari atas alat bakar.

"Mau!" teriak Dita dan Vanya bersamaan.

"Anjir, sisain aku woi"

Semua orang berebut mengambil sosis-sosis itu. Baru saja matang, 10 sosis itu sudah ludes duluan.

"Eh Van, ambil gitar gua dong di kamar"

"Lah kan gitar lu Dit, ngapa gua yang ambil"

"Tolong kek hehe, sekalian suruh peserta pada tidur biar nanti bisa jurit malem"

Vanya menghela nafasnya. Dia meletakkan tusuk sate bekas sosis bakar nya di lantai lalu berjalan menaiki tangga.

Di tangga Vanya hanya menatap ke bawah. Hingga dia menabrak sesuatu. "Aduh." Vanya mengangkat kepala nya. Ada tangan Madeva yang menghadang. Posisi mereka ada dibelokan tangga. Punggung Vanya terpepet tembok. Mereka berhadapan sekarang. Jantung Vanya sangat ingin loncat dari tempat nya. Vanya tidak mau menatap balik mata Madeva yang berwarna coklat tua itu.

"Awas!" ucap Vanya dingin. Madeva diam tak bergerak.

"Awas Dev!" Vanya mendorong lengan Madeva yang melintang di depan dada Vanya itu.

"Kamu marah Li sama aku?"

"Marah apa sih Dev?"

"Dev?" Vanya diam.

"Li. Maaf..." ucap Madeva lirih.

Vanya tak menjawab, dia menunduk dan melewati Madeva lewat bawah tangannya.

Madeva menghela nafas melihat punggung Vanya yang sudah tiba di depan pintu kamar mentor.

Kamar mentor sedang sepi, banyak dari mereka yang ada di teras atas sedang bermain warewolf.

Vanya duduk di ujung kasur, kepalanya tertunduk. "Tanpa kamu minta maaf sebenernya aku udah maafin Madev. Tapi kalo kamu minta maaf lagi kaya tadi malah buat aku keinget kata-kata yang nyakitin dari kamu kemarin. Lagian kemarin kenapa cuek, sekarang tiba-tiba cair lagi?" Vanya mengusap wajahnya.

Dia bangkit berdiri setelah emosi nya reda. Mengambil gitar Dita yang masih terbungkus tas gitar. Lalu berjalan menuju kamar pria dan kamar peserta wanita untuk menidurkan mereka lalu mematikan lampu kedua kamar itu. "Bobo ya, nanti malem kita bakal ada games oke?"

"Oke Kak Vanyaaa." Vanya tersenyum. Vanya suka sekali anak-anak, tenang sekali hati nya melihat senyuman mereka.

Vanya menuruni tangga dan kembali ke teras belakang dekat kolam renang. Sudah ada Madeva ikut duduk disana. Vanya menyerahkan gitar kepada Dita.

"Nyanyi apa nih bro?"

''Photograph sabi Dit?"

"Sabi. Buka kunci nya di google dong." Vanya membuka laman google dan mencari kunci gitar untuk lagu photograph. Ketiga gadis itu duduk berdampingan. Madeva, Jefran, dan Naurel memperhatikan.

Vanya mulai bernyanyi dan Dita mengiringi Vanya, Londra hanya duduk menemani sambil menyantap bakso bakar.

"Suara Vanya bagus Dev." Madeva mengangguk menyetujui perkataan Naurel barusan.

Pertama dan NormaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang