36

22 4 0
                                    

"Ga mau, mau disembuhin Lia aja!" Madeva masih menolak keras ketika kaki nya mau disembuhkan oleh Mama Fira dan Ibu Londra. Vanya melihat jelas kejadian itu, dia baru saja tiba di halaman belakang dengan nafas terengah.

"Lia?" Madeva tersenyum melihat Vanya yang sedang mengatur nafas.

"Aku aja yang obatin Tante," Vanya berjongkok di depan Madeva diantara para ibu-ibu.

"Ye elu, dasar bocah," Ibu Londra kesal sendiri.

"Biarin ae lah Mam, ayo kita kedepan aja," Mama Fira menggandeng Ibu Londra.

"Vanya, tuh betadin, kapas, sama perbannya ye."

"Iya, makasih Tan." Vanya mengangguk.

"Iye. Gua ke depan ye," Mama Fira dan Ibu Londra pergi meninggalkan Vanya dan Madeva.

"Kenapa sih ga mau diobatin sama ibu-ibu? Kan mereka lebih paham. Lagian nanti kalo infeksi gimana?" Vanya memukul pelan bahu kanan Madeva. Madeva meringis lalu terkekeh.

"Mau nya sama Lia." Madeva tersenyum pepsodent. Vanya geleng-geleng melihat kelakuan Madeva.

"Cuci dulu luka nya, biar ga infeksi. Mau ga?"

Madeva menggeleng dengan bibir manyun. "Atit..."

Vanya menghembuskan nafasnya. "Gua bantuin." Madeva langsung menggeleng. "Oke!"

Vanya menuntun Madeva ke keran air dekat situ. Vanya membantu Madeva menggulung celana nya agar tidak terkena air. Vanya juga membantu Madeva untuk mengusap pelan darah yang sudah berhenti mengalir di betis Madeva.

"Perih Li," Madeva meringis. Vanya meneguk ludah nya. Air bekas membasuh luka Madeva penuh darah merah.

Setelah 2 menit kemudian, betis Madeva sudah bersih dari darah, sekarang sobekan akibat paku tadi terlihat jelas. Vanya ngilu melihatnya, kaki nya lemas. "Kok bisa gini?"

"Ga tau. Lia ga takut kan liat luka nya?" Madeva menatap Vanya.

"Insya Allah kuat. Udah ayo duduk lagi." Vanya menuntun Madeva untuk duduk lagi di kursi kayu yang tadi Madeva duduki.

Vanya berjongkok lagi di depan Madeva, membuka betadine dan kapas. Vanya meneteskan hampir setengah botol kecil betadine untuk menutupi luka Madeva. Madeva meringis. "Awh, sakit Li," tangan Madeva mengepal sempurna.

"Tahan. Balapan aja berani, kena paku nangis," Vanya memasang muka jutek.

Madeva tertawa. "Galak amat. Gemes"

Vanya mengerutkan alisnya. "Apanya gemes. Stres."

"Kamu gemes! Mau cubit..." Madeva gemas sendiri. Vanya menahan senyum.

"Tapi ga boleh sentuh-sentuh sembarangan. Iya kan?"

Vanya menatap Madeva. "Padahal gua ga pernah minta-"

"Tapi aku tau kalo itu ga boleh Li." Madeva menatap Vanya dalam dengan senyuman hangatnya. Mereka saling tatap beberapa saat hingga Vanya tersadar.

"Udah mulai kering kayaknya," Vanya mengecek luka Madeva. "Gua perban ya?" Madeva mengangguk. Vanya mengambil beberapa kapas, lalu menempelkannya sepanjang luka Madeva. "Pelan-pelan Li," Madeva memegang pergelangan tangan Vanya. Vanya mengangguk.

Vanya membuka perban yang masih terbungkus. Dia mulai melilitkan perban di betis Madeva yang penuh rambut. "Eh, lem nya mana?" Vanya tersadar, tidak ada plester perban di meja. "Pegang ini," Vanya menarik tangan Madeva untuk menahan ujung perban. Vanya langsung berlari ke dalam mencari kotak P3. "Jangan lari Lia, astaga," Madeva berteriak. Vanya menghiraukan.

Pertama dan NormaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang