38

23 7 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vanya mengerutkan alisnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vanya mengerutkan alisnya. "Ini berarti fix anak gasuku kemarin? Mentor SMP itu kan? Kenapa deh?"

"Save aja kali ya? Tapi ga usah bales, maless," Vanya tidak ambil pusing. Setelah menyimpan kontak mereka, dia memilih lanjut bermain game diponselnya.

 Setelah menyimpan kontak mereka, dia memilih lanjut bermain game diponselnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"HAH?!" pesan itu membuat Vanya menghentikan jari nya untuk bermain game. "Madev udah ngasih tau? Atau gimana sih ini?Ga beres banget jadi orang."

"Sumpah anjing ya tuh orang!" Vanya segera membuka kontak Madeva.

Vanya segera berganti pakaian lengan panjang dan celana bahan panjang dengan hijab sport hitam yang biasa dia pakai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vanya segera berganti pakaian lengan panjang dan celana bahan panjang dengan hijab sport hitam yang biasa dia pakai. Sambil menunggu Madeva datang, Vanya menyempatkan diri membuatkan teh manis hangat untuk menjamu Madeva. Tepat sekali setelah Vanya mengaduk secangkir teh manis hangat, suara motor Madeva terdengar di halaman rumah Vanya. Vanya segera berjalan ke teras sambil membawa secangkir teh tadi.

Madeva turun dari motor dan melepas helm nya. "Duduk," Vanya terlebih dahulu duduk di kursi kayu teras rumahnya, dia meletakkan teh hangat di meja yang menjadi penengah dua kursi kayu.

Madeva melepas jaket hitam dan duduk di satu kursi lainnya. "Kenapa?" tanya Madeva dingin.

Vanya bingung sendiri dengan nada Madeva barusan. "Lo ngasih tau ke orang-orang kalo kita putus?"

Madeva tidak menatap Vanya, dia masih menatap ke depan. "Iya. Kenapa?"

"Kenapa?! Lo gila ya?" emosi Vanya memuncak. "Lo ga tau kalo anak mentor SMP ngedeketin gua-"

"Karena itu," Madeva tersenyum sinis, dia menatap Vanya. "Gua tau dari awal mereka ngeliat lo. Gua tau mereka suka sama lo Li. Makanya, sepulang dari gasuku kemarin, gua langsung buka chat di grup yang isi nya Cuma mentor cowo. Gua bilang, kita udah putus."

Vanya terkejut bukan main. "Maksud lu begitu apa?"

"Siapa aja yang ngechat lu?" Madeva bertanya—bukannya menjawab.

"Andika, Bima, Iqbal." Madeva terkekeh.

"Maksud lu apa si Dev?"

"Dev?" Madeva mengerutkan dahi nya.

"Jawab!"

"Pengen aja liat mereka berantem. Gapapa kan?" Madeva tersenyum sinis.

Mulut Vanya terbuka mendengar itu. "Lo yang ngasih nomer gua?"

"Iya," jawab Madeva cuek. "Gua minum ya teh nya?" sebelum Vanya menjawab, Madeva sudah lebih dulu menyeruput teh hangat itu.

"Apa lo punya alesan lain untuk ngelakuin hal itu?"

"Ada," Madeva meletakkan cangkir teh. "Gua jadi tau yang bener-bener suka sama lo," jawab Madeva enteng. Kaki kanan nya naik ke kaki kiri nya.

"Lo jahat banget!" Vanya geram.

"Emang kenapa?" Madeva menoleh sekilas. "Toh gua udah ga bisa milikin lo kan?" Madeva membuang nafas nya. "Kalo salah satu dari mereka ada yang berhasil dapetin lo, gua bakal jadiin dia sebagai member geng motor gua-"

Vanya memotong. "Gua ga bakal respon mereka. Sampai kapan pun!"

Madeva menatap Vanya. "Lu ngecewain mereka dong Li? Biarin mereka berkompetitif"

"LU MAU JADIIN GUA SEBAGAI BAHAN REBUTAN?! IYA?! LO TUH MIKIR GA SIH?!" Saking emosi nya, Vanya jadi ingin menangis sekarang, mata nya berair.

"Li?" Raut muka Madeva berubah, menunjukkan penyesalan.

"Maaf Li. Astaga bodoh banget, ga mikir kesana Li, maaf. Aku terlanjur emosi," Madeva tertunduk.

"Gua ga mau tau. Pokoknya, lo yang harus bikin mereka berhenti ngejar gua. Apapun cara nya," Vanya meninggalkan Madeva sendiri di teras, dia mengunci pintu dan duduk di sofa dalam rumah nya. Satu air mata menetes.

Madeva mengusap rambut nya kasar. "TOLOL! MADEVA LO KENAPA SELALU CEROBOH SIH ANJING!" Madeva berteriak. Dia memutuskan pergi dari rumah Vanya dan menemui Jefran juga Naurel di caffee biasa mereka berjumpa.

Madeva datang dengan rambut berantakan dan muka kesal—kesal kepada diri sendiri. Dia duduk di kursi yang kosong. Jefran dan Naurel menatap bingung. "Kenapa lu?" Jefran bertanya.

"Panggil semua anak mentor SMP yang ingusan itu kesini. Sekarang!"

Sedetik kemudian, Jefran dan Naurel langsung membuka hp nya dan memberikan pesan kepada cowo-cowo mentor SMP.

20 menit menunggu. Mereka datang bersama-sama dengan seragam SMP lengkap.

"Bang, sorry lama, kita abis kerja kelompok," Andika mengulurkan tangan berniat memberi tos kepada Madeva dan teman-temannya. Namun itu tidak dibalas sama sekali. Mentor SMP itu jadi diam mematung, mereka merasakan ada yang salah disini.

"Ya udah ga usah basa-basi. Dengerin ini baik-baik," Madeva berbicara tanpa menatap salah satu dari mereka. Suara Madeva terdengar tegas dan dingin. Cowo-cowo berseragam SMP itu saling tatap dengan rasa takut.

"Gua sama Vanya emang udah putus. Tapi sampe ada yang berani ngechat dia, ngajak ngobrol dia, gangguin dia, gombalin dia, apa lagi nembak dia. Orang itu bakal jadi samsak hidup buat gua, Jefran, dan Naurel. Paham?" Mereka diam masih mencerna.

"PAHAM GA ANJING?!" Madeva meninggikan suara nya.

"P-paham Dev," mereka menjawab kompak.

"Bagus. Dah sana pergi," tangan Madeva memberikan perintah untuk keluar dari pintu. Dengan tergesah-gesah mereka pergi dari caffee tersebut.

"Kacau," Jefran terkekeh.





WOE, JANGAN LUPA VOTE NPDH?!

Pertama dan NormaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang