Di pintu masuk ruang tunggu ada 5 pasang kursi yang disediakan untuk peserta yang akan bertanding di lapangan A.
Vanya duduk dibelakang Dita, mereka mendapat bagan bagian bawah, warna merah. Hati Vanya terus mengucap doa, namun matanya tak henti mencari perempuan yang berat badannya tak jauh darinya, dia mencari lawannya.
5 menit menunggu, Dita dan Vanya dibawa ke dekat lapangan A. Kini giliran Dita. Vanya menyaksikan dari kursi dekat lapangan. Dita berhasil menang dengan point 21-15, Dita berhasil masuk ke final.
"Keren," batin Vanya bangga. Dita pergi meninggalkan lapangan menuju tribun. Setelah ini Dita harus bertanding sekali lagi untuk mendapatkan medali emas.
Vanya melihat kearah lawannya disebrang sana sedang melakukan stretching, tinggi lawannya hanya sedada Vanya.
"Bisa, kamu lebih tinggi dari dia. Main jarak, jangan mau dipeluk," ucap sabeum nya yang akan menjadi coach, sabeum yang masih muda. Vanya mengangguk, dia sudah memikirkan strategi.
Sabeum Vanya menghampiri. "Ayo, baca doa dulu." Vanya menurut, dia meletakkan kotak es, minum, dan head guard dilantai. Vanya berjongkok untuk membaca doa sebelum menginjak lapangan. Sabeum berjalan ke meja wasit untuk memberikan ID card Vanya.
Wasit memanggil "Khong (biru). Hong (merah)." Vanya memasuki lapangan dengan suara jantung yang tak kunjung berhenti. Sabeum Vanya duduk dikursi coach, bersiap memberi perintah. Fany, Madeva, Jefran, Naurel, Londra, Dita, dan orang tua menyaksikan Vanya dari tribun merah.
Vanya memasang head guard dikepalanya. Wasit memberi aba-aba hormat, Vanya memberi hormat kepada lawannya dan kepada coach lawannya.
Wasit memberi aba-aba serang. Vanya mengeluarkan teriakan maut untuk mengagetkan lawannya. Benar saja, satu detik kemudian muka lawan Vanya pucat pasi. Melihat itu Vanya langsung menyerang lawannya tanpa ampun.
--
Waktu tersisa 10 detik. Vanya mengakhiri ronde pertama dengan menendang muka lawannyta tersebut hingga hilang keseimbangan.
Wasit menghentikan permainan. Waktunya istirahat. Vanya menghampiri kursi coach dan mengambil minum. Coach Vanya berdiri mempersilahkan Vanya duduk. Vanya meneguk minumannya dan melihat TV yang menampilkan skor. 12-10.
"Sial? Gua nendang kepala dia udah lebih dari 10 kali point gua masih 10? Apa iya ga masuk?" batin Vanya.
"Bangun." Vanya berdiri. Coach Vanya menampar pipi Vanya dua kali.
"Liat itu point? Kejar point jangan yang lain. Lawan kamu udah takut itu ngeliat kamu, bonyok juga udah. Kejar point, paham?" coach mengelap keringat Vanya dengan handuk. Vanya mengangguk.
"Khong Hong." Vanya meletakkan minumnya kembali dan berjalan memasuki lapangan dengan berani.
Vanya menatap dalam mata lawannya. Terlihat kerut wajah takut disana. Wasit memberi aba-aba serang.
Lawan Vanya maju menyerang, Vanya menyambutnya dengan tendangan kepala dengan telapak kaki. Head guard terlepas dari kepala lawannya. Semua yang menonton heboh. Madeva tersenyum dari atas tribun.
1 menit berakhir, ronde kedua selesai. Vanya harus menerima kekalahan 23-20. Mata Vanya menatap lawan nya dengan tatapan benci. Hei, semua orang juga tau kalau Vanya lebih banyak menendang dari pada lawannya.
Master dan coach menunggu Vanya dipinggir lapangan. Vanya menghadap mereka dengan kepala tertunduk.
"Jelek banget si mainnya?" ucap Master.
Deg. Ingin rasanya Vanya marah saat ini juga. "Nendang kepala ga ada point," sambung Master.
"Ini Master, mungkin sensor kepala nya emang rusak, partai sebelumnya juga gitu, yang merah nendang kepala ga ada yang masuk," coach menimpali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertama dan Norma
Romantizm"Dev, ayo temenin aku sholat" - Aulia Livanya "Tapi kan aku ga sholat Li" - Madeva Niel Ini tentang kisah dimana sebuah tatap yang akan menjadi prolog dari permulaan kisah seorang gadis bernama Livanya mengenal cinta pertamanya. Kisah pertama yang h...