14

20 5 0
                                    


Dibawah langit yang cerah ninja hitam yang membawa sepasang kekasih sedang melintasi malam kota diantara gedung-gedung.

"Li, udah makan belum?"

"Udah. Madev mau makan?"

"Iya Li, laper"

"Ayo makan. Madev mau apa?"

"Yang enak apa ya Li?"

"Pecel leleh/pecel ayam?"

"Boleh. Kita cari mamang pecel sekarang," tanpa aba-aba Madeva menambah kecepatan motonya. Tangan Vanya reflek memegang jaket boomber Madeva. Madeva terkekeh.

Vanya memukul lengan Madeva. "Awh, sakit Li"

"Kamu sengaja ya? Kalo aku kejengkang terus guling-guling diaspal, terus masuk rumah sakit, terus..."

Madeva memotong. "Stt ga boleh gitu ngomongnya. Makanya pegangan aja Li"

Vanya menggelembungkan pipinya. "Dasar cowo"

"Cowo kenapa Li?"

"Cowo ga jelas."

Madeva tertawa. "Terus kenapa pacaran sama cowo?"

Vanya kembali memukul lengan Madeva, Madeva terkekeh. "Lo mau gua lesbi?"

"Ya jangan dong. Nanti aku sama siapa?"

"Sama Jefran sono, lu kan gay"

"Astaga Li amit-amit"

"Amit-amit apa amin amin?"

"Amin aku apa amin kamu?"

Vanya terdiam. "Madev, itu di depan ada tukang pecel," Vanya menunjuk kearah trotoar. Madeva mengarahkan motornya ke depan warung pecel. Vanya turun dari motor dan masuk terlebih dahulu, meninggalkan Madeva yang sibuk memarkirkan motor besarnya.

Madeva meghampiri Vanya dan duduk disebelah Vanya. "Kamu mau apa?"

"Ayam aja. Sama es teh manis"

Madeva menggeleng "Udah malem Aulia, nanti kamu sakit aku yang digebukin Mama"

Vanya mengerucutkan bibirnya. "Oke. Teh manis anget"

Madeva mengangguk. Dia bangun dan menghampiri penjual pecel ayam yang sedang sibuk membungkus pesanan. "Mas, pecel ayam 2. Teh manis anget 2."

"Oke mas, ditunggu ya." Madeva kembali duduk diposisinya tadi.

Madeva menyadari tatapan kosong Vanya sedari tadi mereka tiba disini. "Kamu kenapa Li?"

Vanya menggeleng. "Gapapa."

"Bohong," Madeva menangkup rahang Vanya. "Sorry," Madeva melepas rahang Vanya.

Vanya mengerutkan keningnya. "For?"

Madeva menunduk. "Sorry aku megang-megang kamu tanpa izin"

Vanya tersenyum getir. "Madev"

Madeva mengangkat kepalanya. "Ada apa Li?"

Mereka berdua saling tatap. "Aku mau kamu seutuhnya Madev. Tapi aku tau itu mustahil." Vanya menunduk. "Kamu ngejaga aku dengan baik. Baik banget." Vanya menatap Madeva yang sedang terdiam disebelahnya. "Kita sama-sama kuat. Semua yang kita jalanin ini sebenarnya mau dibawa kemana?"

Madeva tertunduk lesu, dia menghembuskan nafasnya. "Kita sama-sama kuat Li. Sama-sama kuat menyembah Tuhan yang berbeda."

"Kita juga Cuma menunda perpisahan Madev"

Madeva mengangkat kepalanya. "Maksud kamu? Kamu mau pisah?"

Vanya menggeleng. "Kalo bisa selamanya-- aku mau selamanya." Vanya menatap kosong kedepan. "Aku sering nangis tiba-tiba setiap malam sebelum tidur. Aku mikir 'kenapa takdir seakan ga berpihak', maaf Madev kalo aku terlalu overthinking"

Madeva mengelus pelan punggung tangan Vanya. "It's oke, kamu sayang kan sama aku?" Vanya mengangguk. "Kamu overthinking karena ga mau pisah kan? Aku paham Li. Makasih ya?" Madeva tersenyum menatap kekasih yang sangat dia cintai itu.

"Aku suka kamu bukan karena apa Li. Sejak pertama kali lihat kamu pake hijab walaupun latihan, rasanya adem banget." Madeva mengusap pelan ujung kerudung Vanya. "Jangan pernah dilepas sampe kapan pun, kecuali suami kamu. Aku bakal bantu suami kamu buat ngejaga kamu."

Vanya menatap Madeva, matanya sudah mulai berair. "Tuhan jahat.." Madeva membungkam mulut Vanya. "Don't say that Aulia Livanya!"

Vanya tertunduk dan menangis. "Sorry"

Mas penjual pecel mendatangi meja mereka membawa pesanan yang mereka pesan. "Makasih Mas"

Madeva menghembuskan nafasnya melihat Vanya menangis, sungguh hatinya teriris. "Li, aku minta maaf. Maaf kalo aku sering ganggu pikiran kamu."

Vanya mengambil dua lembar tisu didepannya. "Aku cengeng." Vanya menghapus jejak air mata nya.

Madeva melepas salib dilehernya. "Coba kamu lihat Li"

Vanya menatap Madeva yang sedang menatap rosario nya. "Tuhan aku dan Tuhan kamu punya rencana kenapa membuat alur kisah kita begini. Walaupun sesaat, seenggaknya aku udah diizinin buat milikin kamu."

Vanya menatap mata Madeva. "Sebersyukur itu kamu bisa dapetin aku?"

Madeva mengangguk. "Setiap ke gereja. Aku selalu bilang makasih ke Tuhan, karena udah ngirimin bidadari cantik yang jago taekwondo, pintar, dan cantik ini. Ya walau bidadari nya sedikit bar-bar si"

Vanya tertawa. "Aku harus bersyukur juga ya Madev?" Madeva mengangguk.

"Alhamdulillah."

"Puji Tuhan," sambung Madeva. "Udah ayo makan, kasian ayam nya dikacangin." Madeva meletakkan satu piring berisi ayam, nasi, dan lalapan ke depan Vanya. Madeva mengelap ujung sedotan minuman Vanya menggunakan tisu dan memberikannya ke Vanya.

Vanya memperhatikan Madeva sambil memasukan tangannya di mangkuk yang berisi air dan jeruk nipis. "Makan yang banyak." Vanya mengangguk. Dia mengeringkan tangannya dan mulai melahap makanannya. Begitu juga dengan Madeva.

"Ternyata Jefran asik ya? Tapi kenapa sama yang lain kaya orang bisu?" Vanya menyeruput teh hangat.

"Karena Jefran dan Naurel anti cewe." Madeva terkekeh sendiri. "Bercanda. Ga tau aku Li. Jefran mungkin karena obsessed sama motor dan balapan, jadi lupa kalo ga punya cewe. Kalo Naurel karena dia ga ngerti cara treat cewe. Sedikit ga nyambung, intinya mereka kaku kalo bersosialisasi sama cewe." Vanya mengangguk paham.

"Kalo kamu? Friendly sama semua orang." Madeva memotong. "Termasuk orang tua di club kan?"

Vanya menatap sinis Madeva. "Alibi yang bagus."

Madeva tertawa.

5 menit mereka fokus kepada makanan masing-masing. "Terimakasih udah mau jadi bagian dari penggalan hidup aku." Madeva berbicara tulus.



HALO SEMUA. GIMANA NI REAKSINYA WKWK?

Pertama dan NormaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang