BAB 25 - TERKABUL

106 13 3
                                    

"pokoknya kalau sudah dekat kota Watureng,.. aku akan pergi kesana,.. siapa tahu bisa bertemu dengan jodohku,.. pemuda tampan, kaya dan terhormat,.."

Demikian kata Wulan sambil berjalan lenggak-lenggok begitu kenes dan menggemaskan sambil tangan kirinya memegang daun pisang untuk menutupi kepalanya agar terlindung dari sinar matahari.
Melihat keceriaan gadis itu Kinda, Ni Luh dan Laksita saling tatap dan tersenyum.

"bukankah kemarin,.. waktu,.. di pulau sudah ketemu yang seperti itu?,.."

Goda Kinda, dimana dia tadi sempat menghentikan ucapannya sambil celingukan ke arah kiri belakang, tempat dimana Werni tadi pergi menghilang untuk buang air kecil sambil membawa kantong airnya.
Dan demi melihat yang dimaksud belum muncul, diapun menyelesaikan ucapannya.
Wulan yang mengerti maksud Kinda, berbalik sebentar dan segera menjawab namun dengan lirih :

"iya tampan sich,... tapi (dia membuat kode ibu jari menunjuk ke bawah) nggak jauh beda kayak (dia memonyongkan bibirnya ke arah yang dilihat Kinda barusan, maksudnya adalah suami Werni) huhhh,.. membosankan,.."

Tentu saja jawaban itu membuat ketiga gadis lainnya tertawa geli.

"apa ada yang aku lewatkan?,.."

Teriak Werni yang muncul beberapa saat kemudian dari rerimbunan pohon di belakang sana, sambil berlari mendekat ke arah mereka.

Laksita yang menyahut :

"biasa,.. kayak nggak tahu aja kelakuan si centil satu ini,.."

Sambil dia melempar setangkai bunga kecil ke arah Wulan.
Demikianlah mereka melanjutkan perjalanan pagi itu.
Wulan lagi-lagi meneruskan celotehnya sambil jarinya menunjuk ke jauh di belakang sana, arah rombongan pedati yang dipimpin oleh Waseso seorang yang jauh tertinggal :

"lihat tuh kak Waseso,.. tadi sebelum berangkat, udah dibelain Kinda untuk mengumpulkan rumput-rumput gemuk agar tidak selalu berhenti,.. eeee,.. masih ada aja yang dilakukannya, malah memetik kelapa muda,.."

Keempat gadis ikut menoleh ke belakang dan memang benar, si pemuda sedang nangkring di pucuk pohon kelapa sana.
Tentu saja mereka berlima serentak kembali tertawa geli.

Menjelang siang, mereka melewati area bekas sawah ladang disebelah kiri mereka, yang terlihat terbengkalai dipenuhi berbagai tanaman liar.
Menandakan bahwa mereka akan segera memasuki sebuah perkampungan penduduk.

Dan benar saja,..
Tidak beberapa lama kemudian mereka melihat di sebelah kiri di balik rerimbunan pohon bambu dan pohon kelapa, nampak puluhan atap rumah-rumah penduduk.
Saat mereka sudah tiba di pertigaan jalan yang kekiri adalah jalan masuk menuju perkampungan tersebut, Kinda berkata :

"kakak sekalian tunggu disini sambil menanti kak Waseso tiba,.. biarlah aku periksa ke dalam,.."

Selesai berkata demikian Kinda melenting dan masuk kedalam perkampungan atau lebih tepatnya bekas perkampungan, karena sebagian besar pintu serta jendela rumah-rumahnya terbuka melompong.

Belum lagi dari sini juga terlihat beberapa dinding rumah yang terbuat dari papan, banyak yang bolong.
Kemudian Wulan dan Werni juga ikut menyusul Kinda.
Sekarang tinggal Ni Luh dan Laksita yang tersisa, nampak memandang ke kampung tersebut dengan pandangan prihatin.

Beberapa saat kemudian, ketiga gadis tadi nampak berjalan kembali ke pertigaan.

"bagaimana?,.."

Ni Luh yang bertanya setelah ketiganya mendekat.

"tidak ada tanda kehidupan,.."

Balas Wulan dimana Werni melanjutkan :

"sebaiknya kita tunggu saja, biar adik Waseso yang memutuskan,.."

Pendekar Dibalik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang