BAB 40 - PELAJARAN KETIGA & KEEMPAT

110 12 2
                                    

Waseso berkelebat pergi seperti kesetanan melompati genteng satu ke genteng lain.
Napasnya memburu kencang, bersamaan dengan seluruh muka yang terasa panas.
Beberapa warga yang kebetulan melihat sekilas bayangan kelebatannya,..
Sempat dibuat terpana dengan pemandangan bayangan hitam besar yang mereka lihat seperti terbang melintas di ketinggian sana.

Akhirnya Waseso sampai di sebuah atap rumah kosong, karena tidak terlihat bias lampu penerangan yang keluar dari dalam bangunan tersebut.
Maka sambil merebahkan tubuh dan memandang pekatnya langit diatas sana, dia mencoba mengatur napas sekaligus sambil mencoba menata kenangan atas "pertempuran" dahsyat yang saat ini berseliweran secara acak dalam otak.

Tak lama kemudian, keduanya berhasil dia kendalikan dan ibarat menonton slide demi slide tiap adegan tadi secara lambat,..
Dirinya tidak bisa  menutupi wajah keheranan atas kebrutalan si wanita, serta begitu jauh bertolak belakang dengan adegan dimana dia menyaksikan Werni, yang menurutnya meskipun kalem,..
Lembut, syahdu dan sebentar saja,..
Namun mengapa lebih erotis?,..

Bila diperbandingkan,..
Sangat jelas bahwa baik dari bentuk badan maupun wajah?,..
Tentu saja tubuh Werni jauh lebih molek dan wajahnya lebih cantik jelita dibandingkan perempuan tadi,..
Tetapi yang menjadi pusat pemikiran si pemuda adalah ekspresi wajah keduanya juga sangat jauh berbeda,..

Jelas dalam ingatannya, bagaimana rona merah yang menyebar di kedua pipi Werni saat itu, ditambah dengan kilatan cahaya rembulan yang membias indah pada butiran keringat di dahinya, terlihat demikian syahdu mempesona,..
Sementara meskipun ekspresi wajah perempuan tadi walau membuat "adiknya" meronta, namun dirasakannya seperti ekpresi wajah liar dan buas,..

Ketika si pemuda kemudian secara serampangan "membetulkan" letak batangnya yang tegak dengan sempurna?,..
Seketika itu juga dia menunjukkan kekagetan seperti baru saja disengat kalajengking.
Otomatis badannyapun langsung terduduk, dimana masih dalam kondisi tangan kiri menggenggam sang batang yang terbungkus celana rangkap.
Disitulah dia menyadari sesuatu.

Yaaa,..

Waseso baru ingat dengan yang sudah dilihatnya selama ini, mengapa "batang" kang Daruna dan milik pendekar muda tadi,..
Tak sebesar dan sepanjang seperti miliknya sendiri???,..

Inilah si pemuda dusun yang tidak pernah sekalipun bergaul secara normal dengan teman sejenis dan sepermainan, dari sejak bocah hingga tumbuh menjadi pemuda.
Dimana obrolan seputar asmara antara lelaki-perempuan dewasa, tak sekalipun melintas di pendengaran.

Maka ibarat masalah satu belum terpecahkan, kembali dia mencari persoalan baru.
Sehingga kepalanya semakin dipusingkan dengan pikiran baru yang bergabung dengan memori dua "pertarungan" yang telah dilihatnya.

Namun demi ingatannya kembali pada teknik sederhana yang dahulu pernah dilakukan?,..
Dengan menyeringai, Waseso  melenting dan hinggap di jalan umum serta langsung berlari kecil tanpa mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

Tentu saja setiap orang yang berpapasan dengannya, secara spontan menggelengkan kepala dan mengernyitkan dahi tanda keheranan.

Bagaimana tidak?,..

Seorang pemuda berpakaian aneh sedang berolah raga lari malam ditengah kota?,..

Saat Waseso sedang melintas di depan sebuah kedai, dirinya seperti ingat sesuatu,..
Lalu memperhatikan kedai yang luas itu dan berpenerangan lampu yang meskipun terang benderang namun sangat nyaman dilihat serta tidak menyilaukan mata.

Pengunjung kedai itu juga belum terlalu ramai, karena waktu juga belum ada jam delapan malam.
Dan biasanya semakin malam malah semakin ramai pengunjung terutama pemuda-pemudi kota.

Pendekar Dibalik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang