Pagi itu,..
Sekitar sejam setelah matahari terbit Waseso yang masih merasa nelangsa,..
Sempat berjalan melintas di dekat penginapan dimana banyak kerumunan orang disana,..
Namun karena merasa tidak berkepentingan, dia berbelok ke kiri dan berjalan sambil merenungi kemalangannya sendiri.
Saat dia baru saja menyeberangi sebuah perempatan jalan sebelum pasar kota, dia dikagetkan oleh suara pelan disampingnya :"ayo anak muda,.. kita makan sarapan gratis,.."
Kata seorang lelaki tua sambil menggandeng istrinya.
Pakaian mereka lusuh dan jelas menampakkan dari golongan orang susah."iya kek,.."
Jawab Waseso sambil lalu.
Kemudian dilihatnya sepasang orang tua tadi bergabung dengan dua pasang suami istri yang terlihat lebih muda, juga dari arah kiri dan mereka sepertinya berasal dari golongan yang sama.
Tanpa sadar si pemuda mengekor di belakang mereka berjalan pelan.Kemudian sampailah rombongan mereka di sebuah kedai makan yang sepertinya terlihat masih baru, berdiri di samping sebuah bangunan kedai beras.
Waseso melihat ada sekitar delapan orang yang baru saja keluar dari kedai makan,..
Pakaian mereka juga sama dengan rombongannya.
Sampai disini, barulah Waseso menyadari kenapa lelaki tua tadi mengajaknya."pasti karena penampilanku yang tak jauh berbeda dengan mereka,.. ahhh,.. serasa di dapur umum perkampungan pengungsi,.."
Karena ingin tahu, kembali si pemuda mengekor pergerakan mereka yang secara otomatis seperti berjajar rapi menunggu giliran,..
Sebagaimana arahan seorang penjaga keamanan yang mengatur para tamu kedai dengan penuh sopan santun.
Ketika dilihatnya ada enam orang lain keluar dari kedai, antrian si pemuda juga bergerak memasuki pintu kedai :"mari,.. mari,.. pakde,.. bude,.. mari silahkan masuk,.. jangan sungkan, silahkan makan sepuasnya,.. ayo,.. mari anak muda,.."
Demikian Waseso juga mendapat sambutan ramah.
Saat makanan di piringnya tersisa sekitar tiga suapan,..
Dari dalam belakang kedai nampak muncul seorang lelaki sekitar enampuluh tahunan,..
Berpenampilan sederhana dan bersih, serta wajahnya jelas menyiratkan aura kebahagiaan, meskipun tangan kirinya buntung sebatas lengan.Dibelakangnya berjalan beriringan dua orang yang sudah pernah di lihat Waseso sebelumnya :
"loh,.. ada apa ibu dan puterinya kemari?,.."
Sambil membatin, si pemuda menggeser duduknya ke kanan dan wajahnya dia sembunyikan dibalik tiang kayu penyangga rumah kedai.
Dilihatnya lelaki buntung tadi menyapa ramah beberapa orang yang sedang makan disebelah kiri si pemuda.
Waseso melanjutkan suapan hingga dia seperti tersedak, demi mendengar lelaki buntung tadi berkata :"jadi selain kedai beras tadi, saya juga membuat kedai ini,.. karena ingin mencontoh dan mengembangkan perbuatan mulia nona pendekar Wulan, yang telah menolong kami sekalian,.."
"jadi kedai ini memang dikhususkan untuk saudara kita yang belum beruntung ya?,.."
"benar nona dan kami tidak memungut biaya sama sekali,.. mereka juga bebas datang,.. juga bebas makan,.."
Kemudian mereka bertiga berbalik melewati jalan yang sama.
"apakah yang dia maksud tadi adalah adik Wulan ku?,.."
Demikian Waseso membatin.
Kemudian dia tersenyum demi mendapat sebuah ide.
Si pemuda, kemudian keluar kedai dan benar saja, dilihatnya satu orang penjaga keamanan yang bergantian tugas dengan temannya dalam mengatur antrian?,..
Seperti sedang menikmati giliran istirahat dan duduk mengaso di samping kedai beras, dibawah dua tanaman kelapa hias yang ditanam berdampingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Dibalik Layar
General FictionSebuah kisah yang menceritakan tentang bocah lelaki berusia delapan tahun, yang harus bertahan hidup demi memenuhi janji terakhirnya kepada mendiang kedua orang tua serta berbagai pilihan yang harus dia ambil dalam upaya melukis takdirnya sendiri. ...