Sehun kembali mencoret beberapa angka pada bukunya, lalu menuliskan angka lain sebagai penyelesaian dari soal yang sedang ia kerjakan. Beberapa kali ia berhenti dan menggelengkan kepala saat jawaban yang ia tulis tidak sesuai. Beberapa buku tertumpuk di samping lengannya yang masih aktif menulis.
Sudah hampir sore, dan Sehun masih betah berada di perpustakaan. Tidak banyak yang datang hari ini. Sehun hanya melihat sekelompok murid lain yang beberapa saat lalu saling berdebat dan akhirnya mendapat teguran dari penjaga perpustakaan karena terlalu berisik.
Sehun baru saja ingin berdiri untuk mengambil buku lain sebagai referensi, saat dua buah tangan menahan bahunya dan memaksanya duduk kembali.
"Kau belajar sangat keras," kata Jongin sambil menyerahkan satu cup bubble tea pada Sehun.
"Aku harus mempertahankan beasiswa ku," sahut Sehun, kemudian menyesap minuman kesukaannya itu. "Terima kasih," lanjutnya sambil menggoyangkan cup bubble tea yang dibawakan Jongin.
Jongin mengambil salah satu buku, membuka tiap lembarnya tanpa berminat untuk membaca. Kadang, pola-pola rumit pada buku matematika cukup menyenangkan untuk sekedar dilihat.
"Kita masih kelas dua, tidak ada salahnya bersenang-senang dulu ," gumam Jongin.
Sehun berhenti menyesap buble tea-nya dan memilih menyandarkan punggung pada kursi kayu perpustakaan. Penjaga perpustakaan yang telah di kenal baik oleh Sehun terlihat menyusun beberapa buku di bagian teratas rak menggunakan tangga.
"Aku sangat ini pergi ke Jerman." Sehun berkata sambil terus memperhatikan penjaga perpustakaan yang kembali menuruni tangga.
"Aku yang akan membawamu ke Jerman untuk liburan jika kau tidak bisa kuliah disana." Sehun mendengus mendengar ucapan Jongin. Sedangkan pemuda itu hanya cengengesan di depannya.
"Orang kaya dan pemikiran dangkalnya," sindir Sehun namun Jongin tidak mempermasalahkan hal itu.
Sehun kemudian mengambil salah satu buku di sampingnya, membuka beberapa halaman lalu menunjukkannya pada Jongin.
"Kau pintar dalam kalkulus. Bantu aku menyelesaikan bagian yang ini."
Jongin berdecak malas, namun tetap bergerak untuk berpindah tempat duduk ke samping Sehun. Tangannya sudah siap dengan sebuah bolpoin saat Sehun kembali menyela.
"Ku dengar kau jadi sukarelawan untuk festival sekolah."
Jongin mengangguk, "aku bosan di rumah," sahutnya sambil menyelesaikan soal yang diberikan Sehun.
Jongin dan Sehun itu sama. Sama-sama tidak suka ikut kegiatan yang membuat repot. Maka saat mendengar dari Chanyeol kalau Jongin mengajukan diri dengan sukarela untuk membantu persiapan festival sekolah, dia agak heran. Biasanya Jongin lebih memilih mengajak Sehun bermain PS di rumahnya atau pergi ke game center.
"Seolhyun juga ikut," imbuh Jongin. Sehun membulatkan bibirnya membentuk huruf 'o', akhirnya paham.
"Seperti ini." Jongin menyerahkan buku catatan yang sudah ia selesaikan. Sehun mengerjap, sadar jika sejak tadi dia tidak memperhatikan soal-soal itu.
"Oh? Aku masih tidak mengerti." Dia berkilah.
Jongin berdecak, kemudian merebut kembali buku catatan milik Sehun. "Aku akan jelaskan sekali lagi dengan cara yang paling mudah untuk murid sepertimu."
Sehun hanya memutar bola matanya sambil memperhatikan Jongin yang mulai menjelaskan beberapa soal kalkulus yang tidak dimengerti olehnya.
Perpustakaan memang selalu menjadi tujuan Sehun untuk belajar. Meskipun di kenal selalu membuat onar di sekolah, teman-temannya tidak lagi heran melihat Sehun menghabiskan waktu di perpustakaan hingga lupa diri. Sehun tidak pernah terlihat sendirian di perpustakaan, kadang Chanyeol datang untuk sekedar membaca buku di sampingnya, kadang Jongdae yang hanya numpang tidur siang atau Jongin yang datang dengan satu cup bubble tea dan akhirnya belajar bersama.
"Kenapa....masih sulit?" Sehun menggaruk lehernya yang tidak gatal tanpa mengalihkan tatapannya dari deretan angka yang baru saja di tuliskan Jongin.
Jongin meletakkan bolpoin miliknya lalu beranjak menuju rak buku tidak jauh dari Sehun. Matanya awas memperhatikan tiap buku yang tersusun rapi di bagian tengah rak. Tangannya akan bergerak mengambil buku dan membuka-buka halamannya sebelum meletakkannya kembali saat tidak sesuai dengan apa yang dia cari.
Semua itu tidak lepas dari mata Sehun. Dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja, Sehun mengawasi Jongin. Memperhatikan tiap gerakan kecil yang dilakukan pria itu.
Matahari sore yang membias di kaca besar perpustakaan memantul tepat kearah Jongin. Membuat dia layaknya lukisan hidup yang berdefinisikan indah. Semua tentang Jongin bukan hanya ketampanan. Jika di dunia ini ada hal yang tidak bisa didefinisikan bahkan dengan ribuan kata indah, maka bagi Sehun, Jongin lah hal tersebut.
Ia tidak tau dengan pasti sejak kapan kegiatan memperhatikan Jongin menjadi hobinya. Ia tidak tau apa yang membuatnya tak bisa melepaskan pandangan dari Jongin begitu saja, seolah menyayangkan tiap hal yang terlewat. Yang ia tau, ia memiliki batas tak kasat mata.
Batas yang selalu menahannya untuk tetap memperhatikan dalam diam. Batas yang berteriak keras melarangnya menaruh harapan. Batas yang selalu membuatnya menahan diri sewajar mungkin. Batas berjurang yang membuat senyumnya terlihat begitu memilukan.
Namun Sehun telah melanggar salah satu batas tersebut. Melewatinya tanpa peduli pada duri-duri tajam yang nanti mungkin akan melukai langkahnya. Kata orang, cinta pertama tidak pernah berhasil. Sehun meyakini itu. Melihat bagaimana kisah cinta ibu dan ayahnya.
"Cinta pertama tidak pernah berhasil. Lalu, apakah dia bisa jadi cinta terakhirku?"
Sebuah suara senyap.
Berubah menjadi sebuah lagu tentang dirimu.
###
Setelah dari perpustakaan, Jongin mengajak Sehun untuk mencari makan malam. Dia berencana untuk menginap di asrama Sehun malam ini karena sudah terlalu malas pulang ke rumah yang jaraknya cukup jauh.
Mereka menyusuri jalan sepanjang Cheongdam-dong yang tidak pernah sepi. Toko-toko kue dan fashion sudah mulai menyalakan lampu. Jingganya langit menjadi pemandangan yang cukup indah karena matahari terbenam tidak tampak dari tengah kota yang padat. Jongin masih dengan kemeja dan celana sekolahnya sedangkan Sehun telah lebih dulu berganti pakaian.
Meski banyak toko kue dan makanan enak, tujuan mereka tetap ke tenda tteokpoki di salah satu sudut jalan. Mereka memesan kimbab, Odeng dan tentu saja tteokpoki untuk dibawa pulang ke asrama. Sebelum pulang, mereka mampir sebentar ke minimarket untuk membeli minuman dan mi instan.
"Ibu akan marah jika tau aku makan mi instan," kata Jongin setelah keluar dari minimarket.
"Akan aku adukan besok," sahut Sehun.
"Kenapa besok?"
"Kalau aku adukan malam ini, aku juga akan dilarang makan mi instan."
Jongin mengangguk-anggukkan kepalanya. Ibunya sudah mengenal Sehun sejak SMP jadi tidak aneh jika Sehun juga sangat dekat dengan wanita paruh baya itu. Bahkan ibu lebih sering memuji Sehun daripada Jongin.
"Sehun," panggil Jongin. Dijawab oleh gumaman oleh si pemilik nama. "Menurutmu, berapa lama persahabatan kita akan terus berjalan?"
Sehun menunduk, menendang kerikil di depan kakinya sambil terus berjalan. Sudah mulai gelap dan sepanjang menuju asrama cukup sunyi. Hanya ada dia dan Jongin saja.
"Tidak tau," jawabnya.
"Kau akan pergi ke Jerman dan bertemu dengan banyak teman baru. Kau mungkin akan melupakan ku." Jongin mencebikkan bibirnya. Sehun membuat gestur ingin muntah.
"Pergi jauh bukan berarti kita akan saling melupakan."
"Makanya, kita harus membuat banyak kenangan yang tidak bisa dilupakan."
Sehun mengerutkan keningnya, menatap Jongin yang tersenyum bodoh. Bagi Sehun, moment seperti ini, jalan kaki berdua, sudah termasuk hal yang tidak akan dia lupakan. Lagipula, dia tidak akan melupakan apapun sejauh manapun dia pergi.
Apalagi tentang pria ini.
"Masa SMA itu hanya satu kali."
###
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
See You In Autumn 2022 || KAIHUN ✓
Teen Fiction"Aku akan menceritakan semua kisah tentangmu pada bintang-bintang. Menjawab tanya mereka mengapa ini disebut cinta dan luka," gumam Sehun yang tengah duduk di atas rumput hijau, di samping orang yang telah membawa separuh kenangannya pergi, bersama...