2. Kilas Balik

326 32 4
                                    

Kia mengikuti langkah kaki Chanyeol memasuki gerbang tinggi sebuah sekolah menengah atas. Kia tidak terlalu tau bagaimana SMA di negara ini, karena dia tinggal di Korea saat sudah masuk kuliah, tapi melihat bagaimana desain dan fasilitas yang ada disini, dia bisa menebak bahwa sekolah ini adalah sekolah kalangan elit.

Tempat ini sepi karena memang sedang libur, hanya ada beberapa orang yang terlihat di perpustakaan. Tipikal murid pintar yang tetap belajar meski sudah diberi waktu untuk istirahat sejenak. Kalau Kia, sudah pasti akan tidur seharian di rumah atau nongkrong di cafe dan menikmati makanan manis untuk melepas stress.

Chanyeol membawanya ke salah satu kelas di lantai dua. Mereka hanya mengintip dari luar karena pintu kelas yang dikunci. Chanyeol menunjuk satu meja, paling pojok dekat jendela yang menghadap langsung ke lapangan.

"Disana tempat duduknya. Setiap kali aku lewat sini, aku bisa melihatnya yang sedang tidur atau melamun menatap jendela," kata Chanyeol, senyum itu nampak di bibir penuhnya. Seolah tengah melihat hal yang ia ceritakan.

Kia melihat meja dan kursi disana, memvisualisasikan sosok remaja dengan seragam SMA dalam kepalanya, tengah membaringkan kepala di lipatan tangan dan tidur dengan pulas, tidak perduli dengan bias sinar matahari yang mengenai wajahnya.

"Dia pasti sering dimarahi guru," gumam Kia yang mana dapat didengar oleh Chanyeol.

Pria itu terkekeh pelan, "hampir setiap hari. Aku juga sering memergoki nya merokok di belakang sekolah, lalu menyeretnya ke ruang BK."

"Dia merokok?"

"Kadang-kadang, saat power rangers kalah melawan musuh."

Kalimat Chanyeol mengundang tanda tanya imajiner diatas kepala Kia. Pria itu kembali tersenyum melihat wajah kebingungan gadis didepannya.

"Artinya, dunia sedang tidak baik-baik saja. Untuknya."

Mereka kemudian kembali ke lantai satu, berdiri di depan sebuah loker yang juga terkunci. Ada beberapa stiker yang tertempel disana, yang masih baru dan juga yang sudah terlihat kusam. Sebuah stiker dengan huruf 'S' mengambil atensi Chanyeol. Tanpa sadar, tangannya mengusap stiker itu.

"Lokernya selalu penuh dengan barang-barang. Tapi tidak ada satupun orang yang dia perbolehkan untuk membukanya, jadi kami tidak tau barang apa saja yang dia bawa."

"Sampai sekarang?"

Chanyeol menggeleng, "kami sudah tau semuanya."

Kalimat itu belum selesai, tapi Chanyeol tidak berniat melanjutkan dan Kia tidak ingin bertanya. Mereka akhirnya menuju ke perpustakaan. Disana ternyata ada lebih banyak orang dari yang Kia duga.

"Benar-benar sekolah elit," dia bergumam lagi dan kali ini Chanyeol tidak menyimak. Ada sebuah kursi panjang di paling ujung ruangan, tertutup oleh tingginya rak-rak buku. Tempat strategis untuk tidur siang.

"Dia sering tidur disini?" Kia lebih dulu menebak sebelum Chanyeol membuka suara.

"Dia memang sering kesini, tapi tidak tidur. Dia belajar lebih keras dari anak yang lain. Kau percaya?" Chanyeol menatapnya.

Kia mengangguk ragu, "iya?"

Pandangan Chanyeol menerawang, menatap nanar pada kursi panjang disana. Raut wajahnya kembali mengeras, seolah ada rasa pahit yang sedang ia tahan.

"Kami terus mengatakan padanya jika beasiswa itu bukan masalah besar, menyuruhnya berhenti belajar dan mulai bersenang-senang tanpa tau apapun."

"Murid nakal yang pintar, ya?" Ucap Kia dalam hati, lagi-lagi dia bisa membayangkan seorang remaja laki-laki yang duduk di kursi panjang itu, menulis catatannya dengan serius dan kadang mengetuk kepalanya dengan pulpen saat tidak menemukan jawaban yang benar.

"Kau lapar?" Pertanyaan Chanyeol membuat Kia tersentak, dia menatap pria itu dan mengangguk pelan.

"Lapar. Tapi makan dimana?"

"Kantin sekolah selalu buka meski libur karena mereka tau ada banyak anak yang akan belajar di perpustakaan, walau makanan yang disajikan juga tidak banyak."

Kia mengusap perutnya yang memang belum diisi sejak pagi, "asalkan ada nasi, sudah sangat cukup," cengirnya.

"Ayo!"

Memang sekolah elit. Kantinnya saja seluas ini, Kia melongo sebentar. Kantin sekolahnya dulu saat di Indonesia hanya seperempat dari tempat ini.

Iya, Kia memiliki darah Indonesia dari ayahnya. Sejak SMP sampai SMA, dia tinggal dan sekolah di Indonesia lalu setelah itu kembali lagi ke Korea Selatan dan mulai mengembangkan bakat menulisnya hingga sekarang memiliki perusahaan penerbitan sendiri. Makanya, dia tidak terlalu tau bagaimana kondisi sekolah di Korea Selatan. Chanyeol pergi ke counter yang ternyata memang tidak menyediakan banyak makanan. Hanya ada nasi, sup, ayam katsu dan sayuran. Mereka duduk di salah satu kursi di bagian tengah kantin.

"Kami biasanya duduk disini," kata Chanyeol memulai kembali ceritanya.

"Kalian memang suka menarik perhatian?" Kia mendelik dengan mulut terisi penuh.

Tawa renyah Chanyeol terdengar sangat bersahabat ditelinga Kia.

"Tidak, justru karena tidak ada yang mau duduk disini maka kami yang akhirnya mengalah."

Suasana kantin sangat sepi. Hanya ada dua sampai empat orang saja yang terlihat juga tengah menyantap makan siang. Kantin ini dikelilingi oleh kaca, hingga pemandangan diluar terlihat dengan sangat jelas. Ada lapangan basket dan juga taman. Gedung-gedung kelas berjejer di seberang air mancur, sedangkan bangunan yang letaknya cukup jauh dibelakang adalah asrama. Siswa siswi disini tidak diwajibkan tinggal di asrama, hanya yang ingin saja. Itu juga alasan kenapa kantin selalu buka.

"Dia tidak bisa mengupas kulit udang dan tidak suka makan kepiting karena sulit mengeluarkan dagingnya. Dia makan apa saja selain dua hal itu. Tapi dia lebih sering makan mi instan di minimarket dekat halte seberang sekolah."

Sepanjang perjalanan mereka didalam sekolah, Chanyeol tidak henti tersenyum saat bercerita. Tapi kesedihan itu terlihat jelas dikedua matanya. Kia masih tidak tau apa yang terjadi diantara mereka. Banyak hal yang masih belum pria itu ceritakan padanya. Cerita ini masih abu-abu.

"Tiga tahun adalah waktu yang sangat singkat untuk aku mengenal dia. Tapi di tiga tahun itu, tidak ada satupun yang bisa aku lupakan tentangnya."

###

Kini Kia terpekur didepan laptopnya yang masih menyala. Di dalam ruangan pribadinya yang sunyi, hanya suara detak jam dinding yang menemani lamunan itu. Sebuah buku jurnal bersampul coklat kusam ikut terdiam di samping tangannya. Buku yang diberikan Chanyeol sepulang mereka dari sekolah. Milik dari si tokoh utama yang menyimpan lebih banyak kisah tentang waktu itu.

Kia sudah bersama dengan keputusannya untuk menuliskan kisah ini. Chanyeol sebagai narasumber sudah memberikan cukup banyak informasi, mengajaknya berkeliling ke tempat-tempat yang sering ia datangi dulu. Pria itu bercerita dengan semangat meski pendar di kedua matanya selalu saja terlihat lelah dan putus asa. Kia menarik nafas, membenarkan letak kacamata, merenggang kan otot-otot tangan, jari dan lehernya sebelum memulai kisah yang panjang ini.

"Jangan membuatku kecewa," tuturnya sebelum membuka buku jurnal itu.

Di halaman pertama, seperti biasa, tertulis nama si pemilik. Tulisan tangan yang tidak terlalu rapi namun masih bisa dibaca dengan jelas. Ada beberapa stiker kecil karakter kartun lucu yang tertempel. Di halaman kedua, sebuah kalimat menyambut Kia.

'Apa yang harus aku tulis disini? Tentang tawa? Tangis? Canda? Atau dia yang tak pernah peka?'

Lalu dihalaman ketiga, Kia tau, dia sudah mulai masuk ke dalam dunia milik orang ini. Si tokoh utama yang membuat seorang Park Chanyeol menanggung sesal teramat dalam di tujuh tahun hidupnya.

'Aku dan dia yang seringkali disebut kita. Namun hanya sebatas sahabat semata.'

###

Bersambung...

See You In Autumn 2022 || KAIHUN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang