Siang yang terik tidak menyurutkan semangat guru olahraga untuk mengambil nilai praktek di kelas Sehun dan Jongin. Murid perempuan menggerutu tentang make up mereka yang luntur karena keringat. Sedangkan para lelaki berkumpul untuk saling adu keren dengan keringat.
Sehun duduk di undakan tangga paling atas, jeli memperhatikan seluruh teman sekelas yang namanya dipanggil satu persatu oleh Guru Ma untuk mempraktekkan teknik pasing pada permainan bola voli. Siswa lain yang sudah selesai mengambil nilai memilih untuk bermain sepak bola atau mengganggu anak perempuan yang kemudian terjadi aksi kejar-kejaran. Berbeda dengan Sehun yang tidak terlalu suka berkeringat dan memilih berteduh dari teriknya sinar matahari meski sudah memasuki musim gugur.
Beberapa anak perempuan yang duduk di dekat Sehun terus berbisik sejak tadi, sesekali melirik kearahnya. Pemuda itu tidak bodoh untuk mengerti jika mereka tertarik padanya. Dengan penampilannya yang sekarang, Sehun cukup percaya diri. Kadang ada saja yang meletakkan surat cinta di laci meja atau langsung datang menghampiri dengan coklat yang mereka akui buatan sendiri. Padahal dari kotak nya pun Sehun tau bahwa itu coklat dari toko didekat stasiun kereta.
Semua gadis di sekolah ini cantik, mereka baik, ramah dan seringkali membantunya. Tapi tidak ada yang bisa menarik perhatian Sehun. Dia selalu berusaha menolak mereka dengan halus agar tidak meninggalkan bekas luka sedikitpun. Yang ada di dalam kepala pemuda itu hanya belajar, nilai yang bagus, beasiswa agar bisa kuliah ke Jerman dan--
"Yak!"
Sehun menutup telinganya yang berdengung setelah mendengar teriakan itu. Dia mendengus, sangat kenal dengan suara gadis yang kini duduk di sampingnya sambil mengomel.
"Kemana kau tadi malam? Aku menggedor pintu asrama mu sampai diusir satpam!" sungutnya.
"Ketiduran," sahut Sehun, sedetik kemudian mendapat pukulan di kepala dari buku paket tebal yang dibawa si gadis berambut sebahu itu. "Sakit!"
"Ini pesanan mu kemarin." Tanpa peduli dengan Sehun yang masih mengusap kepala, gadis itu menyerahkan buku paket tebal tadi.
Sehun menerimanya dan meletakkan buku itu di samping tubuh sebelum kembali menatap ke lapangan. Si gadis kembali mendengus keras.
"Terimakasih. Iya, sama-sama," cibirnya.
Sehun terkekeh, menyentil kening gadis itu karena gemas. "Terimakasih, Wendy-ssi."
Dia lupa. Ada satu gadis yang sempat mengambil perhatiannya. Mereka sempat menjalin hubungan selama beberapa bulan. Gadis cantik berambut sebahu yang memiliki senyum secantik bunga matahari. Son Wendy. Gadis baik hati yang kadang bisa jadi musuh bebuyutannya.
Meski pernah menjalin hubungan dengan Sehun, Wendy jarang mau berkumpul dengan teman Sehun yang lain. Mereka terlalu menarik perhatian, katanya. Lagipula dia selalu ribut dengan Jongdae dan Jongin karena bahasan sepele seperti kenapa saat itu apel harus jatuh di samping Newton dan membuat pelajaran hukum gravitasi menjadi sangat rumit.
"Kau tidak ada kelas?" Sehun bertanya karena Wendy masih belum beranjak dari sampingnya.
"Ada, tapi aku bosan mendengar Sawamura Sensasi bicara. Dia terdengar seperti anime." Wendy menggelengkan kepalanya frustasi. "Lalu aku melihatmu yang duduk sendirian seperti orang bodoh disini, jadi aku pura-pura ijin ke toilet."
Sehun memijit keningnya. Berkali-kali pun ia pikirkan, Sehun masih tidak bisa ingat kenapa waktu itu dia bisa tertarik dengan gadis satu ini.
"Jangan begitu, aku pernah jadi bagian penting dalam hidupmu."
Ekspresi menyebalkan Wendy membuat Sehun menghela nafas dan memilih mengalihkan pandangan, melihat dia disana. Menjadi satu dalam candaan murid-murid lain. Menjadi pusat perhatian yang terlihat jelas di mata Sehun. Mereka menatapnya, menertawakan leluconnya, memujinya, memperhatikannya, berbicara tanpa beban. Mengabaikan sisi lain yang lebih diam di ramainya hujan guguran daun yang mengering. Sehun ikut tersenyum diam-diam.
"Musim gugur tahun ini rasanya lebih hangat," ujar Wendy yang sekarang mendongak, menutup matanya dari sinar matahari. Sangat cantik. Sehun mengagumi paras gadis itu. Tapi hatinya sudah tidak lagi ada disana.
"Kau jadi pindah?" Pertanyaan itu akhirnya keluar. Sebuah tanya yang membuat Sehun merasa tidak nyaman. Ada rasa nyeri di dadanya. Tentang sebuah kehilangan meski tidak sepenuhnya hilang.
Wendy mengangguk, "Bulan depan. Kenapa? Kau sedih?"
Tanpa diduga, pemuda itu mengangguk. Wendy yang tadinya berniat menggoda, kini memilih untuk menangkup kedua pipi Sehun.
"Kau akan baik-baik saja. Masih ada Chanyeol oppa yang selalu berdiri di sampingmu," katanya.
"Jangan lupa hubungi aku."
"Tentu saja." Wendy melepaskan tangannya dari wajah Sehun lalu berdiri. "Aku harus kembali ke kelas."
Setelah gadis itu pergi, pandangan Sehun kembali menyapu seluruh lapangan yang dipenuhi oleh teman-teman sekelas yang sering bersikap baik padanya. Kedua matanya turun, menjadi sayu ketika mengingat kenyataan. Ada alasan mengapa dia merasa sedih saat tau bahwa Wendy akan pindah keluar negeri. Sesuatu tentang dia yang hanya diketahui oleh gadis baik hati itu.
Sosok Seolhyun yang berjalan di koridor dengan setumpuk buku di pelukan mengambil atensi Sehun. Gadis itu juga baik, lebih sering bergabung dengannya di kantin tapi mereka jarang mengobrol. Seolhyun lebih sering mengobrol dengan Jongin atau Chanyeol. Sehun seringkali harus menahan dirinya jika berdekatan dengan gadis itu. Bersikap seolah baik-baik saja.
Masih dalam pengawasan Sehun, Jongin datang menghampiri Seolhyun, membantunya dengan membawa sebagian buku-buku itu, saling melempar senyum dan obrolan ringan. Senyum getirnya terkembang tanpa perintah, dia menunduk, menyembunyikan rahangnya yang mengeras. Sehun selalu merasa bahwa ia bisa menghadapi apapun karena telah terbiasa dengan kerasnya persaingan hidup manusia. Namun, seringkali harapan tidak berakhir sesuai keinginan.
Mereka layaknya dua kutub magnet, sekeras apapun disatukan, akan selalu saling melepaskan. Sehun takut menghadapi dirinya sendiri. Dia seringkali meringkuk di dalam selimut, membayangkan dirinya yang berdiri di garis terlarang norma kehidupan. Tapi sosok yang muncul di kepala Sehun bahkan lebih menakutkan dari apapun. Sosok yang tidak seharusnya dia ikut sertakan dalam dosa ini.
Hal yang baik,
Selalu dibalas dengan baik.
Lalu bagaimana dengan kejujuran?
Sehun bukan satu-satunya yang menyendiri. Ada sudut-sudut lain yang diisi dengan sepi. Menjauhkan mata orang lain dari mereka. Entah ketakutan seperti apa yang mereka rasa. Kadang Sehun muak pada dirinya yang tidak pernah bisa meminta tolong dengan alasan tidak enak hati. Lalu akhirnya memilih diam seperti saat ini.
Daun coklat yang melayang jatuh mengalihkan perhatian Sehun. Sejenak mengikuti alur cerita singkat si daun yang telah layu. Berharap tanah bukanlah tempat singgah terakhirnya.
Tapi gravitasi tak sebaik angin. Yang telah jatuh, tempatnya ada di bawah.
Kembali Sehun menatap ke depan. Dan seperti oasis di gurun pasir tak berujung, mata setajam elang namun seramah matahari terbit itu ikut menatapnya. Tak luput satu garis melengkung di bibir penuh damba kaum hawa itu terarah pada Sehun yang sudah tidak tau lagi harus melakukan apa. Hanya melambai sambil mengacungkan jari tengah.
Sehun mampu melupakan kegelisahan apapun hanya dengan melihat senyum itu. Ia mampu mengambil resiko apapun untuk mempertahankan tatapan itu. Ia terjebak semakin jauh dalam labirin yang ia buat sendiri.
Seolah-olah dunia telah berhenti.
Pandanganku penuh denganmu,
Semuanya adalah kesempurnaan.
###
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
See You In Autumn 2022 || KAIHUN ✓
Teen Fiction"Aku akan menceritakan semua kisah tentangmu pada bintang-bintang. Menjawab tanya mereka mengapa ini disebut cinta dan luka," gumam Sehun yang tengah duduk di atas rumput hijau, di samping orang yang telah membawa separuh kenangannya pergi, bersama...