Suara roda bankar yang berderak cepat melalui lorong panjang tidak lagi terdengar menakutkan untuk Sehun. Dia sudah terbiasa. Darah, air mata, ringis kesakitan, doa dan harap adalah makanan sehari-harinya sejak bekerja di rumah sakit. Pun senyum merekah mereka yang berhasil melalui masa-masa sulit itu menjadi bagian hidup Sehun untuk saat ini. Sehun menikmatinya, dia menjalankan sumpah sebagai mana mestinya, berusaha semampunya lalu kembali menyerahkan semuanya pada yang kuasa.
Meski kadang isi kepalanya memunculkan visualisasi acak seperti bagaimana jika yang berada di tempat pesakitan ini adalah orang-orang terdekatnya? Sehun tentu pernah mengalaminya saat Kris atau Tae Oh demam parah atau saat ibu akhirnya di diagnosa diabetes. Tapi semuanya berlalu begitu saja, dia masih bisa mengomeli mereka, memberi nasehat tentang betapa pentingnya hidup sehat. Sehun banyaknya bersyukur karena memilih pekerjaan ini, dia jadi tau bagaimana melakukan pertolongan pertama jika terjadi sesuatu.
"Kau makan dengan baik, hm? Kondisi mu sudah semakin membaik dan bekas operasi Minggu lalu juga normal. Kalau kau bisa terus tersenyum seperti ini maka Minggu depan sudah boleh pulang."
Anak berusia 10 tahun itu mengangguk dengan semangat, "Terimakasih, dokter. Aku akan makan dan tersenyum lebih banyak supaya cepat sehat."
"Gadis pintar," puji Sehun sambil mengusap rambut anak perempuan yang mengidap kanker otak itu sebelum berpamitan keluar dari kamar rawat.
Tidak semua yang dia dapati adalah senyum cerah anak-anak kuat seperti mereka. Seringkali yang dia temui adalah Isak tangis sanak keluarga yang baru saja kehilangan salah satu anggota mereka. Ada yang tidak rela hingga menyalahkan tenaga medis yang dianggap tidak becus. Ada pula yang termenung pasrah sambil meyakinkan diri bahwa mereka sudah rela.
"Bagaimana?" tanya Sehun ketika dokter perempuan bernama Soyoung duduk di depannya.
Dokter itu menggeleng dengan raut wajah yang ditangkap Sehun sebagai sebuah penyesalan. Lalu tanpa bertanya lagi Sehun menyodorkan sekotak makan malam.
"Aku kehilangan nafsu makan," katanya menolak dengan halus.
"Bukan salahmu," sahut Sehun menenangkan.
"Kita berusaha, mengupayakan apa saja, lalu akhirnya gagal, menurutmu siapa yang salah?"
"Tidak ada. Hidup dan mati memang sudah memiliki garis waktunya masing-masing. Dokter bukan Tuhan yang bisa menentang kematian mereka hanya dengan alasan, 'kami sudah melakukan yang terbaik'. Kita sudah berusaha, kita juga terluka, hanya jika kita tidak melakukan yang terbaik saja baru boleh menyesal. Mereka hebat sudah bertahan sejauh ini dan kau juga hebat sudah berjuang tanpa menyerah untuk mempertahankan kehidupan itu."
Gulungan nafas berat mengudara dari Soyoung yang kini bersandar pada kursinya. Menatap langit-langit sambil meresapi kalimat Sehun tadi. Tapi tetap saja, ada tak rela yang dia rasa setiap kali melepaskan orang-orang hebat itu.
"Jangan menyesali sebuah kematian. Manusia bukan makhluk abadi dan pasti mati, kapan dan dimana saja. Bahkan seorang superhero sekalipun sudah tau kalau mereka akan berakhir mati, entah di medan perang atau di rumah sendiri."
Soyoung akhirnya menampakkan satu garis senyum yang masih saja terlihat sendu.
"Sehun, semoga kau panjang umur," katanya.
"Tiba-tiba?" Kekeh Sehun yang mulai merapikan tas miliknya karena sebentar lagi shift malamnya berakhir.
"Kau tidak tau? Banyak pasien disini yang menyukaimu karena bisa melihat apa itu semangat hidup saat melihatmu masuk ke ruangan mereka."
"Itu berlebihan." Sehun menggeleng.
"Memang. Tapi tidak ada salahnya menjadi semangat hidup untuk orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
See You In Autumn 2022 || KAIHUN ✓
Fiksi Remaja"Aku akan menceritakan semua kisah tentangmu pada bintang-bintang. Menjawab tanya mereka mengapa ini disebut cinta dan luka," gumam Sehun yang tengah duduk di atas rumput hijau, di samping orang yang telah membawa separuh kenangannya pergi, bersama...