Sehun POV
Delapan tahun lalu saat pertama kali aku bertemu dengannya. Di belakang panggung pentas seni festival tahunan sekolah saat aku hampir membuang minuman milikku ke tong sampah. Dia pria asing yang mengulurkan tangan menerima pemberian dariku dan tersedak karena lelucon tentang racun.
Kris Wu.
Salah satu anak Tuhan yang tidak mungkin dicampakkan oleh seorang wanita. Katanya.
Kris Wu yang ku kenal, adalah seorang keras kepala yang aneh. Dia melakukan apapun yang dia ingin. Kami bertemu beberapa kali. Ku kira itu kebetulan. Beberapa memang kebetulan, tapi selebihnya adalah skenario yang dia tulis. Dia datang saat aku merasa tidak akan ada seorangpun yang akan menyadari bahwa ada anak laki-laki bernama Oh Sehun di dunia ini. Selalu di tempat yang tepat, di waktu yang seolah juga telah ia tulis dalam tumpukan skenario kebetulan itu.
Dia goblinku.
Kris hyung.
Jika bukan karena pertemuan kami di depan akuarium ikan dalam cafe waktu itu, aku mungkin tidak akan bertemu dengan pasangan bibi dan Paman Kim yang baik hati dan memiliki kedai seafood yang sangat enak. Aku menerima gajih pertama dengan sukacita, berkali-kali membuka amplop putih seadanya itu dan mulai berpikir sebaiknya untuk ku belikan apa. Pada akhirnya, hanya terpakai untuk membeli mie instan di minimarket depan sekolah.
Kris Wu bernama asli Wu Yifan, seorang mahasiswa jurusan bisnis yang sudah di tempa sejak kecil untuk bisa menjadi seorang ahli waris kebanggaan keluarga Wu. Dia belajar dengan sangat keras sampai aku yang selalu lantang menyuarakan keluhan tentang betapa lelahnya kegiatan di dalam sekolah merasa malu. Kris sudah memiliki segalanya tapi dia seringkali tidak tidur untuk mengejar studinya. Dia anak tengah harapan keluarga, yang tidak pernah ku dengar keluhan nya meski hanya dibisikkan oleh angin.
Goblinku.
Kris Wu yang datang memelukku ketika aku sudah bosan tinggal di bumi dan berpikir untuk pindah ke Mars saja, membawa sekantung plastik makanan dan berjongkok di samping mobil mewah miliknya untuk sekedar menghibur aku yang cengeng ini karena ditinggal Wendy.
Saat aku memilih mengalah dan berdamai dengan masa lalu di Busan, dia orang pertama yang melihatku. Duduk di sampingku dalam kereta hari libur itu. Berkata tanpa ragu di atas pasir putih pantai kampung halamanku bahwa dia menyukai siswa laki-laki yang sangat biasa ini. Yang rela tidur di sofa ruang tengah rumahku dan memuji betapa enaknya masakan ibu.
"Selamat malam." Katanya waktu itu sebelum ku matikan lampu.
Dia yang menemukan ku dalam hujan, dalam kesakitan yang membuatku akhirnya takut sendirian.
Dia goblin ku.
Pertemuan kami di malam festival seperti sebuah keajaiban untukku. Setelah ku tau namanya, ku pikir dia hanya akan menjadi jejak kenangan asing saja di dalam ingatan terdalam dari otakku. Tapi dia datang berkali-kali, mengetuk pintu dengan hati-hati, lalu menawarkan perjalanan jauh penuh pengorbanan agar aku bisa sembuh.
Saat dia memilih membawaku, banyak hal yang harus dia pertimbangkan. Kuliahnya, pekerjaannya, masa mudanya, masa depannya, hidupnya. Kris bertaruh atas itu semua hanya demi seonggok manusia seperti aku. Kami mengalami kesulitan dalam saling memahami dan menjadi segumpal emosi yang kemudian membuat aku sempat menyesali keputusan untuk pergi dari tanah Korea.
Di malam musim dingin, kota Montreal menjadi lebih sunyi dari biasanya. Aku mengurung diri di dalam kamar setelah mengerjakan tugas dengan setengah hati, pintu di ketuk lagi dan membawa Kris masuk dengan segelas coklat hangat buatannya sendiri.
"Aku seharusnya menjagamu, bukan membuat mu khawatir tentang apa yang akan terjadi besok. Sehun, kau akan baik-baik saja. Aku yang jamin. Jika tidak baik, kau boleh ikuti kemauan hatimu yang saat ini sedang gusar. Aku tidak akan menahan mu, tapi aku juga tidak akan berhenti untuk mencintaimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
See You In Autumn 2022 || KAIHUN ✓
Fiksi Remaja"Aku akan menceritakan semua kisah tentangmu pada bintang-bintang. Menjawab tanya mereka mengapa ini disebut cinta dan luka," gumam Sehun yang tengah duduk di atas rumput hijau, di samping orang yang telah membawa separuh kenangannya pergi, bersama...