20. Kelam

60 8 0
                                    

"Ta!" panggil Biru. "Ayo! Yang lain udah pada nunggu di kantin!"

Brigita yang duduk di bangkunya pun mendengkus lesu. "Nggak seru. Nggak ada Nabila," ujarnya.

Biru berdecak. Ia beranjak lalu menarik paksa Brigita. "Ayo, Ta! Gue traktir sepuas lo, deh!"

"Nggak mau! Gue kangen Nabila!" kata Brigita menekuk bibir bawahnya. "Gue mau di kelas aja! Sendirian!"

"Ita!" kesal Biru. "Ayo ikut gue!"

"Nggak mau, Biru! Gue nggak mau!" tolak Brigita. "Nabila paling lagi susah di sana. Dia pasti belum makan--"

Biru membekap mulut Brigita. Ia dengan keras menarik Brigita membuat Brigita berdiri lalu tubuh gadis itu oleng hingga memeluknya.

"Nabila gimana ... " lirih Brigita membuat Biru mengelus-elus bahu gadis itu.

"Nggak gimana-gimana. Dia baik-baik aja. Udah, ayo makan," kata Biru lalu merangkul Brigita dan diajak keluar dari kelas untuk menuju kantin.

***


Saat mendengar suara piring yang terjatuh ke lantai, Shea dengan cepat menghampiri adiknya yang baru berusia empat bulan. Ia segera mendekap adiknya itu lalu menyorot datar ke arah jendela kamarnya.

Sudah jam dua siang. Dia tidak sekolah. Dia tidak akan sekolah. Dia juga tidak akan bekerja. Dia akan menjaga adiknya dan menjauhkan adiknya dari petaka di rumah ini.

"MAU SELINGKUH LAGI?? IYA?? NGGAK CUKUP KAMU BIKIN AKU SAMA SHEA KESUSAHAN, HAH?!!" Suara Mama Shea terdengar.

"LO JUGA TUKANG SELINGKUH, BANGSAT!!" teriak Papa Shea membuat Shea semakin mendekap erat adiknya.

"KAMU SELINGKUHNYA SAMPE ADA HASILNYA, MAS!! LIHAT! SEKARANG SIAPA YANG MAU NGERAWAT ANAK HARAM ITU?? HAH??" Mama Shea mengungkit-ungkit lagi tentang kejadian satu tahun yang lalu.

"ADA SHEA! SHEA DENGAN SUKA HATI MAU MERAWAT!!"

Mama tertawa keras. "SHEA?? DIA MASIH SEKOLAH! KAMU KALO PUNYA OTAK HARUSNYA MIKIR!!"

"GUE NGGAK PEDULI!!" Papa kembali membanting piring ke lantai membuat Mama teriak histeris.

Shea mengambil tas bayi yang sudah lengkap berisi perlengkapan untuk adiknya. Ia keluar dari kamar dengan menggendong adiknya. Berjalan melewati kedua orang tuanya yang bertengkar membuat Papa dan Mama menoleh.

"Lihat? Shea mau merawat! Dengan senang hati dia merawat!" kata Papa.

Mama menatap tajam Papa. Ia menatap Shea. "Shea?? Kamu mau ke mana, Nak??"

Shea tidak menjawab. Yang Shea butuhkan adalah tempat damai dan yang paling damai.

Ia bersama adik kecilnya, Kelana Himawari. Panggil saja Hima.

Shea hanya memakai kaos oblong berwarna maroon lalu celana pendek selutut dengan rambutnya yang diikat asal-asalan.

"Di rumah berisik, ya? Maafin Kakak, ya, Dek," kata Shea sembari mengelus-elus pipi Hima. "Nanti kalo Kakak udah punya uang banyak, Kakak bakalan ajak Adek pindah rumah ke rumah yang lebih damai."

Shea menatap kosong ke arah depan. "Tapi nanti, ya," ujarnya sembari berjalan di trotoar.

Tiba-tiba hujan turun. Shea kaget, pasalnya, ia sedang berada di jalan yang jauh dari tempat untuk berteduh. Sebisa mungkin ia berlari dengan tubuh yang membekap adik kecilnya.

"Ya Tuhan ... " lirih Shea saat merasakan bajunya yang sudah basah kuyup.

Shea berhenti berlari saat ada sebuah mobil yang berhenti di hadapannya. Sosok laki-laki keluar dari mobil sembari memakai payung.

RUMITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang