PART 5 - Lelah Hati

106 4 0
                                    

Suara mesin motor sport berwarna hitam milik Kala berhenti berbunyi. Kala menapakkan sebelah kakinya ke jalan. Masih sambil duduk di atas motornya, suara nasehat Mona kembali terus menggema di telinganya. Baru kali ini perasaan Kala berkecamuk. Ucapan Mona terdengar seperti ancaman untuknya. Tapi Kala juga tahu bahwa semua yang keluar dari mulut Mona adalah sama seperti desakan logikanya yang mulai unjuk rasa belakangan ini.

Sementara, ada ritme yang aneh pada detak jantungnya setelah melihat sosok teman Mona barusan. Kalau Mona belum apa-apa sudah menutup akses info tentang perempuan ini darinya. Berarti Mona secara tidak langsung menyuruhnya mundur untuk mencari tahu atau mengorek apapun tentang sosok tersebut. Kala paham betul tabiat sepupunya itu. Akan sangat sulit bagi Kala jika ingin tahu lebih jauh. Lebih baik mundur saja. "Ah, ini mungkin cuma perasaan gue doang. Nanti juga hilang," pikir Kala.

Kala kembali memacu motornya dan pergi ke sebuah minimarket untuk membeli cemilan dan minuman ringan. Sesampainya di depan sana, Kala memarkir motornya di salah satu spot parkir kosong. Tapi sebelum belanja, Kala ingin makan mie ayam langganannya. Kala lalu memanggil tukang parkir yang sudah dikenalnya sejak mulai membuka klinik.

"Pak De... " panggil Kala ke sosok tukang parkir yang berdiri tak jauh darinya.

"Eh, Mas Dokter... Wah, tumben siang-siang belanjanya. Lagi gak praktek?" balas Pak De.

"Iya, Pak De. Lagi off dulu hari ini. Masa kerja mulu. Dokter kan juga butuh istirahat, Pak De."

"Iya, ya... Nanti kalau Masnya sakit yang ngobatin orang siapa? Hahaha...."

"Pak De, udah makan siang?" tanya Kala.

"Belum, Mas. Mungkin sebentar lagi."

"Ikut saya makan siang yuk. Saya mau makan mie ayam di seberang jalan itu."

"Wah, gak usah mas... terima kasih. Nanti ngerepotin," tolak Pak De yang merasa tidak enak.

"Gak kok. Saya gak repot. Kan, yang bikin mie ayam abang penjualnya. Bukan saya. Udah ikut aja yuk. Gak boleh menolak rezeki," ajak Kala.

"Bener nih, Mas?" Pak De memastikan sekali lagi tawaran dari Kala.

Kala mencoba menangkis kekhawatiran Pak De. "Hidung saya gak tambah panjang kan? Berarti saya gak bohong kayak pinokio dong." Kala segera merangkul Pak De dan mengajaknya ke kios mie ayam di seberang jalan. "Gak lucu ya, Pak De? Maaf... Saya gak pandai ngelawak."

Dalam rangkulan Kala, Pak De masih menyahuti lelucon Kala tentang hidung panjang para pembohong yang mengacu pada kisah si pinokio yang suka berbohong. "Masnya suka kadang-kadang. Mas Dokter kan hidungnya udah mancung dari sononya. Masnya mirip bule-bule yang sering nongol di tipi."

"Bisa aja, Pak De," ucap Kala sedikit tersanjung.

Bagi Kala, Pak De adalah teman ngobrol yang asyik tentang kehidupan. Kala bukan tipikal orang yang gampang dekat dengan seseorang. Dulu waktu awal-awal kliniknya baru dibuka, kliniknya sepi dari pasien. Mungkin banyak warga di sana yang menyangka kliniknya mahal dan hanya untuk sebagian kalangan berduit dan berkantong tebal yang mampu berobat ke sana. Kala sadar kondisi bangunan kliniknya yang super bagus dan modern berbeda dengan klinik kecil yang biasanya baru berdiri.

Kala masih ingat betul peristiwa beberapa tahun yang lalu. Saat hujan badai di pertengahan malam saat itu, Kala tak bisa tidur lelap karena suara bising dari petir dan kilat. Tiba-tiba ada suara ketukan dari pintu masuk di lantai bawah. Sekali dua kali, Kala tidak menghiraukan. Kala mencoba untuk tidak menggubris karena dipikirnya hanya ulah anak nakal yang suka mengerjai kliniknya.

Tapi ketika ketukan itu konstan terulang berkali-kali, bahkan disertai terdengarnya samar suara seseorang memanggilnya, Kala bergegas turun dan segera membuka pintu rumahnya. Pak De tampak terlihat basah kuyup sambil menggendong istrinya yang baru saja tertabrak motor. Pengendara motor yang menabrak istri Pak De melarikan diri. Pak De sudah berkeliling mencari bantuan tapi tak ada seseorang pun yang bisa dimintai bantuan mengingat sudah tengah malam dan sedang hujan deras. Sadar tidak punya pilihan lain, Pak De memberanikan diri mengetuk pintu klinik Kala karena tahu bahwa Kala tinggal di lantai atas klinik ini. Kala akhirnya membantu mengobati dan merawat istri Pak De hingga sembuh tanpa mau dibayar.

Setelah itu, Pak De mulai menyebarkan informasi mengenai Klinik Kala. Berkat bantuan Pak De ini, klinik Kala yang dulu sepi akhirnya jadi ramai dan berangsur dikenal oleh masyarakat sekitar sana. Selain karena Pak De, Kala dan teman-teman sesama dokternya pun kadang menggratiskan beberapa pasien mereka yang benar-benar berasal dari keluarga tidak berada. Kliniknya memang menjalankan misi kemanusiaan bagi para pasien yang membutuhkan bantuan medis tapi tidak memiliki biaya untuk berobat. Sampai akhirnya, Klinik Kala selalu dipenuhi dengan pasien-pasien yang mau berobat.

Sesampainya di Kios Mie Ayam, Kala dan Pak De duduk saling berhadapan. Kala memesan dua mangkuk mie ayam. Satu menu lengkap mie ayam untuk Pak De, dan satunya mie ayam tanpa daun bawang.

Penjual mie ayam pun datang menyelak obrolan mereka, "Mie ayamnya, Mas."

"Ya, taruh disini aja, Pak." suruh Kala. Lalu Kala menarik mangkuk pesanan mie ayamnya kedekatnya. Serta mempersilahkan Pak De untuk mengambil mangkuk pesanan Pak De. "Silahkan Pak De." Pak De manggut-manggut dan langsung menarik mangkuknya kedepannya. Tak lupa Pak De berdoa sebelum menyantap hidangan makan siangnya itu. Ini yang Kala suka dari Pak De. Apapun yang beliau lakukan, pasti selalu diawali dengan berdoa. Kala pun ikut memulai berdoa didalam hatinya.

"Terima kasih ya, Pak De," ucap Kala tiba-tiba.

"Oh iya, Makasih untuk apa, Mas?" tanya Pak De kebingungan karena mendadak dihujani ucapan terima kasih. Pak De sambil mulai menyantap mie ayam perlahan, "harusnya saya yang terima kasih untuk mie ayamnya."

"Terima kasih karena Pak De, Klinik saya jadi ada pasiennya," lanjut Kala menjelaskan. Sejujurnya Kala sudah lupa ini sudah keberapa kalinya Kala mengucapkan terima kasih kepada Pak De. Karena menurutnya, Pak De adalah pahlawan untuk Kliniknya.

"Ya ampun, Mas Dokter. Saban ketemu saya, pasti makasih soal itu. Gak bosen Mas? Hahaha...."

"Gak tau saya kalau gak ada Pak De..." Kala menghela nafas, "...mungkin Klinik saya masih sepi."

"Kalau gak ketemu sama saya, saya yakin pasti akan ada orang lain yang juga akan bantu bikin Klinik Mas Dokter terkenal. Lagian, harusnya saya yang makasih. Kalau bukan karena Mas Dokter, saya gak tahu gimana nasib istri saya malam itu."

"Hehehe... Sama-sama terima kasih kalau begitu. Ayo Pak De dilanjut makannya nanti keburu dingin mie ayamnya."

"Ayo... ayo... Mas Dokter juga makan yang banyak. Biar sehat... biar kuat... biar bisa ngobatin pasiennya."

Kala tak menjawab. Kala hanya berusaha menikmati makan siangnya. Mie ayam itu mendadak hambar setelah Pak De menasehatinya. Tubuh Kala sehat. Sangat sehat. Tapi tidak dengan hatinya. Hatinya sedang tidak keruan. Ingin rasanya Kala bercerita dan meminta wejangan kepada Pak De. Namun Kala memilih menguntai senyum ke arah Pak De. Sepertinya Kala tak perlu merusak suasana siang ini dengan keluh kesahnya yang receh. Pak De sendiri pasti sudah punya segudang masalah. Tak etis jika Kala harus menambah beban Pak De dengan bebannya juga.

Pak De melihat perubahan raut wajah Dokter di depannya itu. "Mas Dokter..." panggil Pak De.

"Ya Pak De. Ada apa?" sahut Kala.

"Mas Dokter sedang capek banget kayaknya. Capek itu wajar, Mas. Semua orang pasti akan mengalami yang namanya rasa capek, rasa lelah. Baik lelah fisik maupun lelah hati. Tapi apakah setiap orang mau kembali memulai setelah rasa lelah itu datang? Ya kan belum tentu semua orang sanggup. Saya mungkin bukan orang sekolahan... tapi saya bisa membedakan orang yang capek fisik dan capek hati. Kalau Mas Dokter hatinya pasti yang sedang lelah. Coba istirahatkan hatinya Mas di sana." Pak De menunjuk sebuah Mushola kecil di ujung jalan itu. Tulisan Mushola An Nur terpampang pada plang besar yang tergantung di langit-langit teras Mushola tersebut. "Mas bisa berkeluh kesah sama pemilik hati kita, Mas."

'Jleb' Hati Kala tertampar dengan kata-kata Pak De. Betul kata Pak De. Ada yang lebih besar dari masalah yang dia hadapi. Tuhannya yang Maha Besar.

"Disana kalau malam hening dan sepi. Nikmat rasanya mengadu di tengah malam syahdu," lanjut Pak De menjelaskan.

"Makasih ya, Pak De. Nanti malam saya kesana."

"Mau ditemani, Mas Dokter?" ujar Pak De menawarkan diri.

"Jika tidak merepotkan Pak De."

"Insya Allah tidak akan merepotkan."

***

Bersambung...

KALA SEA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang