PART 38 - Hati yang Berkecamuk

43 2 0
                                    

Kala menunggu Bapak pulang kerja. Duduk di ruang kerja Bapak sambil mempersiapkan diri untuk menyampaikan sesuatu. Kala mencoba menyusun kata-kata yang tepat agar apa yang disampaikannya nanti dapat diterima baik oleh Bapak. Tanpa sadar, kaki Kala bergerak-gerak. Seperti hendak mengurangi rasa grogi yang hinggap dalam dirinya. Sesekali Kala mondar-mandir di sekitar meja kerja Bapak. Hingga akhirnya, pintu utama terbuka dan terdengar derap langkah kaki Bapak. Detak jantung Kala sontak berdegup kencang. Kala buru-buru keluar menghampiri Bapak.

Bapak menyapa Kala seperti biasanya diambang pintu, "Hai, Kal."

Bingung disapa seperti itu, Kala malah jadi ragu untuk bicara serius dengan Bapak. Kala menggigit bibirnya.

Sayangnya, Bapak lebih paham gelagat Kala yang ingin bicara sesuatu padanya. "Kenapa, Kal? Ada hal penting yang ingin disampaikan?" tanya Bapak memastikan. Bapak menarik bangku lalu meletakkan tas kerja sambil melepaskan kacamatanya.

Ditodong seperti itu, Kala seperti merasa terdesak. Kala memberanikan diri untuk bicara. "Maaf, Pak. Boleh Kala bicara serius sama Bapak."

"Sure. Tapi boleh Bapak bersih-bersih dulu. Atau mau bicara sekarang juga?"

"Bapak bersih-bersih dulu aja. Kala tunggu Bapak di ruang kerja ya."

"Oke. Sebentar ya."

***

Setengah jam kemudian, Bapak sudah terlihat santai dengan baju piyama.

"Wow, secangkir teh hangat. Sepertinya obrolannya super serius sampai ada minuman pembuka." Bapak melirik ke arah Kala.

Kala tersenyum kikuk. Kala memang berinisiatif membuatkan teh hangat untuk menemani pembicaraan mereka. Mengingat ini sudah tengah malam, setidaknya teh ini bisa menghangatkan suasana.

"Duduk, Kal. Ada apa?"

Kala masih berdiri memegang pinggir meja kerja Bapak. "Ada yang Kala ingin bicarakan, Pak?"

"Soal klinik?"

Kala menggeleng. "Bukan, Pak."

"Lalu soal apa? Sepertinya cukup rumit?" Bapak melihat wajah Kala yang semrawut.

"Nggg... ini soal..." Lagi-lagi, suara Kala tercekat ditenggorokannya.

Bapak mengambil cangkir di depannya. "Soal Sea," tebak Bapak. Lalu Bapak menyeruput teh hangat itu dengan tenang.

Gantian Kala yang melirik. Ini Bapak cenayang atau apa sih? Perasaan tau banget gue mau ngomong apa?

"Betul kan soal Sea?" Bapak bertanya kembali mempertegas. "Ada apa dengan dia?"

Kala terdiam dulu. Menarik nafas super panjang lalu baru menjawab, "Dia baik-baik aja, Pak. Kala yang kenapa-napa."

Bapak tersenyum melihat pengakuan Kala barusan.

"Pak..." panggil Kala dengan lembut.

"Ya."

"Bapak marah tidak kalau Kala izin pulang?"

"Kamu mau pulang ke Jakarta?" tanya Bapak balik.

"Iya, Pak. Ada sesuatu yang harus Kala pastikan. Maaf kalau Kala jadi tidak profesional karena tidak bisa menemani Bapak disini lagi. Tapi ada yang terjadi di luar kendali Kala sehingga Kala tidak bisa menunggu lebih lama lagi disini."

Hati Kala sedang berkecamuk dan ingin mencari pusaran badai di belahan bumi lainnya. Kala berharap bapaknya bisa mengerti untuk persoalan spesial ini.

"Sebenarnya Bapak sedikit kecewa, karena Bapak memintamu kesini pun ada andil dengan keberlangsungan klinikmu. Tapi setelah Bapak lihat-lihat dan pahami tingkahmu seharian kemarin. Bapak sepertinya mengerti. Seberapa lama pun Bapak tahan kamu, pikiranmu sudah tidak disini."

KALA SEA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang