PART 34 - Penguat Sejati

36 3 0
                                    

Seusai rapat dan acara makan malam bersama dengan investor. Kala dan Bapak langsung bergegas pulang. Di dalam mobil, Kala lebih banyak diam dan melamun. Tak ada percakapan seperti biasanya. Bahkan biasanya Kala juga sering mengajak bicara Pak Hanan yang juga sedang ikut bersama mobil mereka. Malam ini benar-benar sunyi, nyaris tanpa suara.

Kala terdiam di pinggir jendela mobilnya, melihat pemandangan Beijing di malam hari. Entah kenapa pemandangan tersebut tak lagi sama seperti kemarin-kemarin. Tatapannya ke gemerlap lampu jalanan tak sanggup meredakan kehampaan yang menyergap hatinya. Rasanya kenapa lebih sepi dan sangat menyesakkan dada. Kala tak mampu menyembunyikan pilu hatinya.

Begitu sampai di kamar hotel pun, Kala langsung pamit ke kamarnya. Bapak melihat gelagat berbeda anaknya setelah pesan dari Mona masuk. Mungkin setelah membersihkan diri, Bapak akan mencoba mengajak anaknya itu berbicara dari hati ke hati.

***

Dari balik pintu kamar Kala yang tidak tertutup rapat, Bapak mengintip. Bapak membaca kegelisahan yang kian menjadi pada anaknya. Ya, raga Kala memang ada di sini tapi perasaan Kala berada entah dimana.

Pikiran Bapak tertuju kembali pada satu nama yang disebut Mona pada pesannya tadi. Seseorang yang bernama Sea. Bapak tidak tahu siapa itu Sea. Hingga Bapak akhirnya menyadari perubahan sikap Kala setelahnya. Mungkin Sea adalah perempuan yang kemarin Kala ceritakan. Rasanya kini Bapak mengerti situasinya.

Bapak menunggu Kala menyelesaikan shalat malamnya. Memberikan ruang untuk Kala berkeluh kesah kepada Tuhan. Tepat setelah Kala menyudahi doanya, Bapak mengetuk pintu kamar Kala. "Kal, Bapak masuk ya," kata Bapak minta izin.

"Eh, Bapak. Masuk, Pak. Ada apa?" Baru Kala mau beranjak bangun. Bapak keburu melarangnya.

"Duduk lagi aja," ujar Bapak. Bapak duduk di lantai, persis di sebelah Kala duduk. Bapak hanya menguntai senyum dan menepuk lembut bahu Kala. Kala bingung.

"Kamu lagi ada masalah? Bapak lihat tadi kamu berubah murung," todong Bapak dengan intonasi yang super lembut tapi tanpa basa basi. Kala menggeleng.

"Jangan bohong. Bapak kenal kamu. Kelihatan sikap kamu berubah drastis setelah baca pesan di ponselmu."

"Gak ada apa-apa, Pak. Mungkin Kala cuma capek aja."

"Maaf, tapi tadi Bapak tidak sengaja melihat pesan masuk dari Mona. Soalnya terpampang begitu masuk notifikasi di ponselmu. Mona menulis nama Sea di pesannya. Sea itu calon perempuanmu?"

Nampaknya Kala tidak bisa menyembunyikan apapun dari Bapaknya. Ia mengangguk lesu.

"Dia hari ini pulang ke Jakarta?" tanya Bapak lagi.

Kala pun kembali menganggukkan kepalanya.

Bapak menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebenarnya lucu melihat anaknya sedang dimabuk asmara begini. Serba galau dan uring-uringan. Bapaknya terpaksa mengambil alih komando dengan menasehati anaknya.

"Kamu itu Bapak didik untuk jadi pribadi kuat. Ingat! Perempuan itu butuh bahu yang luar biasa kuat untuk melindunginya. Selain bahu ayah atau saudara laki-lakinya, perempuan dikirimkan Tuhan sesosok laki-laki untuk masa depannya dalam mengarungi bahtera kehidupan. Sosok laki-laki itu adalah imamnya kelak. Siapa pun laki-laki itu haruslah mempersiapkan diri untuk menjadi penguat, karena sejatinya dia akan menjadi salah satu perantara Tuhan sebagai pelindung perempuan itu. Perempuan akan menempatkan laki-laki itu sebagai tempatnya bersandar dari berbagai macam badai hidup yang akan menerpanya. Kalau kamu sekarang lemah bagaimana kamu bisa bertanggungjawab dengan hajat hidup perempuanmu nanti? Perempuanmu akan menggantungkan hidupnya melalui kamu. Kamu harus kuat, Kal. Hidup itu tidak selalu adil. Jelaskan pada dunia dari mana kamu berasal. Dari tanah. Dari sini." Bapak menyentuh lantai yang didudukinya sambil mengetuk ubin-ubin dibawahnya. "Tanah itu adanya di bawah kakimu. Di bawah semua kaki orang. Sebagai pijakan orang. Oleh karena itu jangan bersikap menjadi langit yang sulit dijangkau. Harusnya membumi. Jadi kamu bisa merasakan kemana saja perempuanmu melangkah. Karena dengan bersikap menjadi tanah, getaran langkah perempuanmu akan terasa hingga ke hatimu."

"Tapi, Pak... Gala gak pernah setakut ini menghadapi perasaan Kala," seru Kala tertahan.

"Takut karena perempuanmu itu belum tau siapa kamu? Dan bagaimana perasaanmu kepadanya?" tanya Bapak.

Kala membenarkan ucapan Bapak dengan mengangguk pasrah.

"Kalau soal itu serahkan semua pada Sang Pemilik Kehidupan. Tuhan lebih tau kapan perempuanmu harus mengenalmu. Skenario Tuhan sudah tersusun baik, tinggal kamunya yang harus sering-sering berdoa agar susunannya mengarah kepadamu."

"Jujur Kala masih trauma. Dulu, Kala pernah kehilangan perempuan di hidup Kala bahkan setelah bertahun-tahun bersamanya. Sekarang, Kala bahkan belum berkenalan secara langsung, belum melangkah bersama. Kala makin takut kehilangan dia, Pak."

"Kenapa harus takut? Kamu yakin tidak pada Tuhanmu? Yakin tidak kalau Tuhan pasti akan mengirimkan kebahagiaan untukmu? Itu saja dulu yang kamu tanyakan pada dirimu."

"Tapi, Pak..."

"Kal, dengerin Bapak. Perpisahan adalah sebuah konsekuensi dari sebuah pertemuan. Siapa pun di dunia ini, mereka yang bertemu pasti akan sampai pada ujungnya yaitu perpisahan. Kehilangan adalah bentuk dari perpisahaan itu sendiri. Itu tandanya sampai disitu saja jodoh pertemuannya. Tugas kita sebagai manusia adalah terus berjuang sekuat dan semampu kita untuk menjaga sebaik-baiknya waktu kebersamaan yang diberikan Tuhan untuk kita bersama perempuan kita. Karena kita gak pernah tau kapan perpisahaan itu terjadi. See, I lost my wife. Your mom. Karena takdir kematiannya. Tapi Bapak merasa berhasil menjaga hati Bapak untuk mamamu hingga akhir hayatnya. Bapak selalu menjadi penguat mamamu hingga di detik terakhir hidupnya."

Kala terdiam. Benar kata Bapak, gue gak jangan takut, batinnya.

"Tetaplah melangkah mencari jalan menuju perempuanmu." Lagi-lagi Bapak mengusap bahu anaknya yang masih terlihat resah. Mencoba menenangkan.

"Sudah sana tidur. Otak dan hatimu perlu haknya untuk beristirahat. Jangan egois terhadap kondisimu sendiri. Tunaikan hak keduanya, maka mereka akan melakukan kewajibannya kepadamu melalui logika berpikir dan perasaan yang lebih baik. Percaya sama Bapak."

Kala menghela nafas panjang, "Makasih ya, Pak."

***

Bersambung...

KALA SEA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang