PART 7 - Perenungan Malam

95 3 0
                                    

Kala menyudahi dzikir panjangnya di Mushola yang tadi siang Pak De beritahu. Mushola itu kecil tapi bersih dan sangat nyaman. Sirkulasi udara pun sangat bagus terlihat dari ventilasi yang banyak dan beberapa kipas angin yang berputar di langit-langit Mushola. Kala menarik sajadah miliknya dan melipat lalu disampirkannya di bahu Kala.

Setelah itu, Kala langsung mencari Pak De yang ternyata sedang duduk di teras depan Mushola. Kala menepuk punggung Pak De pelan. Pak De menoleh ke belakang dan tersenyum menyambutnya. "Sudah lebih tenang hatinya, Mas Dokter?" tanya Pak De dengan sopan.

"Alhamdulillah, sudah jauh lebih tenang."

"Syukurlah."

"Pak De sering jaga malam di Mushola seperti ini?"

"Lumayan, tapi saya cuma bantu-bantu jaga malam aja. Takut ada maling yang suka ambil kotak amal Mushola dan barang-barang elektronik di sini. Tidak setiap hari, biasanya bergiliran dengan beberapa tetangga. Kalau tiap hari, badan udah tua renta begini bisa kembung saya makan angin tiap malam. Hahaha..." seru Pak De menjelaskan.

"Kesehatan Pak De juga prioritas. Jangan sampai abai."

"Iya, Mas Dokter. Saya usahakan semampu saya."

Saya usahakan semampu saya. Sebuah kalimat singkat. Sederhana. Tanpa mengelukan bualan dan janji manis yang ketinggian. Hanya sebuah usaha yang sejujur-jujurnya Pak De akan lakukan untuk kesehatannya.

"Oh iya, Pak De. Sebelumnya saya minta maaf. Tadi sekilas saya melihat dari dalam, Pak De sedang berbicara dengan seorang perempuan berkerudung. Anak Pak De?" tanya Kala yang penasaran.

"Bukaaan..." tandas Pak De, sambil memberikan isyarat tanganya kalau perempuan berkerudung itu bukan anaknya. Pak De kemudian menceritakan kejadian itu, "Tadi ada mbak-mbak yang sepatunya rusak. Jebol katanya. Dia minta izin meminjam sendal jepit Mushola untuk dia pakai agar bisa melanjutkan perjalanan pulang."

"Oh ya, semalam ini? Ini sudah hampir jam setengah 10 malam lho, Pak." Kala sambil melirik jam di tangan kanannya.

"Mungkin mbaknya mahasiswa. Karena saya liat dia bawa buku kuliahan yang tebal gitu. Soalnya gak jauh dari sini kan ada kampus," jawab Pak De berseloroh.

"Setahu saya juga memang begitu, ada kampus di dekat sini. Kebetulan sepupu saya juga kuliah di kampus itu. Ngekos juga kok di deket sini." Kala mengingat Mona yang kebetulan kuliah dan ngekos di daerah sini.

"Wah, pasti pinter juga ya sepupunya Mas Dokter. Calon Dokter juga, Mas?"

"Gak, Pak De. Kebetulan jurusan yang sepupu saya ambil beda dengan saya."

"Oh begitu. Semoga cepet kelar kuliahnya. Biar makin banyak orang yang bisa bantu sesama dengan ilmunya, dengan kepandaiannya. Biar makin sejahtera negeri ini." Pak De lalu menyelipkan doa untuk Mona dan mungkin juga untuk semua orang yang sedang berjuang menyelesaikan kuliah mereka.

"Amin. Makasih atas doanya, Pak De. Sepupu saya pasti seneng banget ngobrol sama orang kayak Pak De. Dia gak kaku kayak saya. Hahaha...." Kala tersenyum malu.

"Hahahaha... Gak apa-apa, walaupun sikapnya kaku, tapi kan hatinya gak kaku. Peka sama keadaan sekitar. Itu jauh lebih baik. Daripada hatinya kaku, gak peka, gak punya empati sama sesama. Lebih seram ketemu orang yang kayak gitu, Mas Dokter. Hati itu kunci utamanya manusia. Bagaimana bisa mau memanusiakan manusia lainnya kalau hatinya gak bersih? Betul kan, Mas Dokter?"

"Iya," sahut Kala manggut-manggut membenarkan. Sekali lagi, Kala tertampar dengan ucapan polos namun bermakna dari seorang Pak De. Benar-benar sebuah perenungan malam yang luar biasa. Kala dibuat berpikir keras tentang apa yang sebenarnya dirinya butuhkan. Yaitu membersihkan hatinya. Dari segala sesuatu yang membuatnya tidak bisa melepaskan apa yang seharusnya sudah terlepas dari beberapa tahun lalu.

KALA SEA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang