CHAPTER 1

8.9K 704 20
                                    

Gang tanpa nama. Kusebut begitu karena memang tidak ada namanya, atau aku saja yang tidak tahu. Gang itu berada di pinggir jalan utama Desa Sumbergede, tepatnya di sebelah timur, berhadapan dengan hamparan ladang jagung luas yang jika sedang musim tebang, maka akan tampak hutan sumbergede yang lebat di barat. Ada delapan gang di sepanjang jalan utama desa, dan gang tanpa nama itu adalah gang keempat dari selatan.

Ada alasan kenapa sore ini aku berdiri di depan gang dengan wajah bimbang. Kiranya satu menit menimbang-nimbang antara masuk, atau pulang, tapi sebagai cucu yang baik, amanah dari kakek tetap harus aku jalankan.

"Ini beneran gangnya, kan? Sepi banget." gumamku.

Tidak berlebihan kalau aku ragu, karena tidak seperti gang lainnya, gang tanpa nama hanya diapit oleh dua kebun mangga. Kiri dan kanan. Tidak ada satu rumah pun di sekitar, dan sejauh mata memandang hanya ada kesunyian mengisi jalan yang sempit.

Saat hendak mengayuh pedal sepeda, setelah cukup lama mematung, tiba-tiba, seorang tukang becak menyapaku. Dia berhenti di seberang jalan, memandangku penuh penasaran.

"Nganu apa di situ, Cong?" tanya tukang becak, sedikit terdengar gelisah.

"Oh, saya mau ke rumah Pak tabib, Lik. Benar ini gangnya?"

Alih-alih merespon kembali, tukang becak itu malah pergi. Ia lanjutkan perjalanannya ke utara dan masih menatapku dengan cara yang aneh. Seperti ingin berkata sesuatu, tapi di saat yang bersamaan dia coba menghindariku.

"Yak, terima kasih sudah bikin aku takut," gerutuku.

Kukayuh sepeda memasuki gang tanpa nama. Jalanan becek dengan banyak genangan air menyambut. Wajar, sudah tiga hari hujan mengguyur Sumbergede. Biasanya desa ini terkenal panas. Berbeda jauh dengan desa tempatku mondok yang cenderung sejuk karena terletak di dataran tinggi. Cuaca di sana sangat mendukung untuk tidur pagi, siang, bahkan sore. Hanya saja, dinginnya terasa menusuk saat malam tiba. Bandingkan dengan Sumbergede, mau tidur siang saja harus pakai kipas angin. Nyenyak tidak, meriang iya.

Sudah separuh perjalanan di gang tanpa nama. Aku mengayuh dengan hati-hati agar tidak terpeleset. Sepanjang jalan tidak sekali pun berpapasan dengan orang. Hanya ditemani barisan pohon mangga, gemeresak dedaunan, dan kicauan burung yang sedikit mengusir sepi, hingga akhirnya kulihat pagar kayu melintang di ujung gang, menutup jalan.

"Ini gang buntu?" pikirku, karena kalau tidak salah ingat, semua gang di desa ini terhubung ke jalan setapak kecil di pinggir ladang tebu. Entah hanya gang ini saja yang buntu, atau aku yang ketinggalan informasi.

Sesampainya di ujung gang, kutemukan apa yang aku cari. Sebuah rumah—itu pun kalau bisa disebut rumah—yang membuatku tertegun seketika. Lebih pantas disebut gubuk kumuh yang nyaris rubuh. Didingnya terbuat dari kayu dan bilik bambu, atapnya hanyalah tumpukan genting tanah liat usang, dengan lubang yang ditutupi kain-kain bekas. Dilihat bagaimana pun, menurutku gubuk ini tidak layak huni.

Kusandarkan sepedaku pada pagar bambu yang mengelilingi rumah itu. Walaupun kecil, halamannya cukup luas. Lebih luas dari halaman rumahku malah. Ada enam pohon mangga di sana, dan ada ayunan terbuat dari ban bekas yang menggantung di setiap pohon mangga. Enam ayunan, untuk enam pohon mangga, di satu halaman rumah. Sungguh, tempat ini sedikit mengerikan untuk taman kanak-kanak. Kelakarku pada kesan pertama melihat rumah itu.

Jika bukan karena asap yang mengepul dari belakang rumah, aku pasti sudah pulang dan mengira rumah itu tidak berpenghuni. Sambil melewati satu persatu pohon mangga, sambil juga kuperhatikan sekeliling. Selain ayunan di setiap pohon mangga ini, ada gambar kotak-kotak di tanah, seperti arena permainan tradisional Engklek yang terukir di tanah basah. Tadi malam hujan deras sampai tengah malam, tapi ukiran di tanah ini tidak tersapu air, seperti baru saja dibuat.

"Assalamualaikum," ucapku.

Sampai di sini aku menyimpulkan bahwa si tabib tinggal bersama anaknya yang masih kecil, dan itu artinya si tabib tidak terlalu tua. Hanya saja, membayangkan ada anak kecil yang tinggal di tempat seperti ini, aku malah merasa iba. Rumahnya terlalu jelek bahkan untuk ukuran orang miskin yang tinggal di desa. Makin kulihat dari dekat, rumah itu tampak makin menyedihkan. Teras depannya beralaskan tanah. Ada sebuah ranjang bambu dan dua kursi karet di sana. Lalu sebuah lemari kayu tanpa pintu yang di dalamnya berjejer kardus, kantong plastik, botol kosong bekas air mineral, dan beberapa toples berisi bubuk cairan hitam pekat yang entah apa gunanya. Kondisinya juga sudah tidak layak pakai. Hanya ranjangnya yang masih kelihatan kokoh walaupun tikarnya lusuh dan berjamur.

"Assalamulaikum," kuulangi salam yang tidak terjawab.

Ada beberapa foto terpajang di dinding kayu, lalu sebuah pintu yang daunnya terbuat dari kain berwarna merah. Beberapa kali angin mengibas-ngibas kainnya, memberi sedikit celah untuk mengintip ke dalam, tapi, gelap.

"Assalamualaikum," aku pun mulai kesal.

Akhirnya kuputuskan untuk memutar ke belakang rumah di mana kepulan asap tadi berasal. Mungkin tabibnya sedang bakar sampah, pikirku.

Di samping kiri rumah ada kandang sapi. Cukup untuk menampung dua ekor sapi dewasa, meski sekarang tidak ada seekor pun di sana. Kandang sapi, tanpa sapi. Ini tidak akan jadi aneh kalau aku tidak melihat tumpukan rumput segar di tempat pakannya.

"Oh, ada tamu."

Aku tersentak. Kehadiran orang yang tiba-tiba itu membuatku nyaris teriak. Ini akibat terlalu larut memperhatikan kandang sapi, hingga tak sadar kalau tuan rumahnya sudah berdiri di belakangku, di teras rumahnya. Seorang kakek, posturnya bungkuk, rambut berubannya mulai jarang, menampakkan sebagian besar kulit kepala yang keriput. Matanya yang sayu nyaris tertutup alis tebal. Kakek itu mengenakan kemeja putih lusuh, dengan kancing yang dibiarkan tak terpasang, hingga leher, pundak, dada dan perut ringkihnya terlihat jelas.

"Eh, anu, Mbah, Asssalamulaikum, maaf," ucapku, rikuh.

"Waalaikumsalam, harusnya saya yang minta maaf, tadi pas di belakang dengar orang bilang salam, tapi ya saya ndak bisa jalan cepat-cepat," kata kakek itu seraya mengelap keringat di keningnya dengan punggung tangan.

"Oh, iya, nggak apa-apa. Emm, benar ini rumah Pak Ahsan yang tabib itu?" tanyaku dengan sikap yang mulai berangsur santai.

"Ya, saya sendiri."

Aku menautkan alis. Dalam imajinasiku, pak tabib ini orangnya memang tidak muda, tapi yang ini terlalu tua. Berdiri saja masih harus berpegangan pada tiang rumahnya.

"Anu, Mbah. Kakek saya lagi sakit, butuh obat. Kakek bilang, beliau biasa berobat sama Sampean."

"Oh, kamu cucu Kang Saleh. Saya sering dengar kalau beliau punya cucu yang mondok di luar."

"Loh, Mbah tahu dari mana saya cucu Pak Saleh?" tanyaku heran, karena memang belum menyebutkan nama.

"Soalnya cuma Kang Saleh yang manggil saya Ahsan. Orang-orang sini manggilnya lain. Oh, ya, kemarin saya janji racikin obat buat beliau, tapi ...."

Pak Ahsan berpikir sambil memainkan jenggot panjangnya yang kusam dan tampak menyatu dengan kumis serta nyaris menutupi mulutnya. Tangannya kurus dan keriput, urat-uratnya sangat jelas terlihat. Baru kusadari di dadanya ada bekas luka memanjang vertikal hingga ke pusar, membuatku bertanya-bertanya apa yang sudah kakek ini perbuat semasa mudanya.

"Sepertinya saya sedang kehabisan bahan. Gimana kalau Sampean kembali lagi setelah Magrib. Saya mau racik yang baru—Ah, saya hampir lupa. Mari duduk dulu, Nak." Pak Ahsan mempersilakanku duduk setelah terlanjur betah berdiri.

"Oh, nggak perlu repot-repot, Pak. Saya cuma sebentar. Jadi, saya kembali lagi nanti malam, ya?"

"Jangan terlalu malam, jangan lebih dari jam delapan!" kata Pak Ahsan dengan nada tegas yang tiba-tiba.

"Baiklah. Tidak lebih dari jam delapan," ulangku, mantap. "Kalau gitu, saya pamit dulu, Mbah. Nanti kembali lagi setelah salat magrib."

Aku pergi dengan sedikit terburu-buru. Terlepas dari ramahnya pemilik rumah barusan, ada hal yang membuatku tidak betah berlama-lama di sini. Begitu sampai di sepeda, aku sempatkan menoleh untuk terakhir kalinya. Pak Ahsan sudah tidak ada di sana. Namun, samar-samar kulihat ada wajah manusia sedang mengintip di balik kain merah penutup pintu rumah.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang