CHAPTER 11

3.9K 512 33
                                    

Salah satu yang membuat kakek disegani warga adalah, dia seorang guru silat, meski tidak bisa dibilang begitu karena tidak punya murid. Aku malah baru tahu tentang ini setelah berada di pesantren. Salah seorang ustaz kenal dengan kakek. Dia menceritakan pengalamannya yang pernah ditolak menjadi murid, karena tidak lulus ujian tahap pertama. Ustaz tidak bilang apa ujiannya. Aku juga tidak sempat bertanya karena sampai sekarang pun tidak bisa membayangkan orang seperti kakek yang sering bertingkah kekanak-kanakan mengajar bela diri.

Selama ini juga aku hanya sering melihat kakek berkelahi dengan bapak, itu juga cuma saling pukul, tendang, banting, sama sekali tidak ada seni beladirinya. Karena itulah aku tak habis pikir sore ini tiba-tiba saja ada seorang perempuan—lebih tepatnya gadis—yang datang ke rumah mengaku sebagai murid kakek.

Bukan hanya usianya yang janggal, penampilan gadis ini juga tidak biasa. Dia mengenakan baju hitam, celana silat hitam, kerudung hitam, dan bercadar merah. Selain wajah yang tertutup, orangnya juga hemat bicara. Aku jadi kesulitan menebak usianya. Mungkin masih SMP, atau sudah SMA tapi orangnya memang pendek.

Berkali-kali aku suruh masuk, karena kakek masih salat asar, tapi tetap tidak mau. Sebagai tuan rumah, tidak elok kalau aku biarkan tamu duduk di undakan teras, sementara aku tinggal ke dalam. Jadilah aku berdiri di ambang pintu, menunggu tamu aneh itu mau masuk, atau kakek yang lebih dulu keluar.

"Kakek kalau salat biasanya lama, mending nunggu di dalam," ucapku, ramah.

Gadis itu cuma mengangguk, tanpa bicara, tanpa menoleh, tanpa peduli kalau aku jadi jengkel dibuatnya.

Akhirnya setelah hampir sepuluh menit, kakek keluar dari kamar. Pakaiannya tidak menunjukkan kalau sedang bersiap pergi ke acara penting. Rambutnya juga dibiarkan tidak terikat. Putih kusam, gondrong sampai pundak. Kakek cuma mengenakan kaus putih berlengan pendek, dengan celana kain hitam, dan sandal jepit karet. Seperti hendak pergi ke ladang.

"Sudah lama nunggu?" tanya kakek pada tamunya di teras, tanpa mempedulikan aku yang sejak tadi duduk sebal di ambang pintu.

"Baru satu jam, Kak Tuan," ucap gadis itu.

Akhirnya aku mendengar suaranya. Jelas dia lebih muda dariku. Lantas ada urusan apa seorang gadis seperti dia sama kakek?

"Dani, kakek pulangnya agak malam. Mau beres-beres rumah dulu. Kalau ada tamu, jangan kasih tahu kakek ada di mana."

"Iya," jawabku.

"Oh, ya, satu lagi. Obat dari Pak Ahsan sudah habis. Mungkin tinggal sekali minum—ma-maksud kakek, sekali pakai—Nanti kamu pesanin lagi ke sana, ya."

"Iya," jawabku, ketus.

Kakek pergi bersama gadis itu. Jalan kaki. Kalau benar kakek mau pergi ke rumahnya yang ada di hutan, berarti mereka harus jalan kaki hampir satu kilometer. Aku tahu kakek tidak bisa bawa motor, tapi kan ada sepeda. Ah, aku cuma bisa menghela napas. Delapan belas tahun, dan masih belum bisa memetakan jalan pikiran kakek yang rumit.

Tiba-tiba aku sadar akan sesuatu.

"Eh? APA? Aku disuruh ke rumah Pak Jawi lagi?"

***

Sesuai permintaan kakek, aku terpaksa kembali ke rumah Pak Jawi. Kalau bukan karena khawatir dengan luka mengerikan di punggung kakek itu, tentu aku tidak mau disuruh. Kakek pasti kesakitan. Apalagi selama ini dia tinggal sendiri dan tidak ada yang merawat. Karena itu, selagi kakek masih di rumah, aku ingin merawatnya dengan sungguh-sungguh.

Aku berangkat sesegera mungkin, selagi masih pukul setengah empat sore, dan masih ada cukup cahaya matahari. Kali ini aku bawa motor butut bapak agar cepat sampai, dan cepat juga kaburnya. Padahal hanya mau memesan obat, tapi rasanya seperti mau berangkat perang.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang