CHAPTER 36

906 109 0
                                    

"Saleh!"

Mbah Sopet dan Maulida berlari menghampiri kami. Mereka juga menuntun si mencong yang sejak tadi bersembunyi. Sepertinya urusan mereka dengan anak buah Pak Muhadi telah selesai. Tidak sedikit pun aku membayangkan mereka akan kalah, tapi melihat mereka baik-baik saja, tetap saja membuatku lega. Kakek dan Mbah Sopet bersila di tanah. Maulida memijati mereka satu persatu, meski kulihat dia pun sebenarnya sangat letih.

Kini situasi mulai tenang. Pak Edi dan Pak Muhadi pingsan. Namun, tidak satu pun dari kami yang berinisiatif membawa mereka ke rumah sakit.

"Ini kenapa jadi gelap-gelapan gini?" tanya Mbah Sopet.

"Sepertinya penghuni pemakaman ini menunggak tagihan," kelakar kakek.

Mbah Sopet menampar lengan kakek pakai kopiahnya.

"Mumpung di pemakaman, kenapa mereka gak langsung dikubur aja?" celoteh Maulida.

"Gila!" sahutku.

"Gusafar?" tanya kakek.

"Dia lagi jagain anak-anak yang lain di hutan. Sugik juga sudah mengantar sisanya ke sana, tapi ...." Mbah Sopet melirik pada si mencong yang langsung bersembunyi di belakangku. "Siapa sangka masih ada satu lagi."

"Gimana ceritanya mereka bisa sampai sini?" tanyaku.

"Muhadi merampas sesuatu dari mereka, dan tiga anak ini nekat mengikutinya. Bahkan yang kudengar, mereka bahkan nekat melawan. Sayangnya, kali ini Muhadi dan kawan-kawan sudah lebih siap. Tiga anak kecil sama sekali bukan tandingan," tutur kakek.

Mbah Sopet membuka kopiah, mengacak-acak rambutnya yang tipis, hingga helai demi helai ubannya saling silang di kulit kepala yang terlihat lapang.

"Edi dan antek-anteknya tahu kita sedang mencari mereka, makanya sengaja memisahkan keenam anak ini, jadi meski kita berhasil menemukan yang di hutan, kita masih harus mencari tiga anak lainnya," katanya.

"Yang aku heran, kalau memang yang Pak Edi butuhkan cuma benda itu, kenapa repot-repot membawa anak-anak ke pemakaman ini?" tanyaku.

"Untuk ukuran seorang seperti Edi, bisa merencanakan ini dengan sangat baik saja sudah aneh," sambung Maulida.

Sejujurnya, aku pun berpikir demikian. Semua terlalu rapi untuk sebuah rencana bodoh, dengan hasil yang menurutku tidak seberapa. Maksudku, Pak Muhadi terkenal pelit dan gila harta, sementara Pak Edi miskin dan tidak punya jabatan. Tidak mungkin mereka berada di satu tim tanpa motivasi yang kuat, serta nominal yang tepat.

"Orang bertopeng yang kabur tadi, kira-kira siapa, Kek?"

Maulida dan Mbah Sopet serempak melihatku. Mereka baru datang saat orang yang kumaksud sudah lari tunggang-langgang.

"Bertopeng?" tanya Mbah Sopet.

"Ya, dia satu-satunya yang bawa golok, tapi satu-satunya yang kabur. Gendeng," ujar kakek seraya terbahak-bahak.

Kakek berdiri, menghampiri kuburan Ratih, memungut lonceng milik Pak Jawi yang tergeletak di tanah. Sejenak ia perhatikan, lalu kakek bunyikan lonceng itu dengan pelan. Melihat apa yang kakek lakukan, si mencong yang sejak tadi bersembunyi di belakangku jadi makin ketakutan. Tangan mungilnya mememegang lenganku erat, dan wajahnya terbenam di punggungku sambil ia menceracau.

"Tidak seorang pun bisa melawan takdir Tuhan, bahkan jika harus bersekutu dengan iblis sekalipun," tutur kakek. "Namun, kita harus tetap waspada. Muslihat dan godaan mereka kuat, lagipula aku merasakan sesuatu yang tidak biasa dari benda ini."

Kami semua memperhatikan lonceng di tangan kakek. Entah bagaimana isi kepala Maulida dan Mbah Sopet saat ini, tapi karena ini bukan pertama kali aku melihatnya, sering mendengar bunyinya di rumah, serta menyaksikan sendiri bagaimana suara lonceng itu punya pengaruh kuat bagi anak-anak Pak Jawi, di mataku lonceng itu jadi terlihat menyeramkan.

"Kita tidak bisa terus nongkrong di sini. Lihat, Kakeh mukul mereka berdua sampai babak belur, sampai pingsan. Di jalan juga ada beberapa orang yang semaput--"

"--ada yang tangan sama kakinya patah juga," potong Maulida dengan bangga, seolah yang ia sebutkan adalah sebuah prestasi.

"--be-betul itu. Apapun alasannya, yang kita lakukan ini bisa masuk tindak pidana."

"Tapi mereka juga kriminal, kan? Aku yakin mereka semua adalah otak di balik kebakaran rumah Pak Jawi," sahutku.

"Kamu butuh bukti untuk menuduh, Kalaupun tidak punya, setidaknya kamu harus jadi orang yang pintar bicara."

"Cuma bicara saja, sih, aku bisa, Pet," celetuk kakek.

"Pintar bicara, Leh! Pintar! Kakeh gendeng!" geram Mbah Sopet. "Kita butuh tempat aman untuk anak-anak ini. Gusafar bisa diandalkan kalau mengasuh monyet, tapi aku ragu kalau anak manusia."

Mbah Sopet benar. Sejak tadi aku berpikir bagaimana nasib anak-anak ini selanjutnya. Mereka sudah tidak punya orangtua, tidak pula rumah, dan dengan kondisi mereka yang terbatas, mustahil meninggalkan mereka hidup sendirian.

"Pesantren," kata kakek.

"Yakin Kiyai masih mau menerima anak-anak ini? Bukannya tahun kemarin kita juga menitipkan enam orang anak di sana?" sahut Mbah Sopet.

"Kalau yang Sampean maksud adalah anak-anak buangan, mereka tidak lagi tinggal di pesantren," sahut Maulida. "Setelah berkali-kali aparat datang dan memaksa bertemu dengan mereka, Kiyai meminta Dokter Eva untuk membawa anak-anak itu ke luar kota."

Entah apa yang mereka bicarakan. Namun, sepertinya ini bukan kali pertama mereka berurusan dengan kasus anak-anak yang dibuang.

"Bicara soal tempat aman, sepertinya ini juga harus diamankan."

Kakek menyodorkan lonceng itu pada Mbah Sopet.

"Kenapa harus aku?"

"Kamu hobi ngoleksi barang rongsokan--"

"--BARANG ANTIK!" sergah Mbah Sopet.

"Ya, itu, sekalian saja ini bawa. Lagian ini lonceng sakti," bujuk kakek.

"Kalau lonceng itu bisa manggil perempuan cantik, aku mau, tapi kalau yang datang malah siluman sapi, mending kasih Gusafar saja!"

Kakek berpikir sambil menggaruk-garuk kepalanya. Sepertinya sedang bingung mau diapakan lonceng sapi itu. Sementara kakek mencari ide, kami bersiap-siap pergi. Tidak lama lagi tempat ini akan ramai oleh orang, dan saat mereka datang, kami tidak boleh ada di sini.

"Maulida!" panggil kakek. "Bawa ini ke Kiyai Ilyas. Beliau pasti tahu apa yang harus dilakukan dengan benda ini."

Mulanya kulihat Maulida sedikit ragu, tapi akhirnya ia pun menerima lonceng itu. Menurutku, membawa benda keramat seperti itu pada seorang Kiyai adalah langkah yang tepat. Kiyai Ilyas adalah salah satu pengasuh pesantren Sokogede yang disegani tidak hanya warga kecamatan, tapi seantero Tapal Kuda.

Pundakku terasa ringan karena masalah telah selesai. Orang-orang jahat tertidur pulas, anak-anak malang akan punya tempat tinggal baru, siluman terkutuk tidak lagi bebas berkeliaran, dan yang pasti, aku tidak harus satu tim lagi dengan Maulida. Sekarang waktunya pulang dan beristirahat.

"Oh, ya, karena kamu tidak bawa motor, sebaiknya ajak Dani saja!" ucap kakek.

"APA?"

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang