CHAPTER 5

4.4K 548 10
                                    

Siang hari yang membosankan. Kakek pergi entah ke mana. Orang tua itu selalu kelihatan sibuk, padahal tidak ada kerjaan selain membuat layangan dan membuat jengkel bapak. Nasi bungkusnya juga tidak disentuh dari pagi, masih utuh di meja makan. Kecuali pisang goreng yang sudah habis dimakan. Lama-lama peran kami tertukar. Bukan kakek yang mengurus aku selama liburan, tapi aku yang mengurus kakek selama bapak dan ibu tidak ada.

Rumahku berada di pinggir jalan besar, bisa dibilang rumah terakhir di perbatasan desa bagian barat, dekat dengan hutan Sumbergede. Jika mengecualikan mobil-mobil besar yang lewat di sepanjang jalan pantura, maka bisa dibilang rumahku jarang dilalui warga. Kami harus pergi cukup jauh untuk memenuhi hampir semua kebutuhan pokok, di dekat sini tidak ada yang buka warung, karena memang hampir tidak ada tetangga.

Sekitar satu kilometer ke timur, ada gapura merah. Dari gapura itulah jalan utama Desa Sumbergede dimulai, memanjang lurus ke utara, diapit ladang jagung dan barisan rumah warga. Berjarak lima rumah selalu ada gang. Rumah yang berada pinggir jalan kebanyakan memang rumah gedung, tapi di dalam tiap-tiap gang masih banyak rumah bilik bambu, berlantai semen, bahkan masih ada yang dari tanah.

Di desa ini, bapak termasuk salah satu orang berada. Rumah kami bisa dibilang cukup bagus. Tidak terlalu luas, tapi halamannya cukup untuk menampung sepuluh anak-anak bermain bola. Sayangnya, tidak ada anak-anak yang mau bermain ke sini. Selain karena jaraknya yang jauh, para orangtua juga tidak mengizinkan anak-anaknya bersepeda ke jalan besar. Itulah salah satu alasan aku tidak punya banyak teman.

Saat hendak pergi ke kamar mandi, kudengar pintu rumah diketuk, bergantian dengan suara orang mengucap salam. Kuurungkan niat buang air besar. Berjalan pelan dan malas untuk membukakan pintu.

"Waalaikumsalam," jawabku.

Di luar sudah ada tiga orang bersarung. Salah satunya kukenal sebagai teman bapak, tapi lupa namanya, yang aku tahu, setiap kali orang itu ke sini, pasti ada sesuatu yang gawat.

"Haji Karim ada?" tanya salah satu dari mereka.

"Abah sama umi lagi di luar kota."

"Duh, kira-kira jam berapa pulang?"

"Masih lama, kemungkinan satu minggu," jawabku.

Mereka langsung cemas. Berbisik, berdiskusi, lalu mengangguk seperti menemukan kesepakatan.

"Kalau Kang Saleh?"

Kali ini teman bapak yang kukenal itu bertanya.

"Kakek lagi keluar. Biasanya sore baru pulang. Mari masuk dulu, Kang."

Lagi-lagi tiga orang ini berbisik gelisah, membuatku yang keburu buang air jadi makin kesal. Tidak bisakah mereka memberitahuku maksud kedatangannya, daripada bisik-bisik seperti itu.

"Anu, kalau boleh tahu ada apa, ya?" tanyaku.

Seolah berat hati karena tidak ada pilihan lain, mereka pun memberitahuku.

"Begini, Dik, Pak Asmawi, temannya Haji Karim lagi ... anu, sakit. Kemarin Haji Karim minta kami buat ngasih kabar kalau-kalau kondisi Pak Asmawi memburuk, nah sekarang—"

Penuturan orang itu dipotong oleh teman bapak. Dia mengambil alih menjelaskan.

"Sampaikan saja sama Kang Saleh, korban santet di Sumbergede bertambah lagi," ucapnya singkat dan tanpa basa-basi.

Setelah itu, mereka bertiga pamit pergi. Sempat berdebat di halaman tentang siapa yang harus mengayuh becak, dan setelah ditentukan dengan undian, teman bapak terpaksa mengayuh sambil mengeluh, sementara kedua orang lainnya duduk santai di becak sambil merokok.

Kabar yang disampaikan tamu barusan menjadi bahan lamunanku saat buang air besar. Kasus santet sudah jadi masalah besar di daerah Tapal Kuda sejak beberapa tahun terakhir. Di Kabupaten Gandrung malah makin gila lagi. Bahkan di pesantren tempatku mondok sudah jadi pembahasan sehari-hari. Siapa yang sakit, siapa yang perutnya kembung, siapa yang muntah darah, keluar paku dan silet, bahkan siapa yang mati bulan ini. Tak kusangka di desa ini juga ada kasus serupa, padahal Sumbergede cukup terkenal karena ada salah satu pesantren besar di sini. 

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang