CHAPTER 6

4.4K 564 32
                                    

Selepas salat isya, aku pergi membeli minyak goreng ke warung langganan yang lumayan jauh dari rumah. Kuperhatikan kakek tidak terlalu suka makan nasi bungkus, dan kalau boleh jujur, aku pun demikian. Karena itu aku berniat masak untuk besok. Siapa tahu dengan begitu kakek jadi lebih betah di rumah. Lagipula, kupikir ini sebagai bentuk balas budi padanya. Demi menjagaku, kakek rela menurunkan egonya untuk tinggal di rumah bapak, padahal sudah sejak lama hubungan keduanya tidak terlalu baik. Mereka kerap kali bertengkar seperti anak kecil, dan walaupun pemicunya seringkali hal yang sepele, aku masih tidak tahu awal mula permusuhan itu terjadi.

Bapak orang yang keras, baik kepalanya maupun omongannya. Sementara kakekku malah sering bertingkah konyol, serta sulit dinasihati terutama jika sedang sakit. Kurasa itu bisa jadi salah satu penyebab mereka tak pernah kompak. Salah satu yang paling kuingat adalah, bapak dan kakek pernah berkelahi di warung karena berebut pisang goreng. Pi-sang-go-reng, dan saat kubilang berkelahi, mereka benar-benar berkelahi. Saling pukul, tendang, banting. Aku yang saat itu masih terlalu kecil untuk melerai, hanya bisa menangis saat keduanya sama-sama pingsan. Kupikir mereka sudah mati. Bapak dan kakek baru siuman setelah dibawa ke puskesmas, dan, ya! Setelah sadar, mereka berkelahi lagi.

Sampailah aku di tujuan. Warung kecil di pinggir jalan ini tidak banyak berubah. Dulu setiap kali ke pasar, ibu pasti mampir ke warung ini untuk beli sesuatu yang tidak kami dapatkan di pasar. Masih banyak kendaraan lalu-lalang. Para nelayan yang hendak berangkat berlayar, tukang becak yang baru pulang dari pangkalan, sampai gerobak pengangkut pasir pun jadi bagian dari parade malam hari ala desa Sumbergede.

Perhatianku teralihkan pada seseorang yang sedang berdiri di depan warung. Kehadirannya cukup membuatku kaget sampai menunda turun dari motor. Aku kenal anak itu. Aku hanya tidak menduga akan bertemu kembali secepat ini.

"Itu, kan, salah satu anak Pak Ahsan, si Gendut?" gumamku.

Dalam termangu, kulihat seseorang melempar sekantong plastik beras ke arah si Gendut. Beras membentur wajahnya dan jatuh ke tanah, berceceran, mengundang ribut ayam-ayam sekitar. Walau tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tapi hatiku sakit melihat pemandangan itu. Lekas aku turun dari motor, lalu kubantu si Gendut memungut beras yang berserakan. Lebih tepatnya, akulah yang membereskan beras itu seorang diri, karena anak ini hanya berdiri tanpa reaksi.

"Ini," kataku sambil menyodorkan sekantong beras.

Si Gendut menoleh. Aku pun membuang muka. Aku bahkan tidak mengerti kenapa repot-repot menolong anak ini. Bukankah kemarin malam dia dan kelima saudaranya nyaris membuatku mati berdiri. Sepertinya, separuh hatiku masih menyimpan iba. Walaupun cara si Gendut mengulurkan tangan, meraih beras, kemudian berpaling pergi, semua gerak-geriknya benar-benar aneh dan tidak biasa. Aku mulai berpikir, betapa tidak beruntungnya keluarga Pak Ahsan. Sudah keenam anaknya cacat fisik, mereka juga cacat mental. Si Gendut menoleh ke arahku untuk kedua kalinya. Mulutnya masih menganga dan selalu ada air liur yang lewat di dagu lalu menetes di perut buncitnya. Bohong kalau kubilang tidak jijik. Hanya saja, samar-samar di telingaku, aku mendengar suara anak itu. Tidak jelas apa yang ia katakan, tapi kuanggap itu adalah ucapan terima kasih.

Sekarang, selagi anak itu pergi—berjalan dengan langkah beratnya yang pelan sekali—aku yang sejak tadi jongkok pun akhirnya berdiri. Saat itulah aku sadar bahwa aku sedang diperhatikan oleh pemilik warung.

Terheran dengan keadaan, aku hanya bisa berdiri canggung di depan warung, selagi pemiliknya memandangiku dengan tatapan aneh, seolah sedang bertanya kenapa aku melakukannya? Tidak hanya itu, ada dua orang ibu-ibu sedang berdiri di samping warung, sepertinya mau belanja juga, tapi karena sebuah alasan, mereka memutuskan untuk menundanya. Kedua ibu itu saling berbisik dengan lirikan sinis. Jelas sudah, mereka sedang membicarakanku. Lalu, ada seorang tukang cendol yang kebetulan sedang lewat, tapi memutuskan untuk berhenti dan memberiku tatapan yang sama dari seberang jalan.

Aku benar-benar dibuat bingung dan tak nyaman. Namun, karena malas mencari tahu alasannya, kupecahkan kebekuan itu dengan mencoba bersikap biasa.

"Minyak goreng sama berasnya dua kilo, Mbah." Kataku, pada pemilik warung yang sudah seusia kakek.

Tanpa menjawab atau sekadar basa-basi menyapa pembelinya, nenek itu meraih kantong plastik yang tergantung di samping etalase rokok. Tempatnya lumayan tinggi, sedangkan si nenek lumayan pendek. Ingin aku membantunya, andai saja kami tidak dipisahkan oleh meja yang penuh oleh tatanan sayur-mayur dan rempah-rempah.

"Mau ambil apa, Mak?" Tanya seorang pria. Ia baru saja masuk melalui pintu yang menghubungkan warung tersebut dengan rumahnya, "Eh, Dani, ya?"

"Iya, Cak. Wah, lama tidak ketemu Sampean."

Pria itu adalah Kak Imam. Dulu, ia pernah bekerja di ladang jagung bapak sebelum akhirnya menikah dan menetap di rumah istrinya. Mungkin barusan adalah mertuanya.

"Mak istirahat saja, biar saya gantikan," kata Kak Imam seraya menimbang beras pesananku.

Si Nenek pun pergi. Ia masih sempat melempar pandangan sinis itu padaku.

"Sudah berapa hari kamu di sini?" Tanya Kak Imam.

"Baru kemarin, Cak."

"Sudah lulus?"

"Belum, baru juga selesai ujian. Sekarang lagi liburan."

"Udah lama sekali, ya. Saya masih ingat pertama kali kamu mondok di luar. Kalau tidak salah waktu itu umurmu masih tiga belas atau empat belas, benar tidak?"

"Empat belas," tegasku.

Kak Imam menyelesaikan pesananku.

"Ada lagi, Dan?" tanya Kak imam.

"Ini saja. Terima kasih banyak, Cak."

Transaksi pun selesai, kubergegas pulang melewati dua orang ibu-ibu yang sejak tadi berusaha menghindar. Mereka bahkan tidak mau belanja kalau aku belum pulang. Mereka sudah begitu semenjak aku menolong si Gendut, seolah aku telah melakukan sebuah kesalahan yang fatal.

Kiranya kurang dari seratus meter aku meninggalkan warung Kak Imam, lampu motorku menyorot seseorang di pinggir jalan. Seorang anak kecil berdiri di bawah tiang lampu, melotot menyeringai, menampakkan giginya yang jarang. Dia adalah si Gendut, dan dia berhasil membuatku takut, terutama saat anak itu melambaikan tangan sambil mengucapkan sepatah kata.

KAKAK

Aku tancap gas dan tidak mau repot-repot menoleh ke belakang.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang