CHAPTER 33

913 112 1
                                    

Usai mendengar cerita dari Mbah Sopet, kami memutuskan untuk segera menyusul kakek. Di luar dugaan, Sugik masih setia menunggu. Ia tidak sepengecut yang Maulida kira. Ada jiwa kesetiaan yang masih melekat di sana, tertutup oleh sifat kasar yang mungkin saja warisan dari kakeknya. Sugik turun dari motornya kala melihat kami datang membawa teman baru.

"Ke-ketemu?" katanya, tergagap.

"Kenapa? takut?" olokku.

Sepertinya Sugik masih trauma. Bagaimanapun, anak-anak Pak Jawilah penyebab ia kecelakaan. Meski tentu ada penjelasan lain atas kronologi tersebut, tetap saja kehadiran si juling dan kawan-kawan membuat Sugik keder. Ia menghampiriku, berbisik seraya melirik ke arah si juling yang sedang digendong Mbah Sopet.

"Cuma tiga yang masih hidup?"

"Cuma tiga yang ketemu," jawabku, "Tapi bukan berarti yang lain sudah mati."

"Terus ke mana?"

"Ini kita juga lagi mau nyari."

"Gus, bisa kami titip anak-anak ini sama Kakeh!" pinta Mbah Sopet.

"Tenanglah. Aku terbiasa mengurus banyak anak," sahut Kang Gusafar, sembari merangkul ketiga anak Pak Jawi.

"Dia nggak sedang bicara tentang monyet-monyetnya, kan?" gumamku.

Kami bersiap pergi. Mbah Sopet bersama Sugik, aku dengan Maulida. Berdasarkan petunjuk dari si juling, Pak Muhadi mengambil sesuatu dari mereka, dan membawanya ke kuburan. Informasi itu didapat si juling saat menguping percakapan Pak Muhadi dan teman-temannya. Mereka tidak tahu kalau si juling bisa bicara. Karena tidak disebutkan secara spesifik kuburan yang mana, sepertinya kami harus mencari satu persatu kuburan yang ada di desa.

Menurut si juling, saat itu tiba-tiba saja ikatan tangan si mencong, si gendut dan si jangkung terlepas. Karena tidak bisa melepas ikatan saudaranya yang lain, dan merasa bahwa Pak Muhadi telah mencuri benda berharga peninggalan ayahnya, mereka bertiga pun nekat mengikuti Pak Muhadi.

"Ada dua pemakaman di Sumbergede, satu pemakaman umum, satu di area pesantren. Kita mau ke mana?" tanya Sugik seraya menghidupkan mesin motornya.

"Si juling nggak nyebutin Sumbergede, bisa jadi pemakaman di desa lain," jawabku.

"Bagus, kita keliling kecamatan buat nyari kuburan," ketus Sugik.

"Tidak perlu," kata Mbah Sopet. "Anak itu bilang, selain Muhadi ada satu orang lagi yang ia kenal, dan ciri-cirinya mengarah pada satu orang."

"Pak Edi," sahutku.

"Oke," gumam Sugik, ragu. "Itu tetap nggak ngasih kita informasi pemakaman yang mana yang harus kita datangi."

Setelah memastikan Maulida tidak lagi bonceng sambil menghadap ke belakang, aku pun bersiap tancap gas.

"Itu cukup," ucapku. "Kalau Pak Edi terlibat, artinya ada satu pemakaman yang pasti."

***

Transisi antara jalan tanah berbatu dan aspal terasa sangat nyata. Aku tidak perlu lagi menghindari lubang serta tidak lagi naik motor sambil terguncang. Begitu memasuki jalan desa, dan kami bisa berjalan beriringan, kami mensejajarkan kecepatan agar bisa saling bercakap.

"Mbah, Sampean tahu anak Pak Edi dikuburkan di mana?" tanyaku.

"Antara desa Leduk dan Desa Lindung," jawab Mbah Sopet.

"Desa Lindung," sahut Sugik, dengan yakinnya mengeliminasi salah satu kemungkinan.

"Serius?" tanyaku.

"Anak Pak Edi yang perempuan, kan? Dia murid bapakku di SD dulu. Aku tahu soalnya bapakku ikut memakamkan juga waktu itu."

"Kalau gitu, kita ke sana."

Kami berbelok ke timur, menuju ke desa yang dimaksud. Perlahan menambah kecepatan dengan tidak mengurangi kehati-hatian. Selain kemungkinan kami akan berhadapan dengan bahaya, ada satu hal yang mengangguku sejak kami meinggalkan hutan, yakni Maulida yang sejak tadi diam. Ia tampak gelisah dan tidak sekalipun terlibat dalam diskusi.

"Kamu sehat?" tanyaku, menoleh ke belakang.

"Ya, tapi bisa sekarat kalau kamu bawa motor nggak lihat ke depan," jawab Maulida.

***

Pemakaman Desa Lindung punya cerita tersendiri. Tersohor di antara para bocah karena kerap kali jadi bahan ancaman orangtua mereka, yang berdalih anak nakal akan dikubur di sana. Pemakaman ini dikenal angker dan banyak melahirkan kisah-kisah seram yang sebagian dipercaya, sebagian dianggap mitos. Letaknya berada di perkebunan pisang, serta memiliki jalur sempit yang menghubungkan dua desa, membuat pemakaman Lindung ramai dilewati warga saat terang, tapi cenderung dihindari saat gelap, kecuali malam ini.

Kulihat enam orang sedang berjaga di pinggir jalan. Mereka langsung bereaksi kala menyadari dua motor datang menghampiri. Lampu motor ku menyorot salah satu wajah yang langsung kukenali. Bagaimana aku bisa lupa wajah bopeng yang tampak makin hancur dengan hiasan luka di sana-sini. Dia adalah Iyo, anak buah Pak Muhadi.

Di sebelah motor mereka, ada si jangkung dan si gendut yang duduk dengan tangan terikat ke belakang. Pemandangan itu mengingatkanku pada malam di mana anak-anak Pak Jawi mengamuk. Panas di kepalaku berhasil mengusir dinginnya tubuh akibat angin malam, dan rasanya aku ingin segera memberi orang-orang ini pelajaran.

Kami menepi, mematikan motor karena sepertinya enam orang itu tidak akan membiarkan kami lewat. Mbah Sopet menarik pundakku. Wajahnya siaga, kerutan usia menegang dan larut dalam raut yang terlampau serius.

"Bisa berkelahi?" tanyanya.

"Se-sedikit," sahutku tergagap.

Sepertinya Mbah Sopet punya ukuran yang berbeda mengenai sedikit dan banyaknya kemampuan berkelahi yang dibutuhkan dalam situasi ini. Begitu ia melihat tanganku gemetar, ia lepaskan tangannya dari bahuku dan mulai menepuk punggung.

"Lari!" titahnya.

Mbah Sopet mengencangkan serban merah yang ia kenakan sebagai sabuk. Ujungnya terjuntai panjang di samping. Ia kemudian mengenakan dua cincin masing-masing di jari manisnya.

"Mau ke mana, Mbah?" tanya Iyo, basa-basi dengan wajah kecut.

"Ke neraka," jawab Mbah Sopet, sekaligus menjadi pengantar tinjunya yang melayang cepat tepat ke wajah Iyo.

Dalam sekejap, lima orang lainnya bergabung di perkelahian. Kulihat Sugik sudah berhasil mengamankan si gendut dan si jangkung. Ia tancap gas, membawa kedua anak Pak Jawi pergi. Saat perhatianku teralihkan oleh Sugik, tanpa diduga salah seorang anak buah Pak Muhadi berlari ke arahku. Tangannya sudah siap menonjok mukaku yang melongo karena tidak tahu harus bagaimana.

Beruntung serangan itu patah oleh tangan mungil yang dengan cakapnya menangkap, membalik, dan mengirim kembali serangan itu pada pemiliknya. Maulida telah berdiri gagah di depanku, melindungiku yang hanya bisa berdiri payah.

"Mending kamu susul Kak Tuan!" perintahnya.

"Terus kamu?"

"Mbah Sopet pasti lelah habis berkelahi di hutan. Sakti seperti apa pun, dia nggak bisa ngelawan mereka semua."

Lawan Maulida kembali menyerang, kali ini lebih beringas. Pria mana yang harga dirinya tidak melebur kalau dihajar oleh seorang gadis kecil.

"Dan kamu pikir kamu bisa membantu?" sangsiku.

Maulida menghindari semua pukulan dengan sempurna. Cadar merahnya melambai-lambai dengan cantik, dan tendangan kaki pendeknya mendarat di dagu pria itu dengan brutal hingga pria itu pun terkapar. Sekarang aku menyaksikan sendiri seberapa sakti gadis ini. Maulida yang tidak bisa membuat kopi dengan benar, justru membuat anak buah Pak Muhadi seperti mainan.

"Kamu bilang apa?" tanya Maulida.

Sebaiknya aku tidak menjawab. Kumanfaatkan peluang yang Maulida berikan untuk menyelinap, meninggalkan perkelahian enam pria melawan seorang kakek dan seorang gadis. Benar-benar tawuran yang aneh.

"Dani!" panggil Maulida.

"Ya?"

"Aku punya firasat buruk. Jaga Kak Tuan sampai kami menyusul," ucap Maulida.

Entah firasat buruk apa yang dia maksud, tapi mungkin itulah yang membuat Maulida terdiam selama perjalanan menuju ke tempat ini.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang