CHAPTER 30

920 110 8
                                    

Malam yang direncanakan tiba. Tak banyak yang kupersiapkan selain menguatkan mental. Cukup lama berdiri di depan cermin, menatap wajah sendiri, mencari segaris rasa takut di sana, tapi yang kutemukan justru lingkaran keraguan.

Maulida sudah menunggu. Berdiri di teras membelakangi pintu. Ia tak menoleh saat kuajak masuk. Kukira itu sikap wajarnya sehari-hari, mengingat gadis itu unik dan misterius. Namun, saat kuperhatikan tangannya yang tak henti mengepal dan terbuka, saat itu aku tahu dia pun sedang gelisah. Mungkin takut, atau mungkin ada hal lain yang tidak aku ketahui.

"Masih betah berdiri?" tanyaku.

Pelan Maulida berbalik. Menoleh. Sulit menebak ekspresi dengan wajahnya yang tertutup cadar merah itu. Hanya saja, sekilas matanya tampak sayu.

"Kalau kamu takut, kamu nggak perlu ik—"

"—Ya, ya, ya! Aku ikut, sekali lagi kubilang, aku ikut, dan nggak, aku nggak takut!"

Aku mulai kesal dengan pertanyaan itu. Kenapa dia selalu menganggapku takut, sementara di sini dialah yang paling gelisah. Jempol kakinya mengentak-entak lantai seperti bapak-bapak yang tidak sabar menunggu anaknya selesai buang air besar.

"Sudah siap?"

Kakek sudah berdiri di belakang kami. Melihat dari pakaian dan persiapannya malam ini, aku rasa ini akan jadi misi yang gawat. Kakek membawa serta tongkat kayu bercabangnya, yang konon hanya ia bawa kalau sedang memburu perampok atau preman. Tak lupa serban merah melingkar di bahu, dan kopiah hitam menutupi rambut kusam kelabu.

"Siap, tapi ... ngapain sampai bawa-bawa senjata, Kek?" tanyaku.

Kakek melihat Maulida, ia memberi isyarat untuk berangkat.

"Ayo!" kata Maulida. Ia sudah berdiri di samping motor.

"Kamu nggak bawa sepeda sendiri?" tanyaku, bingung bagaimana caranya motor tua itu membawa aku, kakek dan Maulida sekaligus.

"Kalian pergi berdua saja!" titah kakek.

"Loh, terus kakek gimana? Jalan kaki?"

Maulida menepuk-nepuk jok motor. Seperti tidak sabar ingin dibonceng.

"Kak Tuan punya urusan sendiri, dia tidak ikut kita ke hutan."

"Hah?"

***

Sekitar seratus meter sebelum tikungan menuju hutan. Sebelum jalan beraspal ini berubah jadi perpaduan tanah, pasir dan batu yang membuat laju motor melompat-lompat, aku harus mengatakan sesuatu pada Maulida.

"Aku ngerti kamu ngerasa canggung boncengan sama cowok, tapi ... KENAPA HARUS HADAP KE BELAKANG, HAH? Mana jarak duduknya jauh banget lagi, kalau jatuh gimana?"

Kami berhenti di persimpangan tiga, kupaksa mengubah posisi duduk Maulida meski harus berdebat hebat. Rasanya seperti sedang mengantarkan anak nakal pergi ke sekolah. Walau demikian, akhirnya gadis aneh ini menurut juga.

"Kalau bukan karena perintah Kak Tuan, aku nggak mau pergi sama kamu."

"SAMA!" balasku, ketus.

Bekerjasama dengan Maulida bukan hal yang mudah. Bagaimana kerjasama bisa terjadi kalau komunikasi kami saja hancur seperti ini. Hampir selama perjalanan kami hanya beradu argumen. Beberapa kali juga ia mengomentari caraku membawa motor, padahal Maulida sendiri hanya bisa mengendarai sepeda mini.

Setelah perjalanan penuh drama ini, akhirnya kami pun sampai di hutan, dan kami berdua sama-sama diam. Atmosfer membuat kami bungkam. Gelap menyadarkan kami betapa seriusnya situasi, dan suara angin menerpa pepohonan mengingatkanku betapa jauhnya aku dari rumah.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang