CHAPTER 18

3K 426 17
                                    

Erik sedang tidak di rumah. Kata adiknya, dia sudah pergi kerja sejak pukul delapan pagi. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya. Aku yakin dia sudah dengar tentang terbakarnya rumah Pak Jawi, karena saat hendak pamit pulang barusan, adiknya menanyakan tentang itu padaku. Aku jadi teringat kata bapak, kalau kabar buruk selalu lebih cepat menyebar daripada kabar baik, dan kejadian ini telah membuktikannya.

Dalam perjalanan pulang dari rumah Erik, aku sempatkan mampir di kios bensin. SPBU terdekat berada di kota Sembalur, dan sisa bahan bakar di tangki tidak akan cukup membawaku ke sana. Lagipula kios bensin ini bersebelahan dengan warung gorengan. Aku bisa sekalian beli pengganjal lapar karena hari ini sedang malas masak.

Di sampingku tengah berdiri seorang gadis. Sama sepertiku, dia juga sedang membeli gorengan. Aku sangat yakin kami tidak pernah bertemu, tapi gadis itu seolah kaget melihatku lalu cenderung menghindar dan memalingkan wajah. Ia juga buru-buru memberikan uang, mengambil pesanannya, lalu bergegas pergi mengendarai sepeda mini dengan keranjang besar di depannya, tempat ia meletakkan sebungkus gorengan barusan.

"Itu seragam madrasah tsanawiyah di pesantren Sumbergede, kan?" gumamku, kala mengenali seragam yang dikenakan gadis itu.

"Kamu Fatah, anaknya Haji Karim, kan?"

Pertanyaan dari pemilik warung itu mengalihkan perhatianku yang sempat melekat pada gadis barusan.

"Eh, i, iya, Mbah," jawabku.

"Wah, sudah besar, ya."

Fatah adalah nama panggilanku sebelum masuk sekolah. Biasanya saudara dan orang-orang yang sudah tua memanggilku dengan nama itu, sedangkan teman-teman sekelas, Ustaz dan beberapa keluarga dekat memanggilku Dani. Sejujurnya aku masih keberatan dipanggil Fatah, karena itu adalah nama salah satu pengasuh Pesantren Sumbergede. Bapak sengaja memberikan nama itu dengan harapan aku bisa meneladani akhlak, ilmu, dan perjuangan Kiai Abdul Fatah, dan itu cukup menjadi beban. Aku tidak bisa memenuhi ekspektasi bapak dalam mengemban nama besar ini.

Innalillahi, wa innailaihi rajiun. Telah meninggal dunia, Bapak Asmawi bin Saad. Dusun Krajan, Sumbergede.

Seketika orang-orang di sekitar berhenti bicara. Semua memperhatikan pengumuman yang tersiar melalui pengeras suara di masjid. Aku tidak kenal siapa yang meninggal, tapi sepertinya itu nama yang sama dengan yang waktu itu disampaikan Kang Yudis. Kalau tidak salah, Pak Asmawi ini teman bapak yang sudah lama sakit, yang dicurigai Kang Yudis sebagai korban santet. Terbukti dari bisik-bisik orang-orang dengan pemilik warung. Semua menyayangkan meninggalnya Pak Asmawi, dan menyangkut-pautkannya dengan kasus santet.

Merasa tidak ada lagi urusan, aku pun pulang. Rencananya setelah makan gorengan, aku ingin nonton televisi sampai tidur. Banyak hal yang terjadi di desa ini, sampai-sampai aku lupa kalau pulang untuk liburan. Waktuku di sini kurang dari satu minggu, dan aku ingin memanfaatkannya sebaik mungkin.

***

Sore hari, telepon di rumah berdering. Aku yang sedang rebahan di ruang tamu karena lelah habis menjemur pakaian, terpaksa bangun untuk menjawabnya. Rupanya yang ada di ujung telepon adalah bapak.

"Kakekmu mana?" tanya bapak, tanpa basa-basi, tanpa mengucap salam.

"Nggak tahu, Bah, belum pulang dari tadi."

"Abah dengar kabar, katanya ada yang meninggal?"

"Iya, namanya Pak Asmawi. Waktu itu Kang Yudis sempat ke sini nyariin Abah, dia ngasih tahu kalau Pak Asmawi itu sudah lama sakit."

Terdengar bapak menggumamkan innaillahi, kemudian menyampaikan kabar itu pada ibu yang mungkin sedang menguping di sampingnya.

"Ya, sudah, nanti kalau kakekmu pulang, suruh telpon ke Lik Endang. Nomornya ada di buku hitam, cari saja nama lik Endang."

"Iya, Bah."

Ada beberapa detik diam antara aku dan bapak. Aku pikir, ini waktunya menyudahi panggilan, tapi tiba-tiba bapak menyambung percakapan.

"Kapan balik ke pondok?"

"Sabtu, Bah."

"Kalau liburannya udah cukup, mending cepat balik. Tidak usah nunggu Sabtu."

"Loh, eman, Bah. Lagian kalau aku balik cepat, di pondok masih sepi. Teman-temanku belum balik."

"Ya, sudah, yang penting kamu di situ jangan ngelakuin yang aneh-aneh. Jangan terlalu sering ikutin kakekmu. Kunci pintu rumah sebelum jam tu—"

KAKAK

Perlahan suara bapak mengecil. Lama-lama tidak kudengar lagi. Telingaku seperti mengabaikan semua bunyi kecuali suara yang barusan memanggil. Rasanya seperti dibisiki dari dekat, dari belakang telinga, tapi ketika aku menoleh, tidak ada siapa pun di sana, hanya pintu rumah yang terbuka dan membiarkan angin sore menelusup ke dalam.

Perasaanku jadi tak keruan. Kututup telepon tanpa mengucap salam. Pelan kudekati pintu yang terbuka, berdiri di ambang memperhatikan halaman rumah yang sepi. Jelas tidak ada tamu di sana, tidak juga di dalam rumah. Entah yang barusan itu suara angin, atau aku saja yang berhalusinasi.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang