CHAPTER 37

885 105 1
                                    

Kakek dan Mbah Sopet harus pulang dengan berjalan kaki. Setelah semua aksi mereka yang membuatku kagum, aku baru sadar kalau keduanya tidak bisa mengendarai sepeda motor. Anak buah Pak Muhadi telah siuman, mereka bergegas kabur setelah melihat kami, meninggalkan Mbah Sopet yang tampak sangat kecewa.

"Kenapa mereka malah kabur? aku kan cuma butuh tumpangan," gerutu Mbah Sopet.

"Tukang ojek juga nggak bakal mau nganterin orang yang habis bikin mereka babak belur," sahut Maulida.

"Ucap orang yang habis bikin mereka patah tulang," timpalku.

Saat kami hendak berpisah, dari kejauhan lampu motor mendekat, membuat silau sesaat. Seseorang datang, dan berhenti di depan kami. Begitu lampu dan mesin motornya mati, aku pun tercengang.

"Erik?"

"Aku ketemu Sugik di jalan lewat kebun mangga--gila, dia bonceng anak-anak--lah? Masih ada satu lagi?" Erik melongo melihat si mencong, lalu ia menggeleng keras, berusaha menepis ketidakfokusannya. "Dia nyuruh aku nyusul ke sini, katanya lagi ada yang gawat, tapi kok sepertinya biasa aja?"

Kupukul pundaknya sambil terkekeh. Setelah bertemu orang-orang jahat, lega rasanya bertemu wajah yang kukenal baik.

"Bagian serunya udah berakhir, tapi kebetulan kamu di sini, ada kakek-kakek yang butuh tumpangan," ucapku.

Mbah Sopet berpikir sejenak, lalu berbisik pada kakek. Entah apa yang mereka diskusikan, tapi sepertinya mereka sedang membicarakan Erik.

***

Tujuan selanjutnya adalah Pesantren Sumbergede. Sesuai rencana, kami harus menyerahkan lonceng sapi ini pada Kiyai Ilyas. Lebih tepatnya, Maulida yang harus memberikannya, aku cukup mengantarkan sampai gerbang saja. Berbeda dengan perjalanan sebelumnya, aku sama sekali tidak merasa tegang. Tahu bahwa semua masalah telah berakhir, rasanya aku sedang berada di epilog sebuah film yang kerap kali berisi canda, tawa, dan momentum hangat para peran utamanya. Kecuali satu orang pemeran pembantu yang tampak uring-uringan.

Aku dan Maulida menoleh ke belakang, pada Erik yang tampak sangat tak ikhlas mengikuti kami sambil membonceng si mencong.

"Kenapa dia harus ikut?" gerutu Maulida.

"Kamu dengar sendiri kata Kakek, kan? Anak-anak Pak Jawi mau dititipin ke pesantren, membawa si mencong ke rumah Kang Gusafar cuma buang-buang waktu, sekalian saja anak itu langsung dibawa ke pesantren."

"Ya, tapi sesuai rencana, kalian cuma boleh ngantar sampai gerbang, biar aku yang bawa lonceng sama bocah itu ke Ndalem Kiyai."

"Sejujurnya, aku mau nganterin kamu sampai pinggir jalan sa--"

Refleks kubanting setir ke luar jalur. Laju motor yang lumayan cepat membuatku hilang kendali, hingga akhirnya menabrak pohon, sementara Maulida sudah lebih dulu melompat.

Masih dengan wajah tegang dan tatapan nanar. Aku kaku di pinggir jalan dengan mesin motor menyala.

"Ka-kamu lihat itu?" tanyaku.

"Ya," jawab Maulida.

Fakta bahwa Maulida tidak protes setelah kuajak menabrak pohon, meyakinkanku bahwa ia juga menyaksikan apa yang baru saja melintas di depan kami.

"Woy, kalian nggak apa-apa?" tanya Erik yang terpaksa berhenti dan menghampiriku.

Angin berembus tinggi dan kencang, menerobos pohon demi pohon, menghujani kami dengan daun-daun kering dan patahan ranting yang halus. Aku turun dari motor, pandangan siaga mengedar di kegelapan. Lonceng sapi yang kugantung di pinggang bergetar hebat. Suasana mendadak hening, lalu sebuah suara lahir.

KAKAK DATANG

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang