CHAPTER 26

976 112 4
                                    

Terpaksa. Akhirnya aku mampir juga. Rumah Pak Edi tidak terlalu besar. Ada musala di halaman rumahnya yang luas, dan di halaman itu berjejer dua rumah lainnya yang menurut Pak Edi adalah milik saudara. Usai salat di musala, Pak Edi mengajakku masuk. Kami duduk di ruang tamu, menikmati kopi dan kue kering yang sama sekali tidak kusentuh. Saat Pak Edi pamit ke kamarnya sebentar, aku memperhatikan beberapa benda yang terpajang di ruang tamu.

Satu hal yang paling mencolok adalah, ruangan ini punya banyak sekali foto yang dipajang di atas lemari hias, digantung di dinding, dan semuanya merupakan potret dari orang yang sama, yakni seorang anak perempuan. Usianya mungkin masih tujuh sampai sepuluh tahun. Aku bisa menebak karena di salah satu foto anak perempuan itu mengenakan seragam sekolah dasar, dan kalau tidak salah menebak lagi, anak perempuan ini adalah orang yang sangat spesial bagi Pak Edi, karena ada sebuah lukisan besar di dinding yang didedikasikan khusus untuknya.

"Namanya Ratih, anak pertama saya," ujar Pak Edi, seolah tahu aku sedang memperhatikan foto anaknya.

"Oh, nggak heran. Anak pertama selalu punya tempat spesial di hati orangtua, kadang namanya juga dijadikan tanda di piring, sendok dan garpu," ucapku.

"Kamu juga pasti spesial buat Haji Karim. Kalau tidak salah, kamu anak satu-satunya, kan?"

"Iya, Pak. Dik Ratih sekarang sudah kelas berapa?"

"Ratih meninggal tiga tahun lalu, tepat di usianya yang kedelapan."

Aku kehilangan nafsu mengobrol. Biasanya aku selalu menegur Erik kalau dia melontarkan pertanyaan konyol, sekarang malah aku yang menanyakan hal bodoh. Ramah tamah Pak Edi yang baru dimulai, seketika selesai karena aku telah mengingatkannya pada luka lama. Tidak, tiga tahun bukan waktu yang lama. Luka itu pasti masih basah dan perih, dan tanpa sengaja aku mengoyaknya lagi. Duka orangtua yang kehilangan anaknya, tidak akan sembuh sampai mereka mati.

"Maaf, Pak, saya nggak tahu," ucapku.

"Ah, tidak apa-apa."

Niatnya tidak ingin menyentuh kopi, tapi terpaksa kuseruput juga sebagai upaya menghilangkan saling diam yang canggung antara aku dan Pak Edi.

"Ratih sakit keras. Dia berhenti sekolah sejak kelas lima SD, karena kondisinya tidak memungkinkan untuk pergi belajar, juga bermain," tutur Pak Edi.

Mendengar intonasinya dalam menjeda kalimat, sepertinya cerita Pak Edi akan panjang. Kuletakkan kopi di meja, lalu memperbaiki posisi duduk.

"Kami sudah berkali-kali membawa Ratih ke rumah sakit. Sudah berkali-kali juga Ratih dirawat inap. Setiap kali di rumah sakit, Ratih selalu menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Dokter juga bilang kalau Ratih cuma kecapekan, dan butuh istirahat. Awalnya, kami senang mendengar diagnosis itu, sampai akhirnya kami pulang, penyakit Ratih malah tambah parah."

"Sakit apa ya, Pak?" tanyaku.

"Saya juga menanyakan hal yang sama, bahkan sampai sekarang tidak tahu jawabannya. Ratih tidak demam, tidak ada gangguan buang air besar, tapi anaknya pucat, lemas, dan gampang jatuh seolah tubuhnya hilang keseimbangan. Anehnya setiap kali ke rumah sakit, dokter selalu ngasih kesimpulan yang sama, Ratih kecapean. Kurang makanan bergizi, padahal kalau kamu tahu, kami rela cuma makan singkong rebus selama sebulan agar bisa membelikan Ratih makanan yang lezat. Sakit Ratih tambah parah sejak dia mulai muntah darah."

"Muntah darah?"

"Ya, tapi tidak seperti orang mual pada umumnya, Ratih muntah seolah di tenggorokannya ada sesuatu yang menyangkut. Kadang seperti tersedak. Kami bawa Ratih ke rumah sakit lagi, tapi sama seperti sebelumnya, sampai di rumah sakit, penyakit Ratih seolah lenyap, dan kami kembali dijejali dengan omong kosong dokter kalau Ratih kelelahan, anemia, dan macam diagnosis yang tidak memuaskan."

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang