CHAPTER 3

5K 567 23
                                    


Kembali ke gang tanpa nama. Malam ini aku bawa motor butut bapak yang biasa dipakai ke ladang. Aku tidak seberani itu mengayuh sepeda di jalan gelap, becek, tanpa lampu, dan ternyata keputusanku tepat. Gang tanpa nama ini sama sekali tidak punya penerangan. Kuharap siapa pun kepala desa yang baru nanti, mau menyisihkan sedikit dana untuk memasang lampu.

Kupacu sepeda butut bapak. Ngebut, tapi tetap konsentrasi. Jalan becek ini bisa saja membuatku terpeleset, terjungkal, lalu meluncur bebas di atas lumpur. Memang jatuh di tempat sepi tidak akan membuat malu, kecuali diam-diam ada kuntilanak di atas pohon mangga yang menertawakanku.

Sampailah di rumah Pak Ahsan, dan untuk sebuah alasan, gubuk kumuh itu membuatku tercengang.

Kuparkir motor di dekat pintu masuk halaman, di tempat yang sama seperti tadi sore. Kulangkahkan kaki menuju ke rumah Pak Ahsan. Celingak-celinguk karena suasana yang menurutku unik, atau bisa dibilang aneh. Desa ini tentu sudah dialiri listrik secara menyeluruh, tapi Pak Ahsan seperti menolak lampu. Penerangan di gubuk ini masih mengandalkan lampu minyak, dan beberapa obor yang digantung di pohon mangga. Satu lampu petromax besar di kandang sapi. Kombinasi klasik dan mengerikan itulah yang membuatku tercengang.

Segala keanehan yang kulihat tadi sore jadi makin mencolok saat malam. Tiga dari enam ayunan di pohon mangga itu berayun pelan. Entah tertiup angin, atau baru saja digunakan. Rumput segar di tempat pakan sapi juga menghilang, membuatku bertanya-tanya, kalau tidak ada sapi, terus rumput itu siapa yang makan?

Ada satu hal lagi yang menarik perhatianku. Di bawah salah satu pohon mangga, kulihat enam anak kecil duduk jongkok di tanah sedang mengelilingi sesuatu. Seperti sedang bermain gundu. Keenamnya menunduk, dan tidak peduli akan kedatanganku. Aku pun tidak punya alasan mempedulikan mereka karena sudah sampai di depan rumah. Tampak Pak Ahsan sedang berada di teras, duduk di bangku kayu menghadap ke arah anak-anak bermain. Terlihat sedang mengawasi.

"Assalamualaikum," ucapku.

"Waalaikumsalam."

Pak Ahsan menjawab, kemudian menyipitkan mata, mencoba memastikan siapa yang datang. Wajar, di usia seperti itu, penglihatannya pasti sudah tidak baik.

"Oh, Sampean. Mari duduk dulu, Nak. Mau jemput obat, kan?"

"Iya, Mbah. Maaf terlambat. Soalnya masih ada tamu di rumah."

"Oh, ndak apa-apa, kok, ndak apa-apa," katanya.

Setelah mempersilakan aku duduk, Pak Ahsan masuk ke dalam rumahnya. Ia menyibak kain merah dengan pelan, lalu menghilang di kegelapan. Dari semua cahaya api di luar, bagian dalam rumahnya dibiarkan tetap gelap.

Aku duduk di kursi yang tempat duduk dan sandarannya terbuat dari tali karet berwarna merah. Sebagian sudah putus dan bergelantungan ke bawah. Persis seperti punyaku di rumah. Aku merenung. Rumah Pak Ahsan ini sebenarnya tidak berbeda dengan beberapa warga Sumbergede yang hidupnya kurang beruntung. Mungkin aku terbuai hidup yang nyaman, hingga kemiskinan jadi terasa menakutkan. Ya, keluargaku pun bukan orang kaya, tapi setidaknya kami hidup lebih berada dari Pak Ahsan.

Cukup lama aku menunggu, dan sekarang jadi bosan. Untuk menghilangkan jenuh, iseng kudekati anak-anak yang sedang bermain di halaman itu. Sepertinya asyik sekali. Sejak tadi mereka tergeming seolah sangat menikmati permainannya. Kupasang senyum ramah. Berharap tidak terlalu menganggu mereka. Usia mereka tampak tidak jauh berbeda satu sama lain. Mungkin sebaya dengan sepupuku yang baru masuk sekolah dasar. Dari dekat kulihat mereka sedang jongkok mengelilingi gambar kotak-kotak permainan Engklek yang kulihat tadi sore. Ada sebuah benda tergeletak tak jauh dari tempat mereka duduk. Seperti sebuah bantal dengan kain putih yang warnanya hampir kecoklatan.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang