CHAPTER 17

4.4K 516 49
                                    

Garis polisi melintang di sepanjang pagar rumah Pak Jawi. Beberapa aparat kelihatan mondar-mandir di sekitar puing-puing gubuk tua itu, sementara aparat yang lain menjaga warga agar tidak masuk ke area Tempat Kejadian Perkara. Aku masih tercengang dengan jumlah penonton yang datang. Bahkan ada yang naik ke atas pohon hanya agar bisa melihat gubuk hangus dengan jelas. Tidak hanya padat dan berjejal, analisis amatir dari warga juga membuat gaduh. Mayoritas hanya tebak-tebakan tentang sumber api, sisanya obrolan tak penting yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Pak Jawi.

Di pinggir jalan tadi kulihat ada truk pemadam kebakaran. Sayangnya karena akses ke rumah Pak Jawi yang sempit, truk itu tidak bisa lewat. Beruntung selang airnya masih bisa menjangkau titik api, meski menurut yang aku dengar, gubuk itu sudah lebih dulu rubuh sebelum sempat disentuh air.

Di antara hiruk-pikuk warga, ada satu percakapan yang menarik perhatianku, hingga sengaja kumenguping karena ingin mendengar lebih jelas.

"Kata petugas pemadam, waktu ditemukan mayatnya yang sudah hangus."

"Mayat Pak Jawi, kah?"

"Memang siapa lagi kalau bukan Pak Jawi?"

"Cuma satu?"

"Ya, yang ketemu cuma satu. Belum ada kabar lagi tentang mereka."

Tewasnya Pak Jawi sudah aku dengar dari gadis bercadar merah yang datang ke rumah bersama kakek tadi subuh, meski dia bilang itu hanya dugaan sementara, karena mayat yang ditemukan di dalam rumah belum diidentifikasi.

Berdasarkan cerita si gadis bercadar, orang yang pertama kali menemukan jenazah Pak Jawi adalah tiga orang nelayan yang sedang berangkat ke Desa Leduk untuk berlayar. Mereka melihat cahaya merah dari ujung Gang Kadal, bersama dengan kepulan asap membumbung ke angkasa. Tiga nelayan itu bergegas memeriksa, dan mendapati rumah Pak Jawi sudah dilalap api. Selagi dua orang nelayan berusaha menerobos api demi menyelamatkan penghuninya, satu orang lagi bergegas ke rumah tetangga untuk cari pertolongan.

Baik dari gadis bercadar, maupun dari bisik-bisik warga, semua kronologi kebakaran diceritakan seolah-olah terjadi karena kecelakaan. Namun, bagiku yang berada di sini beberapa jam sebelum kejadian, serta menjadi saksi bagaimana sepak terjang anak-anak Pak Jawi melawan komplotan Pak Muhadi, aku tidak bisa menepis curiga bahwa kebakaran ini memang disengaja. Mungkin sebuah bentuk peringatan, atau buah dari dendam.

Didorong oleh rasa penasaran, tanpa sadar aku sudah berada di barisan terdepan, terus maju hingga sampai di depan garis polisi.

"Mundur!" tegur seorang polisi, sambil mengacungkan jarinya padaku.

"Ma-maaf, Pak," ucapku.

Saat hendak kembali ke kerumunan, kudengar seseorang memanggil. Dia adalah Pak Edi. Lagi-lagi Pak Edi. Dia sedang bicara dengan polisi barusan, sambil sesekali menunjuk ke arahku. Setelah itu, Pak Edi melambaikan tangannya, memintaku untuk masuk, seperti orang tua yang baru saja membelikan anaknya tiket ke pasar malam.

"Abahmu belum pulang?" tanya Pak Edi.

"Belum, mungkin minggu depan."

Aku melintasi halaman rumah Pak Jawi sambil memperhatikan sekitar. Salah satu ayunan di pohon mangga putus karena rantingnya patah. Jejak ban motor Pak Muhadi dan kawan-kawan tersapu air hujan. Mungkin tidak kelihatan bagi orang lain, tapi bagiku yang menyaksikan sendiri kejadian semalam, bahkan jejak kaki mereka pun rasanya masih bisa jelas tergambar.

Di dekat reruntuhan gubuk, kulihat kakek sedang duduk sendirian. Ia dan gadis bercadar itu pergi ke luar lagi setelah salat subuh. Katanya ada urusan yang belum selesai. Aku berniat menghampiri kakek, tapi Pak Edi mencegahku. Ia merangkul dan menggiringku jauh dari keramaian, ke dekat kandang sapi yang masih utuh seolah tak tersentuh api. Gelagat Pak Edi mulai aneh. Seperti orang yang gugup.

"Dani, janji sama saya, kamu dan temanmu mau tutup mulut!"

"Maksudnya?" tanyaku, heran

"Tidak usah pura-pura. Saya tahu apa yang kamu lihat di sini semalam," ucap Pak Edi.

Aku tidak heran kalau ada orang lain yang tahu, aku hanya tidak mengerti kenapa Pak Edi menyuruhku tutup mulut. Lagipula, bagian mana yang harus aku tutupi? Si gendut yang ditangkap Pak Muhadi, Pak Muhadi yang berniat menjarah rumah Pak Jawi, atau anak-anak Pak Jawi yang mengamuk?

"Muhadi sudah cerita semuanya sama saya, dan kami sepakat untuk tidak memperpanjang masalah. Maksud saya, ehm, tentang anak-anak Pak Jawi itu."

Jadi, Pak Edi ingin aku tutup mulut soal penyerangan anak-anak Pak Jawi terhadap komplotan Pak Muhadi? Aneh. Kalau mengingat watak Pak Muhadi, dia bukan orang yang mudah menerima kekalahan. Dia pasti akan menuntut Pak Jawi atas tuduhan penyerangan dan penganiayaan, bahkan jika Pak Jawi membela diri dan menyinggung soal pemukulan yang dilakukan Pak Muhadi terhadap si gendut, akar permasalahan ini tidak berubah. Pak Jawi tetap di pihak yang bersalah.

"Baik," ucapku, ragu.

"Bagus!"

Usai berkata demikian, Pak Edi pun pergi. Ia kembali bergabung dengan warga lain di dekat reruntuhan rumah Pak Jawi. Dia mengajakku masuk ke dalam TKP, tapi kemudian ditinggalkan sendiri. Aku bisa saja pulang, tapi karena terlanjur di sini, kumanfaatkan waktu untuk melihat-lihat sekitar, sambil masih bertanya-tanya, jika memang mayat hangus yang ditemukan nelayan itu adalah mayat Pak Jawi, lantas bagaimana nasib keenam anaknya? Si gadis bercadar tidak menjawab saat kutanya begitu tadi subuh. Dia ikut-ikutan bersikap seolah membicarakan anak Pak Jawi adalah hal yang tabu.

Selagi perhatian orang-orang tertuju pada polisi yang sedang memberikan pengumuman, aku bisa leluasa berkeliling di dekat reruntuhan. Sudah beberapa kali ke sini, baru kutahu ada sebuah sumur di belakang rumah Pak Jawi. Sumurnya lebih besar dari yang ada di rumah, tapi mulut sumurnya tertutup papan kayu besar dan diberi batu sebagai pemberat. Sekilas tercium bau menyengat, mendadak aku pun mual.

Di sekitar sumur ada tumpukan rumput. Mirip rumput gajah yang biasa dijadikan pakan sapi. Karena rumputnya sudah kering, aku tidak bisa memastikan. Namun, jika memang benar rumput gajah, kemungkinan besar ini adalah rumput yang sama dengan yang ada di kandang. Aku yang sudah mengecualikan kandang sapi Pak Jawi dari daftar keanehan, sekarang justru makin heran setelah penemuan rumput kering di dekat sumur. Untuk apa Pak Jawi cari rumput kalau akhirnya dibuang?

Cukup dengan sumur, kini kualihkan perhatian pada rumah Pak Jawi yang hangus, rata, dan jadi lebih mirip sisa-sia api unggun di perkemahan, hanya saja bahannya bukan dari kayu bakar, melainkan lemari, ranjang, beberapa perabotan, dan tubuh seseorang.

Rumah yang kukhawatirkan runtuh karena hujan deras, ternyata harus rubuh karena kobaran api. Aku selalu penasaran dengan isi rumah Pak Jawi. Sekarang saat dinding bambunya sudah tak berdiri lagi, gubuk kecil itu jadi kelihatan lebih sempit dari yang kubayangkan. Entah bagaimana caranya Pak Jawi membagi ruang dengan keenam anaknya. Dari puing-puing yang ada, aku hanya menemukan satu ranjang, itu artinya sebagian besar dari mereka harus mengalah tidur di lantai tanah entah beralaskan apa.

"Heh, jangan masuk!"

Kakek menegurku yang tanpa sadar sudah hampir melewati batas. Dia sendirian. Tak kulihat ada pendamping kecilnya di sekitar.

"Kek, sudah ada kepastian soal jenazah yang ditemukan di sini? Benar itu Pak Jawi?" tanyaku.

"Sepertinya gitu, polisi belum kasih tahu," jawab kakek sambil menguap.

"Terus, gimana sama keenam anaknya?"

"Anak?"

"Iya, anak! Ayolah, Kek, berhenti main-mainnya. Aku sudah bukan anak kecil yang bisa dibohongi terus!"

Kakek menepuk pundakku, bersamaan dengan jari telunjuk di depan bibirnya. Dia menyuruhku diam, dan ini sudah membuatku sangat jengkel. Bahkan setelah kepergian Pak Jawi, orang-orang di desa ini masih tega mengabaikan keenam anak cacat itu, dan menganggap mereka tidak ada.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang