CHAPTER 24

1.1K 128 12
                                    

Sesuai dugaanku, rumah Pak Jawi pasti masih ramai. Hanya saja, bukan keramaian seperti ini yang aku bayangkan. Banyak anak kecil berlarian di halaman, ada yang asyik bermain ayunan dan memanjat pohon mangga, ada juga yang mengais puing-puing kayu dan arang untuk dijadikan pedang-pedangan. Garis polisi sudah dibongkar, dan rumah nahas yang baru saja menghanguskan seorang pria tua, kini tak ubahnya taman bermain anak-anak.

Selain anak-anak, ada juga beberapa warga dan aparat. Memang tidak ada lagi yang berseragam, tapi pria tegap berjaket kulit hitam itu sudah pasti adalah polisi. Dia tampak sedang berdiskusi dengan tiga orang warga desa, dan salah satunya adalah Pak Edi. Lagi-lagi Pak Edi. Mereka berada di pinggir sumur, di belakang rumah Pak Jawi yang kini terlihat jelas dari halaman karena rumah Pak Jawi telah hangus membumi.

Tidak seperti kelompok anak-anak yang seragam dalam permainan, para dewasa justru membentuk kubu-kubu yang satu sama lainnya seperti sedang membahas hal berbeda. Bila di pinggir sumur ada Pak Edi dan polisi, kakek, Mbah Sopet, dan Kang Yudis justru berkumpul di kandang sapi milik Pak Jawi.

"Fatah," sapa Mbah Sopet.

Aku mengangguk, "Mau jemput kakek," ucapku.

Kakek belum merespons kehadiranku selain dengan gerakan tangan sebagai isyarat tunggu dulu. Tampaknya obrolan kakek dan Kang Yudis belum selesai.

"Berarti ini sudah diputuskan kalau yang terbakar itu memang jenazah Pak Ahsan?" tanya kakek, dengan suara yang pelan.

"Menurut polisi, sih, begitu," jawab Kang Yudis. "Tapi ada satu lagi yang saya dengar dari bisik-bisik mereka."

Kang Yudis melirik kubu Pak Edi. Suaranya jadi lebih pelan seolah sedang berhati-hati.

"Apa?" tanya Mbah Sopet.

"Katanya, mereka sudah menemukan keenam anak Pak Ahsan."

"Mustahil!" sela Mbah Sopet, lantang, yang langsung membuat kakek dan Kang Yudis serempak berdesis.

"Kita nggak bisa ngeremehin polisi. Mereka punya semua sumberdaya yang mumpuni untuk mencari orang hilang, apalagi cuma anak kecil, enam lagi," tutur Kang Yudis.

"Yang bikin aku heran bukan bisa atau tidaknya mereka menemukan anak-anak itu, tapi kenapa mereka repot-repot mencari mereka?"

"Saleh benar. Setahuku, polisi baru bergerak cepat kalau kasusnya besar, atau minimal uangnya banyak," celetuk Mbah Sopet.

Di tengah-tengah diskusi, sebuah balok kayu melayang cepat melewatiku, Mbah Sopet, Kang Yudis, lalu mendarat tepat di pelipis Kakek. Balok itu jatuh ke tanah. Baru kulihat kalau ujungnya tajam, membuatku langsung mencemaskan kakek.

"Kek?"

Cemasku seolah sia-sia, karena kakek seperti tidak merasakan apa-apa. Tidak ada satu goresan pun di wajahnya. Ia masih santai bicara meski perhatian Kang Yudis dan Mbah Sopet sudah tidak lagi padanya.

"Cong, jangan main lempar-lemparan!" tegur Kang Yudis pada anak-anak yang tanpa sengaja melemparkan balok kayu itu hingga menghantam kakek.

Alih-alih minta maaf, kedua anak yang sedang bermain pedang-pedangan justru kabur lalu sembunyi di balik pohon mangga.

"Sudah, biarkan saja," ucap Mbah Sopet.

"Dibiarkan gimana, Kang? Kalau sampai kena mata, bisa cacat."

Kakek memungut kayu yang tergeletak di tanah, lalu membuangnya jauh melewati pagar rumah, seolah tidak merasakan apa-apa. Ia kemudian berdiri, memperbaiki kopiah, lalu mengajakku pulang.

"Kamu balik aja ke sana, jangan sering ngumpul sama kami, nanti kamu dijauhi," nasihat kakek pada Kang Yudis.

Hari sudah mulai petang. Beberapa orangtua datang menjemput anaknya yang sedang bermain di rumah Pak Jawi. Ini sudah jamnya mereka mandi, lalu bersiap mengaji di musala. Kecuali Kang Yudis yang kini bergabung dengan Pak Edi dan kawan-kawan, Aku, kakek, dan Mbah Sopet memutuskan untuk pulang.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang