CHAPTER 25

1K 114 0
                                    

Satu jam sebelum magrib. Tak ada lagi tanda-tanda aktivitas di Puskesmas Sumbergede. Delapan orang anak yang dibawa ke sini terpaksa tidur di teras beralas kain dan selimut. Orangtua mereka sempat panik anaknya tidak segera dapat pertolongan, karena setelah berada cukup jauh dari rumah Pak Jawi pun, mereka masih saja muntah-muntah.

Kang Yudis yang datang bersama Pak Edi langsung mengunjungi rumah kecil di samping Puskesmas, masih di satu halaman, hanya dipisahkan oleh garasi tempat sebuah ambulans terparkir. Setelah Kang Yudis mengetuk pintu rumah itu dengan gawat, seorang perempuan berkacamata yang masih mengenakan mukenah keluar.

Kulihat Kang Yudis menunjuk ke arah teras Puskesmas, membuat perempuan itu terkejut, lalu kembali menutup pintu. Tak berselang lama, perempuan itu keluar membawa kotak bergambar palang merah. Baru kutahu dia adalah seorang dokter setelah Kang Yudis menyapanya dengan senyum yang sangat lebar dan mata yang berbinar. Namanya Dokter Eva. Ya, dokter itu memang cantik, aku yakin bukan hanya Kang Yudis yang berpikir demikian, tapi jelas hanya dia yang tampak paling mengagumi.

"Adik-adik ini habis makan apa?" tanya dokter Eva.

Pak Edi menjelaskan kronologi kejadian. Kang Yudis mengambil alih penjelasan Pak Edi yang baru memasuki pembukaan. Sepertinya, Kang Yudis tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas untuk mengobrol dengan dokter Eva.

Setelah cukup mengamati dari atas motor, aku mulai memikirkan apa yang sekarang harus kulakukan. Pulang, karena tugasku ke sini cuma mengantar, atau tetap tinggal karena tidak ingin dianggap acuh dan kurang peduli pada anak-anak.

Saat sibuk menimbang keputusan, seorang gadis keluar dari rumah Dokter Eva. Ia mengenakan kerudung putih, dan langsung berbaur di keramaian, membantu Dokter Eva menangani pasien. Tidak ada yang aneh dari gadis itu, kecuali aku merasa pernah bertemu dengannya di suatu tempat.

"Oh, ya, itu kan gadis yang kemarin beli gorengan," gumamku.

Satu hal yang mencolok dari gadis itu adalah, semua orang menyapa dengan hormat, bahkan ibu-ibu bersalaman dengan mencium tangan, meski gadis itu segera menarik tangannya karena merasa tak pantas.

"Dani, tolong ambilkan tempat sampah di sana!" pinta Pak Edi.

Aku menurut, turun dari motor, mengambil tempat sampah besar yang dimaksud, lalu meletakkannya di samping Pak Edi. Segera tempat sampah itu terisi oleh kantong plastik bekas muntahan anak-anak yang sekarang hanya berupa cairan bening. Isi perut mereka nyaris terkuras, tak heran jika anak-anak ini terkulai lemas.

Gadis itu melihatku sekilas, lalu membuang muka. Entah karena dia mengingatku, atau dia lupa dan menganggapku hanya tukang ambil tempat sampah yang tidak punya kontribusi berarti dalam musibah ini.

"Sumur tua memang jangan sembarangan dibuka, Pak. Apalagi seperti yang Mas Yudis bilang, isinya kotoran" Dokter Eva menasihati, "Bisa jadi di dalamnnya ada gas beracun. Sama kasusnya seperti petugas—maaf—kebersihan kamar mandi pesantren yang meninggal karena masuk ke dalam lubang kakus sedalam dua meter, dan secara langsung menghirup gasnya."

Pak Edi manggut-manggut, kemudian seolah menemukan alasan tandingan yang membuatnya tidak terlalu disalahkan, ia pun mendebat.

"Apa boleh buat, Dok. Itu juga demi kepentingan penyelidikan, toh. Tadi juga nggak sendirian, ada petugas dari kepolisian yang mengawasi."

"Dan ke mana petugas itu sekarang?"

"Pu-pulang," ucap Pak Edi.

"Ya, benar, akhirnya anak-anak jadi korban, dan para orangtua ini kerepotan."

Pak Edi cuma garuk-garuk kepala. Dengan pengetahuannya yang terbatas, mustahil dia menang berdebat dengan dokter, apalagi kalau topiknya tentang kesehatan. Pak Edi sendiri saja hampir pingsan di samping sumur tadi.

Hari mulai benar-benar gelap. Puskesmas yang sudah tutup, terpaksa dibuka meski nyaris tidak ada petugas di sana, kecuali dokter Eva, dan seorang sopir ambulans yang memang tinggal di dekat Puskesmas. Dengan bantuan Pak Edi serta para orangtua, anak-anak yang kondisinya mulai membaik akhirnya dibiarkan istirahat di dalam. Tentu saja aku ikut membantu, dan tentu saja Kang Yudis yang paling banyak aksi. Dia sangat semangat menggendong anak-anak ke tempat tidur pasien. Tampak sekali ingin dipuji atau dikagumi seseorang.

Saat aku merasa sudah waktunya pulang, dan sudah siap menyalakan mesin motor, Pak Edi duduk di jok belakang tanpa permisi, lalu minta diantar pulang tanpa sungkan.

"Saya ke sini ikut Yudis, tapi dia tidak mau pulang. Masih betah di Puskesmas," ujarnya beralasan.

Meski sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak, serta tidak rugi juga karena rumah kami satu arah ke selatan, tetap saja aku merasa tidak nyaman membonceng orang ini. Kubalut ketidakihklasanku dengan senyuman terpaksa, dan berharap selama perjalanan Pak Edi tidak mengajakku bicara.

Saat melewati Gang Kadal, selawat tarhim sudah mulai terdengar di masjid. Musala-musala di pinggir jalan mulai benderang, dan anak-anak kecil sudah berlarian sambil menenteng sejadah dan sarung. Seperti biasa, Gang Kadal tetaplah sebuah gang sepi. Serupa terowongan gelap yang tak tersentuh cahaya. Gilanya, meski hanya sekelebat, aku masih bisa mencium bau busuk itu. Aku yakin kakek dan yang lainnya sudah pulang. Hanya berharap mereka tidak lupa menutup kembali sumur pembawa sial itu.

Rumah Pak Edi berada di ujung Gang Seroja. Satu gang sebelum Gang Kadal. Sesuai dugaanku, bau dari sumur itu juga tercium sampai ke rumahnya. Tidak sampai menyengat, tapi cukup mengganggu tiap embusan napas.

"Masuk dulu, sudah magrib. Salat di sini saja," ujar Pak Edi, ramah.

"Nggak usah, Pak. Saya mau langsung pulang, soalnya—"

"—Masuk dulu, ada yang mau saya omongin sama kamu," katanya, tegas.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang