CHAPTER 13

3.5K 495 37
                                    

Pagi ini rumah Pak Mursid sedang ramai dikunjungi warga. Mereka berdesakan masuk ke halaman rumah demi menyaksikan sendiri peristiwa yang jadi sumber keramaian. Tadi malam, tepat ketika listrik padam, seekor sapi milik Pak Mursid raib dicuri. Kabarnya, kasus pencurian ternak di Sumbergede meningkat dalam beberapa bulan terakhir, dan sapi Pak Mursid adalah yang ketiga di bulan Februari ini. Ditambah lagi isu santet yang belum reda, membuat warga Sumbergede makin resah.

Selain polisi, kulihat ada beberapa tokoh dari pesantren Sokogede yang juga hadir, tapi tidak lama, setelah itu mereka pulang. Biasanya pesantren jarang turun tangan menangani kasus pencurian, kecuali kasus kali ini sudah terlalu besar dan berpotensi membuat kekacauan yang lebih parah. Pesantren Sokogede tidak sekadar tempat menimba ilmu. Faktanya, Desa Sumbergede ada dan berkembang seperti sekarang juga berkat pengaruh besar pesantren Sokogede. Dulunya daerah ini adalah hutan belantara, sebelum seorang ulama kharismatik datang membabat hutan untuk mendirikan sebuah pesantren, yang kemudian menjadi besar, dan akhirnya melahirkan Desa Sumbergede. Hutan di samping rumahku adalah sisa-sisa dari hutan tersebut.

Bicara tentang hutan, selain Hutan Sumbergede yang jadi batas bagian barat desa, sekitar tujuh kilometer ke arah timur juga terdapat Hutan Tambalur yang membentang luas, memisahkan kabupaten Patokan dengan kabupaten Gandrung. Mungkin, letak geografis Sumbergede—dan beberapa desa di kecamatan yang sama—yang diapit dua hutan inilah yang membuat pencurian ternak makin marak. Sering kudengar para pencuri ternak kabur lalu menghilang di hutan.

Namun, kasus yang menimpa Pak Mursid bisa dibilang aneh, tak lazim, bahkan cenderung mengerikan. Alih-alih membawa kabur sapi curiannya, pencuri kali ini justru memakannya mentah-mentah dan meninggalkan bangkai sapi tersebut di tengah hutan Sumbergede.

Kini aku berada di antara kumpulan para petinggi desa. Kami bermusyawarah di dalam rumah Pak Mursid. Sebisa mungkin merahasiakannya dari warga yang masih gaduh di halaman. Mengenai bagaimana aku bisa tergabung dalam kelompok elit ini, ya, itu karena kakek menyeretku masuk ke dalam rumah Pak Mursid, setelah memaksaku bangun pagi, dan minta diantarkan ke sini, karena kakekku tidak bisa bawa motor sendiri.

"Pas ketemu di hutan Sumbergede, sapinya sudah mati, tapi kondisinya yang sangat janggal. Dua kakinya patah, lidahnya terpotong, bola matanya dicungkil, isi perutnya terburai, dan sebagian besar daging sudah habis," tutur Pak Mursid.

Perutku bergejolak, karena Pak Mursid mendeskripsikannya terlalu detail.

"Jadi, sapinya dimangsa hewat buas begitu?" tanya salah satu aparat desa. Dia yang waktu itu pergi ke rumah mencari bapak, dan yang datang menjenguk Sugik bersama Pak Edi. Sekarang aku ingat, Namanya kalau tidak salah, Yudis.

"Beda, Le',"(Ale'/Alek, berarti adik dalam bahasa madura) sanggah Pak Mursid. "Saya sering keluar masuk Hutan Tambalur dan Sumbergede, saya tahu persis gimana bangkai hewan yang habis dimangsa. Nah, ndak tanda-tanda seperti itu di sapi saya. Luka-lukanya rapi, sama sekali tidak seperti dicabik taring, malah seperti dipotong pakai pisau atau benda tajam lainnya."

"Sampean masih ngotot kalau pelakunya adalah manusia?" tanya Mbah Sopet.

"Lah, jelas! Saya juga yakin pencurinya bukan cuma satu, tapi berkelompok. Lagian di hutan Sumbergede ndak ada hewan buas." Pak Mursid terdengar sangat yakin.

"Pak Mursid benar. Ada banyak jejak kaki di sekitar kandang sapi," tutur Pak Edi.

Lagi-lagi Pak Edi. Kenapa setiap kali ada kasus di desa ini, dia selalu ikutan. Aku mengerti dia adalah ketua RT, tapi Pak Mursid tinggal di RT yang berbeda dengannya. Bisa dibilang, ini di luar tanggung jawab Pak Edi. Sepertinya benar dugaanku, orang ini ambisi sekali menjadi kepala desa, makanya sebelum pemilihan dimulai, dia sengaja cari panggung biar dianggap orang yang punya banyak kiprah di masyarakat.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang