CHAPTER 7

4.8K 574 43
                                    

Dini hari kakek membangunkanku. Dari caranya mengguncang dan menepuk kakiku, sepertinya dia sangat panik. Aku belum siap menghadapi dunia yang masih terlalu dingin dan gelap, hanya bisa merespon dengan wajah kusut dan berdeham serak.

"Cepat cuci muka! Kita ke rumah sakit."

"Hah?"

Mataku terbuka sedikit lebih lebar. Khawatir penyakit kakek tambah parah, sampai-sampai dia mengajakku ke rumah sakit, tempat yang paling kakek benci karena dia takut jarum suntik.

"Kakek sakit?" tanyaku.

"Bukan kakek, tapi Sugik. Dia baru saja kecelakaan, kakinya patah."

***

Kami menempuh perjalanan sekitar tujuh kilometer ke kota Sembalur, kota kecil yang punya salah satu pabrik gula terbesar di kabupaten. Di pabrik itulah semua hasil tebu diolah, dan ke sanalah truk-truk yang lalu-lalang di seluruh kecamatan Banyusirih bermuara. Tidak hanya mengandalkan truk sebagai sarana angkut, Sembalur juga punya kereta lori yang sampai saat ini (1990) masih beroperasi. 

Kereta tua pengangkut tebu itu masih tampak kokoh melintas di atas rel peninggalan belanda yang membujur di sepanjang Sembalur, di pinggir jalan. Jalurnya terus memanjang sampai ke hutan Sumbergede, meski rute ke Sumbergede sudah lama ditutup, sejak akses ke ladang tebu Sumbergede makin mudah, dan mereka memilih mengangkutnya menggunakan truk saja.

Sembalur tidak punya gedung pencakar langit. Hanya deretan toko dan warung berjajar di pinggir jalan, serta beberapa bangunan industri, seperti pabrik gula, pabrik kapas, dan perkebunan milik pemerintah. Tidak lupa pasar tradisional dan juga pasar hewan. Beberapa fasilitas umum yang tidak ada di desa juga tersedia di Sembalur, salah satunya adalah Rumah Sakit yang berada di jantung kota.

Setibanya di rumah sakit, aku dan kakek bergegas ke kamar nomor dua di Ruang Anggrek, di kamar itulah temanku yang bernama Sugik sedang terbaring dengan kaki kanan berselubung perban yang sedang digantung ke langit-langit.

Dia punya derita, aku punya rasa iba. Namun, melihat luka di wajahnya, entah kenapa perutku serasa geli. Sugik punya luka gores tepat di bawah hidung, di atas bibir, membuatnya terlihat seperti komedian Jojon, dan itu sangat menggelitik. Aku masih bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Bagaimana pun akrabnya kami, tetap saja tak elok menertawakan orang yang sedang tertimpa musibah.

"Lihat, Dan, lihat mukanya! Mirip Jojon, kan?" ledek kakek.

Mata kakek sampai berair, tangan kirinya masih menunjuk Sugik, sedangkan tangan kanannya menepuk-nepuk punggungku sambil terbahak-bahak.

Sejujurnya aku pun lelah menahan tawa. Sekarang wajahku jadi kelihatan bodoh karena bingung harus memasang raut seperti apa.

"Gendeng! Cucuku sedang kena musibah malah ditertawakan!" Tegur Mbah Sopet, kakek dari Sugik.

"Lah, iya, maaf." Kakek berdeham "Saya langsung ke sini pas dengar kabar tentang Sugik, tidak menyangka kalau kondisinya sangat—Ya Allah!"

Kakek kembali cekikikan karena tidak tahan melihat wajah Sugik. Suara kakek bahkan hampir hilang.

Aku dan Mbah Sopet cuma bisa geleng kepala. Kami berdua sudah tidak heran lagi dengan tingkah kakek.

"Kenapa anak pesantren ada di sini?" sapa Sugik, sinis.

Dia masih kelihatan sangar walau habis celaka. Wajahnya memang sudah menyebalkan sejak masih kecil. Sugik berperawakan tambun, dengan kedua alis yang nyaris menyambung. Tak terhitung berapa kali aku dibuat nangis olehnya waktu kecil dulu, tapi saat ada anak lain yang coba menggangguku, Sugik selalu di depan untuk membela.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang