CHAPTER 9

4K 520 37
                                    


CHAPTER 9

Baru saja rumahku ramai oleh tamu, lima belas menit kemudian sudah sepi kembali, meninggalkan enam cangkir teh yang tiga di antaranya masih tak tersentuh. Tidak seperti biasanya, tamu kali ini tidak membuat rumah gaduh. Baik kakek dan keenam tamunya bicara pelan, cenderung berbisik, dan lekas pergi saat tamu ketujuh datang membawa kabar yang sepertinya cukup gawat. Apalagi dua di antara tamunya adalah Mbah Sopet dan teman kakek yang ke mana-mana selalu bawa monyet—aku lupa namanya—dia penjaga hutan Sumbergede. Sepertinya ini berhubungan dengan kasus santet yang makin runyam, karena biasanya mereka baru berkumpul kalau ada masalah besar.

Sekarang tinggallah aku seorang diri. Sudah biasa, hanya saja malam ini diperparah oleh rasa lapar. Baru kuingat kalau belum makan malam, padahal sudah lewat pukul sebelas. Kulihat nasi masih cukup seporsi, tapi lauknya tinggal remahan tempe dan tetesan sayur bening. Melihat jumlah piring kotor di tempat cuci piring, sepertinya kakek makan lahap hari ini, terlepas dari ikan goreng yang katanya asin. Apa boleh buat, masih ada sepuluh jam lagi menahan lapar sampai waktu sarapan.

Kuhabiskan waktu itu sambil menonton televisi, berharap kantuk datang lebih cepat agar bisa mempersingkat penantian. Beberapa lampu di rumah sudah kumatikan, kecuali lampu di teras dan halaman depan. Untuk sebuah rumah di ujung desa yang dekat dengan hutan, kami butuh penerangan tambahan di beberapa titik rawan, meski sejauh ini belum pernah mengalami kasus pencurian, tapi tak ada salahnya berhati-hati daripada menyesal kemudian.

Kudengar tikus berlarian di atap. Dari suara langkahnya bisa kutebak seberapa besar ukurannya. Di rumah ini, tikus sudah seperti tetangga kurang ajar yang menumpang dan mencuri makanan. Beberapa kali coba dibasmi, tapi tetap saja mereka kembali lagi. Kubiarkan saja hama itu berkeliaran di atap, karena percuma memikirkan tikus kalau aku sendiri sedang lapar.

HIHIHI

Mataku terbuka lebar setelah kelopaknya sempat separuh tertutup. Aku memang ngantuk, tapi masih sangat sadar bahwa yang barusan bukan suara tikus. Tidak ada tikus yang cekikikan seperti itu. Aku diam di depan televisi. Kukecilkan volume sampai nyaris tak terdengar. Menunggu beberapa detik, berharap suara itu tidak muncul lagi agar bisa meyakinkan diri bahwa yang barusan hanya halusinasi.

Cukup lama kudengarkan sekeliling. Saat sedang konsentrasi seperti ini, suara tetes air keran di dapur pun terdengar sampai ke ruang televisi. Rasanya aku jadi lebih sensitif terhadap sembarang bunyi. Saat itulah kudengar derit yang aneh di samping rumah, tepatnya di pintu samping yang menghubungkan rumahku dengan lorong berbatas pagar, tempat kami menjemur pakaian. Daun pintu di sana terbuat dari tripleks. Kondisinya sudah buruk. Engselnya berkarat, dan perlu sedikit diangkat agar bisa tertutup rapat.

Aku beranjak dari kasur lesehan tempatku menonton televisi. Suara itu kembali terdengar. Kali ini makin jelas. Seperti ada orang sedang mencakar permukaan pintu tripleks dari luar. Bila mengabaikan beberapa detail, denah rumahku cukup sederhana. Ruangan persegi empat yang memanjang, terbagi menjadi empat bagian. Ruang tamu di depan, sekaligus kamar bapak dan ibu, kemudian ruang televisi dengan dua kamar saling berhadapan—kamarku di kanan, dan kamar yang saat ini ditempati kakek di kiri—lalu dapur sekaligus ruang makan dengan dua toilet di sudut kiri, dan pintu tripleks tadi di sudut kanan. Bagian terakhir dari rumahku adalah pekarangan belakang tempat sumur dan semua tanaman hias bapak dipajang. Berbeda dengan tiga ruangan tadi, pekarangan belakang rumahku sedikit lebih luas. Bila dilihat dari atas, denah rumahku nyaris menyerupai huruf L.

Banyaknya kisah seram yang kudengar dari para santri, serta deretan film horor yang pernah kutonton, rupanya telah menanamkan sinyal awas pada bunyi-bunyian asing seperti barusan. Aku tidak mau pergi ke dapur sekadar memeriksa asal suara, kalau ternyata ada sesuatu berjubah putih sedang melayang di balik pintu. Karena itu, kutambah volume televisi, kunyalakan semua lampu, lalu alih-alih pergi ke asal suara, aku memilih bersembunyi di kamar. Ya, aku belajar menjadi orang normal dalam situasi yang mungkin berakhir tidak masuk akal.

Sayangnya, aku lupa kalau kamarku berada tepat di samping lorong tempat menjemur baju, dan ada jendela kaca yang mengarah langsung ke sana. Bila sedang malas, biasanya aku menggantungkan pakaian kotor di kawat jemuran melalui jendela ini.

HIHIHI

Suara itu lagi. Tampaknya memang bukan halusinansi pendengaran. Aku benar-benar mendengar suara orang cekikikan, dan dari kamarku ini, semuanya jadi sangat jelas, termasuk suara pintu dicakar yang makin lama makin sering terdengar. Tak perlu berpikir panjang, ini waktunya pindah ruangan.

Dengan langkah cepat aku pergi ke ruang tamu. Sempat mondar-mandir tak tahu harus apa, sampai akhirnya kuputuskan duduk di kursi panjang, berharap bisa tidur di sana tanpa gangguan. Dari sini suara tadi tidak lagi terdengar. Telingaku berhenti menangkap hal-hal yang menakutkan, tapi giliran mataku yang harus menahan cobaan.

Aku melihat bayangan melintas di samping rumah, melalui celah dinding kaca di ruang tamu yang tertutup gorden cokelat. Tidak hanya satu, tapi dua. Saat aku beranikan diri menutup celah gorden, bayangan ketiga juga melintas dengan cepat, menuju ke halaman depan, disusul suara cekikikan yang sama dengan yang kudengar di ruang televisi dan kamar. Bila itu adalah maling, harusnya mereka kabur ke belakang, melewati kebun mangga, ladang jagung, lalu belok ke hutan. Kecuali bayangan barusan adalah sesuatu yang lain.

Tidak mau menghabiskan malam sambil menahan lapar dan penasaran, kuberanikan diri melihat ke halaman depan. Siapakah, atau apakah yang sedari tadi berkeliaran di rumah dan membuatku was-was. Kusingkap sedikit tirai, cukup untuk separuh wajah mengintip, lalu terbelalak dengan apa yang kutemukan di halaman rumah.

Dua orang sedang berdiri di balik pohon mangga, mengintip dari dua sisi. Menyeringai melihat ke dinding kaca, seolah berhasil memergokiku sedang mengintip mereka. Remang cahaya tidak cukup memastikan, tapi aku punya tebakan kuat siapa dua orang itu, sekaligus menjawab misteri munculnya jejak kaki di halaman, serta ubi rebus yang dibungkus koran. Aku hanya tidak habis pikir kenapa mereka bisa sampai ke sini, dan bagaimana mereka tahu rumahku? Lalu, bukankah bayangan yang lewat tadi ada tiga, lalu ke mana satunya?

KAKAK

Aku terjungkal sampai duduk di lantai. Sosok anak kecil tiba-tiba muncul di balik dinding kaca. Anak perempuan dengan rambut panjang berantakan yang nyaris menutupi separuh wajahnya. Mulutnya yang tidak berada di posisi normal, serta bantal berkain putih lusuh yang sedang dipeluknya itu, aku tahu. Aku sangat tahu. Mereka anak-anak Pak Ahsan, dan anak-anak itu sedang berada jauh dari rumah mereka, bermain di halaman rumah orang, pada pukul sebelas malam. Gila! Benar-benar gila.

Anak perempuan itu menjulurkan tangan. Telapak tangan kecilnya yang kotor menyentuh kaca, lalu kukunya yang hitam menggaruk dengan pelan, seraya tersenyum menatapku yang sedang ketakutan. Tak banyak pikir lagi, aku tutup celah gorden, lalu dengan mengesampingkan sopan santun, aku masuk ke kamar bapak, kemudian meringkuk di balik selimut, di atas kasur, mencoba mengabaikan panggilan dengan suara halus yang terus berulang.

KAKAK, KAKAK, KAKAK

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang