Usai membersihkan diri dan ganti pakaian, aku merebah di kamar sambil menunggu azan subuh, sambil melamunkan apa yang sedang dilakukan Erik sekarang. Tadi, setelah mengantarkanku pulang, Erik langsung pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Aku memaklumi kalau dia trauma, dan itu membuatku merasa bersalah. Terlebih setelah semua yang terjadi di sana, Erik masih sempat membawa pulang obat milik kakek yang aku sendiri sempat melupakannya.
Aku akan mengunjunginya nanti, sekarang waktunya menyembuhkan diri sendiri. Banyak hal yang sengaja kujejalkan dalam lamunan agar pikiranku tentang anak-anak Pak Jawi teralihkan. Tentang waktu liburanku yang tinggal satu minggu, tentang bapak dan ibu yang baru akan pulang empat hari lagi, lalu tentang gadis misterius yang waktu itu datang menjemput kakek, semua itu bergantian kuputar di dalam kepala, tapi tetap saja ujung-ujugnya aku memikirkan kejadian malam ini.
Apa yang dilakukan anak-anak Pak Jawi sudah masuk tindakan kriminal, terlepas dari siapa yang lebih dulu memulai, dan dengan situasi di Sumbergede yang sedang gawat, aku penasaran bagaimana nasib keluarga Pak Jawi selanjutnya. Mereka pasti akan diusir dari desa. Aku yakin itu. Membiarkan anak-anak dengan gangguan mental yang bahkan tega melukai orang dewasa masih berkeliaran di desa, tentu akan menuai protes keras dari warga.
Ada satu hal yang dari tadi masih mengganjal di benakku. Mulanya tidak terlalu kupikirkan karena bisa jadi salah lihat. Hanya saja, setelah kuingat lagi kejadian di tempat jemur pakaian waktu itu, rasanya ini bukan sekadar kebetulan. Tadi, saat hendak meninggalkan rumah Pak Jawi, aku sempat menoleh untuk terakhir kali. Saat itulah kulihat ada sosok hitam sedang berdiri di teras rumahnya. Entah pakaiannya yang serba hitam, atau memang kulitnya yang sangat gelap. Dia sosok yang sama dengan yang kulihat di tempat menjemur pakaian. Tingginya tidak jauh berbeda dengan anak-anak, tapi karena jarak yang cukup jauh, aku tidak bisa melihat wajahnya.
Kudengar suara pintu dibuka. Langsung aku bangun untuk menyambut kakek dan menceritakan semuanya. Aku berharap kali ini kakek tidak memberiku tanggapan mentah seperti yang sudah-sudah, karena peristiwa malam ini benar-benar sangat parah.
"Kakek dari mana? Tadi aku—"
Kakek tidak sendirian. Dia bersama dengan gadis bercadar merah tempo hari. Tidak hanya itu, saat ini kakek sedang mengenakan serban merahnya yang biasa ia lingkarkan di leher. Setahuku, serban merah itu hanya ia kenakan di saat-saat tertentu. Aku sempat bertanya apa arti serban merah itu, tapi belum cukup mengerti selain itu merupakan simbol dari sebuah kelompok. Kalau aku ingat-ingat lagi, Bapak, Mbah Sopet dan Kang Gusafar juga punya serban semacam itu.
"Tumben sudah bangun," ucap kakek yang langsung berlalu melewatiku tanpa menunggu jawaban. Ia tampak sedang terburu-buru.
Sementara itu, gadis bercadar merah yang datang bersama kakek sudah masuk, lalu berdiri di samping kursi ruang tamu tanpa aku persilakan terlebih dahulu.
Gadis ini pasti lebih muda dariku. Lantas kenapa ikut keluyuran bersama kakek-kakek? Pikirku. Setelah menyalakan lampu ruang tamu, aku duduk di depan gadis itu. Dia langsung membuang muka. Kulihat pakaian hitamnya kotor, kakinya juga berlumur tanah.
"Kalian dari mana?" tanyaku.
"Dari rumah Ki Ahsan."
"Ki Ahsan ... Pak Jawi?"
"Ya," jawabnya, singkat.
"Nga-ngapain?"
Gadis itu baru mau menatapku setelah ditanya begitu. Ia tampak sedang berpikir sebelum memutuskan untuk menjawab.
"Rumah Ki Ahsan baru saja kebakaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)
HororSebuah legenda dari desa kecil di jawa timur yang disembunyikan. Seorang tabib dan keenam anaknya yang cacat menjadi terror bagi warga. Semua petaka, semua musibah dan kematian dilampiaskannya pada sang tabib yang diduga sebagai tukang santet. Nam...