CHAPTER 32

911 114 7
                                    

Samar di kejauhan kudengar ribut manusia. Maulida mencermati kondisi di luar ceruk, memastikan tak ada pengganggu. Harus kuakui, sikapnya sangat tenang untuk ukuran gadis yang sedang dalam situasi genting. Ia benar-benar menunjukkan kualitasnya sebagai murid kakek. Tentu saja aku tak boleh tertinggal. Harus kutunjukkan bahwa kontribusiku dalam misi ini juga layak diperhitungkan.

"Sepertinya itu suara Kang Gusafar sama Mbah Sopet," ucap Maulida, memandang jauh ke arah Mbah Sopet pergi.

"Emang kamu bisa lihat?" ledekku.

"Insting," jawabnya, "Cuma orang tertentu yang punya," lanjut Maulida dengan nada congkak yang benar-benar menusukku.

Sebelum meninggalkan ceruk, kupastikan lagi kondisi anak-anak ini siap untuk berjalan. Mereka mengangguk lemah saat kujabarkan sedikit tentang situasi kami saat ini. Jika sesuatu yang buruk terjadi, mereka harus siap berlari.

"Di luar Aman, kita pergi sekarang," gagas Maulida.

***

Jalan menaiki lereng sungai jadi dua kali lipat melelahkan karena aku harus menggendong si pincang. Beruntung dua anak lainnya masih kuat berjalan, meski kami harus menyesuaikan kecepatan karena kondisi anak-anak yang lemah.

"Kenapa?" tanya Maulida, kala melihatku komat-kamit dengan alis mengerut.

"Nggak ada," jawabku.

Yang sebenarnya terjadi, aku sedang berpikir, kalau anak-anak ini masih hidup, lantas yang kemarin gentayangan di rumah itu apa? Mereka tidak mungkin meninggalkan hutan dalam kondisi terikat, dan kalau pun mampu, kenapa harus balik ke hutan lagi? Lalu ke mana perginya tiga anak lainnya, termasuk si mencong yang jelas-jelas menuntunku untuk menemukan ceruk itu.

Sesampainya di atas, kami mulai berdebat tentang ke mana harus membawa anak-anak ini pergi. Maulida bersikukuh menyusul Mbah Sopet, sementara aku memilih bertemu dengan Sugik dan meninggalkan anak-anak di sana.

"Jadi kamu punya insting tapi nggak punya otak? Kalau benar sekarang Mbah Sopet sama Kang Gusafar lagi berurusan sama orang-orang itu, bukannya malah bahaya membawa anak-anak ini ke sana?" cerocosku.

"Menitipkan ketiga anak ini sama temanmu yang nggak guna itu justru lebih bahaya. Lagian aku yakin dia sudah pulang. Pengecut seperti dia nggak mungkin berani nunggu di hutan, malam-malam, sendirian."

"Oh ya? Sugik memang pengecut, kasar, sedikit bodoh, dan nggak bisa diandalkan, tapi ...."

Sial, aku terlanjur menyebut semua cela yang Sugik punya, sampai lupa kelebihan apa yang dia miliki.

"Bagus kalau kamu sadar, sekarang ikut aku!"

Ketiga anak Pak Jawi tampak bingung dan takut karena pertengkaran kami. Kulihat keraguan di wajah mereka, seolah mereka berpikir kalau telah salah memilih pahlawan.

"Oke, kalian!" tegasku pada si juling, si pincang, dan si buntung. "Kalian mau ikut aku, atau kakak bertopeng itu?"

Tanpa pikir panjang, si juling dan si buntung bergerak dua langkah mendekati maulida sambil menatapku dengan dahi mengerut.

"Bocah sia--oke, jadi cuma kamu yang mau ikut aku?" tanyaku pada si pincang yang kugendong.

Si pincang dengan cepat menggeleng dan menunjuk pada Maulida. Andai dia bisa berjalan, mungkin dia juga sudah menyusul kedua saudaranya. Ini benar-benar menyebalkan. Rasanya seperti orangtua yang bercerai, dan ketiga anaknya memilih ikut ibu mereka.

"Sepertinya anak-anak ini lebih pintar dari seseorang," ledek Maulida seraya berlalu.

"Sial!" desisku, kesal.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang