CHAPTER 39

915 106 1
                                    

"Berhasil?" tanya Maulida.

Aku tak berani memastikan, sebab saat ini aku pun sedang menunggu reaksi dari si Mencong. Ia bersimpuh di tanah, muntah berkali-kali sampai akhirnya telungkup lemas.

Di pesantren, kesurupan adalah hal yang lumrah. Hampir setiap bulan terjadi, dan aku terlibat setidaknya separuh dari semua kejadian. Beberapa dari kesurupan yang terjadi memang hanya akal-akalan santri untuk dapat izin tidak bersekolah, tapi bisa kupastikan sebagian besar adalah gangguan jin yang nyata.

Apa yang menimpa si Mencong memang jauh berbeda dengan pengalamanku selama di pesantren. Sulit untuk tetap menjaga kepala tetap dingin dan tidak gugup, ragu, ataupun takut. Ustaz selalu mengingatkan tentang perbedaan derajat manusia dan iblis. Kami adalah makhluk yang lebih mulia, dan tidak sepantasnya takut pada mereka yang terkutuk. Namun, takut adalah perasaan yang mudah muncul bahkan saat manusia berada di puncak kebahagiaan. Daripada berusaha sekuat tenaga untuk tidak takut, aku lebih memilih menerima ketakutan ini sebagai sumber kekuatan.

"Sa... kit..."

Si Mencong merintih. Lekas kuhampiri dia, kubantu duduk, lalu kuperiksa luka-lukanya, terutama bekas tendangan Maulida.

"Kamu ngapain?" tanyaku.

Maulida sudah memasang kuda-kuda bersiap menyerang si mencong.

"Jaga-jaga kalau bocah ini mengamuk lagi."

"Dia sudah sadar, oke, berhenti bersikap seperti pendekar, dan lekas bantu aku!"

Setelah memeriksa secara saksama, tak kutemukan bekas luka atau sekadar ruam. Sulit diterima akal, tapi selain membuat si Mencong jadi buas dan cenderung lebih kuat, sepertinya kesurupan makhluk itu juga melindungi tubuh si Mencong dari benturan.

"Sepertinya sudah selesai," ucapku lega.

"Ya, nggak benar-benar selesai sampai kita bawa lonceng itu ke Kiyai," sahut Maulida.

"La... par..." rintih si mencong.

Aku tersenyum sekaligus mengiba. Selama ini semua yang keluar dari mulut anak ini selalu membuatku ngeri. Kali ini untuk pertama kalinya aku mendengar sesuatu yang normal diucapkan anak kecil.

"Ehem! Jadi kita mau lanjut jalan, atau tidur di sini sampai pagi?" sindir Erik

Aku dan Maulida beranjak. Kugendong si Mencong. Ia sadar, tapi kondisinya belum memungkinkan untuk berjalan. Untuk dibonceng pun aku khawatir dia jatuh.

"Anak ini biar sama aku aja. Bisa kubonceng di tengah, biar Maulida pegangin," usulku.

"Bagus! Tangan kiriku jadi nggak perlu was-was," kata Erik. "Kalau gitu, sekarang aku pulang aja."

Kami melanjutkan perjalanan dengan tetap waspada. Lembu hitam itu bisa saja masih mengikuti dan muncul kapan saja. Begitu keluar dari jalan sempit dan sampai ke jalan beraspal, aku dan Erik akhirnya berpisah.

"Jangan lupa obati tanganmu!"

"Gak bakal infeksi, kan? Ini hitungannya masih digigit manusia, kan?" Erik Panik.

"Heh, pulang sana!"

Erik melambaikan tangan sambil melaju ke arah berbeda. Kulihat lampu motor belakangnya mati, dan suara mesinnya berantakan akibat jatuh barusan. Mengingat betapa sayang ia pada motor peninggalan bapaknya itu, aku bertaruh ia lebih dulu memperbaiki motornya daripada mengobati tangan.

"Sebelum ke pesantren, kita berhenti dulu di puskemas," ucap Maulida.

"Puskesmas, malam-malam?""

"Bu Dokter tinggal di sana. Anak ini demam, dia bisa dirawat dulu semalam. Tenang saja, di sana aman."

Kurasakan suhu tubuh si Mencong menembus bajuku. Terasa panasnya ke punggung. Pesantren bisa menunggu si Mencong, tapi bagaimanapun lonceng Pak Jawi harus sampai di sana malam ini.

Sesuai rencana, kami menitipkan si Mencong ke rumah Dokter Eva yang waktu itu membantu merawat anak-anak keracunan. Meski ini adalah ide Maulida, tapi dia malah tidak mau turun dari motor, dan memilih menunggu dari jauh. Dokter Eva menyambut dengan baik. Ia tidak banyak bertanya tentang apa yang terjadi, dan itu bagus, karena aku pun tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya.

Selesai urusan kami di Puskesmas, sampailah kami di gerbang pesantren. Kulepas lonceng milik Pak Jawi yang terikat di pinggang, kuperhatikan sejenak bagaimana benda usang ini punya pengaruh yang sangat besar.

"Ini."

Kusodorkan lonceng Pak Jawi pada Maulida. Ia pun menerimanya tanpa ragu.

"Pastiin dikasih ke Kiyai Fatah, jangan yang lain!" titahku.

"Ya, tahu!" jawabnya ketus.

Maulida pergi. Sesuai dugaanku, saat hendak melewati gerbang, petugas keamanan pesantren mencegatnya. Aku berharap Maulida sudah memikirkan alasan yang bagus untuk lepas dari interogasi itu, tapi yang ia butuhkan hanya melepas cadarnya, dan kedua petugas itu pun mempersilakannya masuk. Sayang sekali jarak yang cukup jauh, serta posisinya yang membelakangiku, membuatku tidak bisa melihat wajahnya. Tidak, tentu saja aku tidak penasaran.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang