"Sejak kapan aku tidur di ruang tamu?"
Kulihat jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Tenggorokanku serak dan hidung berair. Punggung sedikit pegal karena tidur di permukaan kursi yang tidak rata, bahkan setelah duduk hampir sepuluh menit lamanya, pusing di kepalaku tidak jua hilang.
Kujejakkan kaki ke lantai, terasa perih di beberapa bagian. Pelan aku berdiri, kulihat gorden di ruang tamu tidak sepenuhnya tertutup. Motor butut bapak masih ada di teras, begitu juga dengan sepeda jangkriknya. Biasanya sudah kumasukkan ke ruang tamu sebelum pukul sembilan, karena kalau tidak, bapak pasti marah besar.
Aku berjalan ke kamar mandi sambil mengingat-ingat kembali apakah sudah salat isya, atau belum? Karena sebentar lagi akan masuk waktu subuh. Sampai di kamar mandi, aku mencuci muka. Perih yang kurasakan di kaki tadi, kini kurasakan juga di tangan. Baru kusadari ada luka gores di lengan, dan beberapa lecet di pergelangan tangan. Aku mengakhiri kegiatanku di kamar mandi dengan bercermin, dan seketika menyesal telah melihat pantulan wajah sendiri.
Aku tidak bisa pura-pura lupa, tidak bisa memaksakan amnesia hanya untuk menepis trauma. Aku tahu betul kenapa tidur di ruang tamu, kenapa juga masih mengenakan celana dan baju yang basah, dari mana luka-luka ini berasal, serta alasan kenapa wajahku penuh dengan lumpur. Ya, aku tidak akan lupa.
BEBERAPA SAAT SEBELUMNYA
Tepat setelah Iyo memukul si Gendut, terdengar bunyi lonceng sapi dari dalam rumah Pak Jawi. Bunyi yang sama dengan yang kudengar waktu itu, hanya saja kali ini sangat nyaring dengan tempo yang sangat cepat. Kupikir orang lain tidak akan punya reaksi yang sama sepertiku, kaget, takut, karena aku memang punya pengalaman buruk dengan lonceng sapi. Namun, rupanya bunyi itu mempengaruhi semua orang. Bahkan Pak Muhadi dan komplotannya sampai mematung, celingukan mencari asal suara. Yang lebih mengeherankan lagi, bunyi itu tidak berasal dari Pak Jawi. Ia masih memeluk si Gendut, tapi kali ini dengan wajah takut. Pelukan Pak Jawi pada anaknya yang semula bermakna perlindungan, sekarang seolah berubah menjadi belenggu. Ia tidak tampak merengkuh, ia justru seperti sedang menahan si Gendut agar tidak bergerak.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam rumah. Jeritan amarah yang meledak-ledak. Tidak lama kemudian, si Gendut juga ikut berteriak. Ia memberontak dalam belenggu Pak Jawi, sampai-sampai kakek itu tak sanggup menahan lagi.
Kain merah di pintu rumah tersibak. Lima anak kecil berlari keluar seraya berteriak. Iyo yang masih berada di samping si Gendut tampak ingin melawan, tapi kakinya tak bisa melangkah karena si Gendut memeluknya erat.
Awalnnya, kupikir semua ini wajar sebagai luapan amarah anak kecil melihat saudaranya dianiaya, tapi begitu kelima anak itu sampai di tempat Iyo berdiri, sesuatu yang tidak masuk akal pun terjadi. Mereka ... keenam anak Pak Jawi itu membantai Iyo seperti sedang kesetanan. Sama sekali tidak menunjukkan perangai anak-anak.
Si Juling melompat lalu menacapkan paku ke perut Iyo yang tak berkutik karena kakinya dipegangi si Gendut. Tidak hanya dipegang, si Gendut juga menggigit paha Iyo dengan kuat sampai pria botak itu mengerang kesakitan, lalu terlentang di tanah. Bukannya puas melihat Iyo jatuh, Si Juling justru menduduki perut Iyo, seraya menusuki lengannya dengan paku secara bertubi-tubi.
Berniat menolong rekannya, salah satu anak buah Pak Muhadi mencoba memisahkan si Juling. Namun, usahanya itu digagalkan oleh anak Pak Jawi yang lain. Si Jangkung mendekat dengan cepat, menggendong si Pincang yang sudah siap dengan papan kayunya. Karena digendong di bahu, jangkauan tangan si Pincang jadi terbantu. Papan kayu yang dibawanya ia empaskan ke wajah anak buah Pak Muhadi tadi. Dari bunyi benturannya, aku nyaris tidak percaya papan kayu itu diayunkan oleh anak kecil. Tenaga mereka sudah seperti orang dewasa.
Di samping motor, kulihat dua anak buah Pak Muhadi juga sedang berjuang melawan serangan anak-anak Pak Jawi. Si Mencong sudah bergelantungan di bahu pria yang paling tinggi, sambil menggigit lehernya dengan penuh geram. Mata si Mencong melotot, dan kulihat embusan napasnya juga menggebu-gebu. Di samping si Mencong, ada si Buntung yang tampak asyik menginjak-injak punggung lawannya sampai terbatuk-batuk. Entah karena tidak suka dengan suara batuknya, atau pelampiasan kekesalan semata, si Buntung mulai menginjak kepala bagian belakang lawannya hingga wajah pria itu membenam di tanah basah.
Komplotan Pak Muhadi tentunya bisa melawan. Apalagi musuh mereka hanya anak-anak, tapi entah kenapa mereka justru tidak bergerak, tergeming kaku dengan mata membelalak. Mereka pun jadi bulan-bulanan anak-anak Pak Jawi. Satu persatu tumbang, ditusuk, dihantam batu, digigit sampai berdarah, dan semua itu terjadi tanpa perlawanan. Mereka cuma bisa mengerang rendah seolah ada sesuatu yang menahan mereka untuk berteriak.
Melihat keempat anak buahnya terkapar di tanah, Pak Muhadi merangkak pelan menuju ke arah motornya. Dia tak lagi seberingas barusan. Uang lima ratus rupiah yang diterimanya dari Pak Jawi jatuh, tapi sama sekali tak ia pedulikan.
Kulihat Erik melambai-lambai dari jauh, meneriakkan sesuatu. Sayangnya telingaku telah penuh oleh suara geraman anak-anak, berpadu dengan rintihan para korban. Aku pun bingung membagi fokus, dan gamang mengambil keputusan. Siapa yang harus kutolong? Bila aku memilih kabur, apakah anak-anak ini juga akan menyerangku?
Mulanya aku merasa aman karena berada di pihak yang netral. Kemarahan anak-anak ini tidak akan berdampak padaku. Namun, setelah melihat bagaimana mereka sekarang, rasanya aku pun punya potensi terancam. Mereka yang semula menyerang karena marah, kini malah tertawa cekikikan seolah anak buah Pak Muhadi adalah mainan.
Pak Muhadi berhasil kabur. Ia dorong motornya sampai pagar, lalu tancap gas meninggalkan Gang Kadal. Sama sekali tidak ada usaha dari anak-anak Pak Jawi untuk mengejar, kendati Pak Muhadi adalah dalang utama dari penganiyaan saudara mereka. Lalu, saat aku memalingkan wajah lagi pada anak-anak itu, darahku langsung berdesir kencang.
"Ka-kalian kenapa?"
Mereka sedang memandangiku. Mereka yang tangan dan bajunya bernoda darah, serta senyumnya yang menampakkan barisan gigi merah gelap, semua sedang menatapku sambil tersenyum jenaka. Lalu, saat kupikir itu sudah cukup mengerikan, si Mencong melepaskan mangsanya yang sudah terkapar, ia berdiri, tersenyum seraya menyapa.
KAKAK
Kulihat keenam anak itu mulai bergerak. Entah apa yang sedang mereka pikirkan, tapi semuanya seolah sepakat mendekati aku.
"Cepat pergi!" perintah Pak Jawi.
Dari semua diam yang ia lakukan selama pembantaian, kalimat pertama Pak Jawi adalah menyuruhku pergi, seolah setelah ini akan ada hal yang lebih gawat lagi. Sudah jelas, aku menuruti perintahnya tanpa banyak tanya. Berlari tersaruk-saruk ke arah Erik yang sudah menyalakan motor, melompat duduk ke jok belakang, dan berlalu bersama suara motor dan teriakan.
"Gila, gila, gila, gila," ceracau Erik.
Aku tidak bisa merespons apa-apa. Masih tercengang karena kejadian barusan belum sepenuhnya hilang dari pandangan, atau mungkin, selamanya akan terekam dalam kenangan buruk seumur hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)
TerrorSebuah legenda dari desa kecil di jawa timur yang disembunyikan. Seorang tabib dan keenam anaknya yang cacat menjadi terror bagi warga. Semua petaka, semua musibah dan kematian dilampiaskannya pada sang tabib yang diduga sebagai tukang santet. Nam...