CHAPTER 40

1.4K 118 10
                                    


TIGA HARI KEMUDIAN

Aku dan kakek menunggu perahu itu kembali. Duduk di pinggir pantai melawan silau matahari terbit. Sesekali kumenunduk, mencoreti pasir dengan ranting kering, membuat pola tak beraturan yang mewakili perasaanku saat ini. Liburan telah berakhir, besok pagi aku harus kembali ke pesantren. Sedih dan senang melarut jadi rasa yang tak bisa kusebutkan apa.

Samar di garis lautan, kulihat siluet perahu mendekat. Makin dekat dengan mata, tampak makin jelas itu perahu yang kami tunggu. Kakek pun berdiri menyambut. Berjalan kecil ke arah ombak, membiarkan kaki telanjangnya basah. Dua orang di perahu melambaikan tangannya, kemudian mengacungkan ibu jari sebagai konfirmasi bahwa tugas mereka berjalan dengan baik. Aku dan kakek tersenyum lega.

Begitu perahu menepi, seseorang di perahu itu pun turun. Seorang lainnya sibuk menurunkan jangkar.

"Sudah kami antarkan," kata pria berkopiah hitam yang mulai kemerahan.

Dia adalah Man Mahrum. Aku baru mengenalnya hari ini, tapi sepertinya dia adalah orang yang cukup penting di pesisir Desa Leduk, karena kalau tidak, kakek tidak mungkin mempercayakan tugas ini padanya. Man Mahrum dan kakek berjalan beriringan, mengobrol sampai ke pinggir pantai. Kusambut mereka dengan wajah penasaran.

"Loh, masih di sini? Belum pulang?" tanya Man Mahrum.

"Dia tidak tenang kalau belum tahu hasilnya," jawab Kakek.

"Ah, gitu." Man Mahrum tersenyum "Sesuai arahan Kiyai, lonceng itu sudah saya buang ke laut. Sudah dikasih pemberat juga. Kalaupun masih ada yang bersemayam di dalamnya, dia akan habiskan umurnya yang panjang di gelap dasar lautan."

"Te-terima kasih, Man," ucapku.

Man Mahrum melongo.

"Kenapa cucu Sampean berterima kasih sama saya?" tanyanya pada kakek.

"Abaikan saja. Lonceng itu sudah banyak bawa masalah buat dia, jadi dia ngerasa Sampean ngelakuin ini untuknya."

Usia Man Mahrum mungkin sama seperti bapak, tapi kakek bicara dan memperlakukannya dengan hormat. Kakek juga jarang menyela ketika Man Mahrum bicara.

Lingkaran fajar mulai sempurna, sepenuhnya telah keluar dari persembunyian, perlahan naik dan meninggi, kami pun makin menepi, berteduh di bawah pohon nyiur dengan pasir pantai halus sebagai alas. Man Mahrum berbaik hati menyuguhi kami kue dan kopi sebagai pengganjal perut. Ia mengajak kami sarapan di rumahnya yang masih di daerah pesisir, tapi kakek menolak. Katanya tidak bisa berlama-lama karena hari ini bapak mau datang.

"Saya banyak dengar cerita tentang Sumbergede belakangan ini. Sepertinya mulai sedikit gawat," ucap Man Mahrum.

"Pasca peristiwa lepasnya orang buangan, beberapa orang mulai tidak tenang," sahut kakek.

"Di sini pun begitu. Oh, ya, kapan Sampean ada waktu, saya pengin ngobrol panjang lebar."

"Besok anak ini balik ke pesantren, habis itu saya punya banyak waktu."

Kakek mengacak-acak rambutku sambil nyengir, seolah bebepara hari ini aku adalah orang yang banyak menyita waktunya.

"Apa ini soal pencurian? Perampok, pembunuh, atau santet?" tanya kakek.

Man Mahrum menggeleng. Ia kemudian menunjuk ke barat. Tak jauh dari tempat kami duduk, ada sebuah pemakaman umum yang sejak awal sudah membuatku meringis karena kondisinya. Tak hanya itu, pemakaman di pesisir pantai adalah hal yang jarang kulihat. Bukankah tanahnya kurang cocok untuk digali dan dikuburi jenazah?

"Ini bukan masalah orang yang masih hidup, tapi masalah yang sudah mati. Pemakaman utara makin melebar, dan ini terjadi hanya dalam kurun waktu dua tahun," tutur Man Mahrum.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang