CHAPTER 31

895 108 3
                                    

Saat masih sekolah dasar dulu, aku ikut pelantikan Pramuka. Kami di lepas pukul sembilan malam, berjalan kaki melewati jalan sepi di perbatasan desa, dengan kuburan sebagai garis finishnya. Getir, ingin rasanya berbalik arah dan persetan dengan status keanggotaanku. Namun, bisa kupastikan malam ini jauh lebih menyeramkan, dan itu dirasakan oleh aku yang sudah sepuluh tahun lebih tua.

Kami menjauh dari jalan setapak. Mengikuti arus sungai. Menuju ke utara di mana Mbah Sopet meyakini Kang Gusafar sedang dalam bahaya, berdasarkan petunjuk seekor kera. Tak mau ambil risiko, Mbah Sopet menyuruh Sugik menjaga motor kami, dan dengan cepatnya si tambun itu berseru setuju. Aku yang membayangkan pencarian ini akan dilakukan beramai-ramai, akhirnya sedikit menciut saat menyadari hanya ada aku, Maulida, dan Mbah Sopet yang berjalan lebih jauh di depan.

"Menurutmu, bahaya macam apa yang Kang Gusafar temui di sana?" tanyaku.

"Apa Kak Tuan sudah cerita tentang tiga kelompok yang malam ini sedang beraksi?"

"Tiga kelompok?"

Maulida memelankan langkahnya, agar bisa berjalan sejajar denganku.

"Yang menginginkan anak itu, bukan hanya Kak Tuan dan kawan-kawannya saja, ada kelompok Pak Edi yang didukung kepala desa, dan satu lagi yang aku tidak bisa menyebutnya."

"Sudah sejauh ini, kamu masih main rahasia-rahasiaan?" kataku, jengkel.

"Bukan, aku memang tidak tahu mereka ini siapa. Yang aku tahu, mereka ingin menemukan anak-anak itu untuk menutupi asal-usul mereka dari publik."

"Hah?"

Tidak kusangka anak-anak Pak Jawi menyimpan asal-usul yang penting, sampai-sampai ada orang yang berusaha mencegahnya diketahui warga.

"Beda sama Pak Edi dan kawan-kawan, kelompok yang satu ini sangat berbahaya."

"Jadi karena itu kakek sampai bawa senjata. Kakek sudah mempersiapkannya dengan matang."

Maulida berhenti melangkah. Terpaksa aku pun ikut berhenti.

"Kamu tahu apa yang luput dari persiapan Kak Tuan?" katanya dengan suara yang terdengar gelisah.

"A-apa?"

"Kak Tuan menebar informasi palsu untuk menjauhkan Pak Edi dan orang-orang desa dari hutan ini, dia juga bergerak terpisah, bertindak sebagai umpan untuk menjauhkan kelompok orang berbahaya itu dari kita, tapi kalau benar yang ditemui Kang Gusafar adalah orang berbahaya itu, maka kita sedang dalam masalah besar."

"Se-sebenarnya, orang-orang ini siapa?" tanyaku tergagap, cara Maulida menyampaikan dugaannya barusan terasa benar-benar mengancam.

Merasa cukup jauh tertinggal dari Mbah Sopet, Maulida mempercepat langkahnya, meninggalkanku yang justru sedang mempertimbangkan untuk mundur. Misi ini lebih rumit dari sekadar mencari anak hilang. Sebagai orang yang sudah lama mengenyam pendidikan di pesantren, aku punya cukup bekal untuk menghadapi hantu dan sejenisnya, tapi menghadapi orang berbahaya yang bahkan kakek saja harus bawa senjata, aku bisa apa?

"Eh?"

Maulida sudah tak terlihat. Di tempat dengan pencahayaan normal saja gadis itu bisa muncul dan hilang tiba-tiba, aku tidak heran kalau di hutan yang gelap seperti ini, keunikannya itu berfungsi dua kali lipat lebih efektif.

"Lida?" panggilku seraya tetap berjalan ke depan.

Tujuanku lurus, sayangnya karena terlanjur cemas, pandanganku tolah-toleh tak keruan. Rasanya semua suara yang muncul terdengar mencurigakan, terutama suara manusia yang muncul dari arah sungai. Suara itu tidak asing, bahkan cenderung bosan kudengar.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang