CHAPTER 4

4.5K 570 49
                                    

Menyambung tidur setelah salat subuh adalah pelanggaran berat di pesantren. Selagi masih di rumah, aku bisa melanggar berkali-kali tanpa takut disiram pasukan Ubudiyah (Abdi pesantren yang bertugas mengkoordinir pelaksanaan ibadah para santri. Termasuk salat berjamaah, terutama salat subuh). Lagipula kakek juga tidak terlalu peduli aku bangun jam berapa. Mungkin karena aku cucu laki-laki dan masih sekolah, belum punya kewajiban masak dan mencari nafkah. Kakek hanya membangunkanku untuk salat, selebihnya aku mau tidur sampai bulan puasa pun dia tidak akan ganggu.

Jam dinding menunjuk ke angka sembilan. Pantas saja badanku terasa lemas, ini rekor tidur baruku setelah sebelumnya mentok di pukul delapan. Butuh waktu sepuluh menit untuk bangkit dari pebaringan, dan tambahan lima menit untuk bangun dari duduk termenung memikirkan masa depan.

Begitu kubuka pintu kamar, ternyata kakek sedang duduk di ruang tamu. Telanjang dada dan berkeringat. Usia kakek mungkin sudah hampir 60 tahun, aku tidak tahu pastinya, tapi otot-ototnya yang menonjol itu seperti mengejek badan kurusku. 

"Tumben jam segini masih di rumah, Kek?" tanyaku.

"Habis senam," jawab kakek.

"Di mana?"

"Di ladang."

"Itu bukan senam!" sahutku, jengkel.

"Ya, tadi sekalian periksa rumah, takut ada maling."

Kakek dan keluarga kami tinggal terpisah. Rumah kakek sendiri ada di pinggir hutan. Satu-dari sedikit hunian manusia yang ada di sana. Sudah berkali-kali bapak meminta kakek untuk tinggal bersama kami, tapi dia selalu saja menolak. Katanya terlalu banyak kenangan di sana, dan kakek berniat menjaga kenangan itu sampai akhir hayatnya. Kali ini saja kakek mau tinggal di rumah bapak untuk menemani aku selama liburan.

Baru kusadari ada sesuatu di pundak kakek. Seperti luka, atau mungkin penyakit kulit. Yang jelas bukan koreng. Sebagai seorang santri, aku sudah paham betul tentang ciri-ciri koreng, sudah jadi penyakit langganan bagi kami, tapi yang ada di punggung kakek jauh lebih rusak dan menjijikkan. Kulitnya sedikit menghitam, dengan banyak sekali benjolan merah, dan itu tersebar cukup luas di area punggung bagian kanan.

"Itu kenapa, Kek?" tanyaku yang langsung ambil posisi duduk berhadapan.

"Disengat lebah," jawab kakek sekenanya.

"Kek, aku sudah kelas tiga madrasah Aliyah."

Kakek melongo. Bagaimana mungkin dia tidak sadar cucunya sudah bukan anak kecil yang mudah dibohongi.

"Loh, sudah kelas tiga masa tidak tahu sama lebah?"

"KEK!"

"Penyakit kulit," jawab kakek cepat. "Tapi kakek lupa namanya. Katanya sejenis cacar. Kemarin sempat mewabah di desa ini."

Kulihat botol plastik bekas air mineral yang terisi obat dari Pak Ahsan sudah separuh kosong. Sekarang aku jadi tahu kenapa kakek butuh obat itu.

"Sudah diobati?" tanyaku.

"Ya, ini sudah botol keempat, tapi tidak sembuh-sembuh. Padahal kata orang-orang, si Ahsan itu sakti. Bisa nyembuhin berbagai penyakit," gerutu kakek.

Kakekku jarang menunjukkan sisi lemahnya. Dia lebih sering bertingkah konyol seperti anak kecil, bahkan di saat serius sekali pun. Herannya, orang-orang di desa ini masih saja menaruh hormat, atau kalau boleh aku bilang, mereka takut padanya. Aku tidak begitu tahu riwayat hidup kakek semasa muda, tapi melihat bekas luka di perutnya, sepertinya dia pernah melalui hidup yang sangat keras. Kali ini saja kulihat wajahnya letih, dan dahinya sedikit mengerut menahan perih. Penyakit kulitnya itu pasti lebih parah dari yang terlihat.

Bicara tentang Pak Ahsan, aku jadi teringat kejadian semalam dan segala keanehan yang kutemukan di rumah si tabib itu.

"Pak Ahsan itu memang cuma tinggal sama anak-anaknya, ya, Kek?"

"Anak-anak?" tanya kakek bingung.

"Iya, pas aku ke rumahnya semalam, ada enam anak kecil di sana."

Kening kakek yang sedikit keriput karena usia,  jadi makin berkerut karena heran.

"Tidak tahu. Kakek berkali-kali ke sana, tapi tidak pernah lihat anak kecil. Setahu kakek juga tidak ada istri, ada pun dengan usianya yang sudah lebih tua dari kakek mana bisa punya anak? Itunya sudah pasti tidak berfungsi," tutur kakek.

Itu yang aku pikirkan dari semalam. Selain dengan keenam anak itu, sepertinya Pak Ahsan tinggal sendiri. Lagipula saat kuungkit soal ibunya, anak-anak itu justru mengamuk.

Bicara soal anak-anak Pak Ahsan, aku terbayang lagi wajah dan perangai mereka yang aneh. Semalaman aku mencoba memaklumi, menganggap mereka punya kekurangan fisik dan mental, tapi kalau ingat soal paku, batu, dan semua benda yang hendak mereka lemparkan padaku, rasanya tetap saja mengerikan.

"Kakek kalau ke rumah Pak Ahsan pagi atau malam?" tanyaku, tidak tahu apa yang aku coba konfirmasi lewat pertanyaan ini, tapi kurasa penting untuk tahu.

"Biasanya siang, soalnya dia tidak terima tamu kalau malam."

Cukup. Harusnya aku memang tidak bertanya. Sekarang aku jadi punya kesimpulan gila kalau keenam anak itu cuma keluar di malam hari, dan itu menambah daftar keanehan tentang Pak Ahsan yang sebenarnya sudah sangat banyak. Aku bahkan belum bisa mencari penjelasan logis tentang lonceng sapi ajaib yang digunakan Pak Ahsan untuk menenangkan anak-anaknya. Kurasa pembahasan tentang Pak Ahsan cukup sampai di sini. Tidak mau lagi memikirkannya lebih jauh, karena memang tidak ada niat untuk kembali.

Kakek mengambil karet gelang di meja, lalu mengikat rambut panjangnya yang sebagian besar sudah putih kusam. Setelah itu, kakek meraih obat pemberian Pak Ahsan, lalu meneguknya sampai tiga kali.

"Kenapa?" tanya kakek kala melihatku melotot heran.

"Bu-bukannya itu buat diolesin ke lukanya?"

Sekarang kakek pun melotot heran. Dia melihat botolnya yang hampir kosong, lalu melihatku lagi sambil bengong.

Aku cuma bisa tepuk jidat.

"Sudah berapa botol yang kakek minum?" tanyaku, jengkel.

"Em-empat," jawab kakek rikuh.

"PANTAS NGGAK SEMBUH!" bentakku.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang