CHAPTER 29

930 116 3
                                    


Sepulang bekerja Erik mampir ke rumah. Masih dengan penampilannya yang berantakan serta bau keringat yang menggaruk penciuman. Berkali kudengar gemuruh di perutnya, seolah pria kurus ini berkata "Beri aku makan!". Karena hari ini aku tidak sempat masak, jadilah kami berdua merebus mi instant dan makan bersama di ruang tamu.

Erik mengajak beradu serdawa siapa yang paling panjang. Tentu saja aku menolak. Tidak ada waktu untuk kompetisi bodoh semacam itu.

Perut kenyang, pikiran tenang, kami mengobrol dengan santai tapi serius. Aku lewati tahap basa-basi, dan langsung memasuki pembahasan inti. Kuceritakan perkembangan kasus hilangnya anak-anak Pak Jawi pada Erik, termasuk tentang pertemuan di kantor kepala desa tadi. Meski tidak ikut hadir di sana, reaksi Erik tak jauh beda denganku. Ia merasa gelagat Pak Edi mulai mencurigakan.

"Pak Edi ini kayak punya rencana sendiri. Dia ngelarang kita cerita soal Pak Muhadi ke orang-orang, kan? Eh, tapi sekarang kok sepertinya dia yang paling ngotot buat nangkap anak itu," keluh Erik.

Obrolan kami sudah cukup jauh, aku rasa sudah waktunya menceritakan pada Erik tentang anak perempuan Pak Edi yang meninggal beberapa tahun lalu, termasuk tentang adanya anak ketujuh. Tidak seperti sebelumnya, di mana Erik cenderung menganggap ceritaku tentang anak Pak Jawi adalah bualan, dan semua kejadian yang aku alami hanya halusinasi, kali ini Erik sangat serius mendengarkan, seolah semua rangkaian kejadian di luar nalar yang ia alami belakangan ini telah meruntuhkan dinding skeptisme di kepalanya.

"Kamu pernah dengar soal anak Pak Edi yang meninggal ini?" tanyaku.

"Nggak. Cuma karena kami satu desa, bukan berarti aku harus tahu siapa aja yang meninggal."

"Iya juga, sih."

"Tapi aku jadi ingat, dulu anak tetanggaku ada yang sakit parah. Namanya Tamim, dia demam tinggi sampai kejang-kejang. Waktu itu ibu sama bapaknya kerja, terus gara-gara telat dikasih pertolongan, anaknya jadi nggak bisa komunikasi lagi. Tamim berhenti bicara, padahal sebelumnya dia anak yang periang, cerewet, sering bantu ibunya jualan kerupuk di warung."

"Terus?"

"Orangtuanya Tamim nggak punya biaya buat berobat, jadi kondisi Tamim dibiarkan gitu aja sampai beberapa bulan, sampai akhirnya ada yang nyaranin buat dibawa ke Pak Ahsan."

"Se-sembuh?" tanyaku, penasaran.

"Sekarang sudah kelas 6 SD, dan bicaranya kembali normal cuma dalam waktu satu minggu setelah diobati Pak Ahsan."

Mendengar cerita Erik, aku jadi berpikir seandainya aku mengenal Pak Jawi dari cerita-cerita hebatnya dalam menyembuhkan pasien, mungkin kesan pertamaku tentang almarhum tidak akan segelap ini. Sekarang, rasanya sukar untuk menepis kesan misterius dan mengerikan dari beliau.

"Tapi yang mau aku ceritain bukan tentang Tamimnya," lanjut Erik. "Nggak lama setelah sembuh, Pak Edi datang ke rumah Tamim. Kebetulan waktu itu aku lagi nganterin Yanti ke sana, soalnya Yanti sama Tamim sering berangkat sekolah bareng. Aku ingat betul waktu itu Pak Edi ngotot nanya ke orangtua Tamim, tentang metode penyembuhan Pak Ahsan."

"Ngapain?" aku terheran-heran.

"Mana aku tahu, tapi kalau dengar ceritamu tentang anak Pak Edi yang meninggal barusan, sepertinya Pak Edi sudah terobsesi dengan Pak Jawi dari sejak lama."

"Sepertinya gitu. Dari cara Pak Edi cerita waktu itu, aku belum bisa menyimpulkan entah obsesinya itu karena dendam, atau ada hal lain yang dia inginkan dari Pak Jawi."

"Ngeri juga, ya. Mungkin Pak Edi punya dendam sama Pak Jawi, atau anak ketujuh yang kamu maksud itu ada hubungannya sama penyakit anaknya Pak Edi, atau mungkin benar kata warga, Pak Jawi selama ini adalah dalang di balik teror—ASTAGHFIRULLAH!"

Erik nyaris melompat dari kursi karena mendapati seseorang sudah berdiri di pintu.

"Ni-ninja?" kata Erik, tergagap.

"Ucapin salam, kek!" tegurku, kesal.

Orang itu tidak lain adalah Maulida. Masih dengan perawakannya yang misterius—lebih tepatnya sok misterius—hemat bicara, dan tentu saja menyebalkan. Untuk sesaat Maulida memperhatikan Erik, lalu kulihat angin kecil berembus di balik cadarnya, seolah keberadaan Erik membuatnya sebal.

"Aku mau nyampein sesuatu," ucap Maulida, langsung lurus menatapku.

"Ya?" tanggapku dengan raut heran.

Dia bisa saja langsung bicara tanpa harus menggunakan kalimat pembuka, tapi melihat matanya melirik sinis pada Erik, sepertinya yang ingin dia sampaikan adalah rahasia.

"Ada apa?" tanyaku lagi.

"Siapa orang ini?" Maulida menunjuk Erik tanpa menoleh, membuat sahabatku itu melongo.

"Erik, temanku, orang dusun—ah, ada apa, sih?"

"A-aku keluar aja, ya?" kata Erik, merasa kehadirannya mengganggu.

"Bagus," sahut Maulida.

"Duduk!" seruku pada Eerik.

Erik mematung dalam posisi setengah berdiri dan setengah duduk. Kakinya enggan tegap, tapi pantatnya enggan menyentuh kursi.

"Apa ini ada hubungannya sama anak-anak Pak Jawi?" tanyaku. "Kalau gitu ngomong aja. Posisi Erik sama sepertiku, jadi dia berhak tahu," tegasku.

Maulida mendesah hingga tampak jelas pundaknya jadi makin turun.

"Sebelumnya, kamu jangan besar kepala dulu. Ini permintaan Kak Tuan yang sebenarnya ingin aku tolak, tapi nggak bisa."

Aku dan Erik mengerutkan kening. Karena ini pertama kalinya Erik berhadapan dengan Maulida yang aneh dan sok misterius, kerutan di kening Erik jauh lebih kusut dariku.

"Emang ada apa?" tanyaku.

"A-aku diberi tugas buat nyari anak-anak Pak Ahsan ke hutan, nanti malam."

"Terus?"

"Ka-kak Tuan nyuruh buat nga-ngajak kamu," tutur Maulida, canggung. "Tapi kalau kamu menolak, katanya nggak usah dipaksa."

"OK!" sahutku mantap. "Kita berangkat nanti malam!"

Aku tidak percaya akan betapa percaya dirinya aku ini. Di satu sisi, kemunculan anak-anak Pak Jawi semalam membuatku berpikir bahwa mereka sudah mati. Yang semalam itu bisa jadi hantunya. Aku harus bersiap kalau-kalau pencarian anak-anak hilang malam ini justru berakhir jadi penemuan mayat. Namun, di sisi yang lain, aku berharap mereka masih hidup.

"Nggak apa-apa kalau kamu takut, aku bisa pergi sendirian," kata Maulida.

"A-ku i-kut!" tegasku.

"Dan aku enggak!" timpal Erik, seraya angkat tangan.

***

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang