CHAPTER 2

5K 570 13
                                    

Salah satu adab dalam bertamu adalah, tahu kapan waktunya berkunjung, dan kapan waktunya pulang, tapi Pak Edi sudah ada di rumah sejak azan magrib selesai dikumandangkan, hingga bertemu dengan azan isya. Dia bahkan belum pulang saat kakek pamit salat, dan masih betah duduk di ruang tamu sampai sekarang. Sepenting apa pun maksud kedatangannya, bagiku tetap saja menyebalkan.

Sedikit menguping pembicaraan kakek dan Pak Edi di ruang tamu. Mereka membahas tentang persiapan pemilihan kepala desa. Kakek memang bukan aparat desa, tapi bisa dibilang beliau adalah tokoh masyarakat yang sangat disegani di Sumbergede—meski aku sendiri heran kenapa orang seperti kakek bisa disegani—Mungkin alasan itulah yang membuat Pak Edi yang ketua RT datang ke rumah untuk berdiskusi dengan kakek.

"Kenapa Sampean tidak mencalonkan diri saja?" usul kakek. Terdengar bercanda dan cenderung mengolok.

"Yang benar saja, Kang, saya belum banyak berkiprah dalam pembangunan desa ini. Mana mungkin ada yang mau milih," jawab Pak Edi, tersipu.

"Iya, ya! Saya juga tidak mau milih Sampean."

Kakek terbahak-bahak.

Saat lantunan ayat suci di masjid berhenti, percakapan hangat mereka juga berhenti. Aku dapat mendengar cukup jelas dari ruang televisi. Saat itulah diskusi mereka yang penuh canda hangat berubah menjadi serius dan dingin.

"Mengenai isu santet yang sedang ramai dibicarakan warga saat ini, saya sudah melakukan yang Kang Saleh sarankan," tutur Pak Edi. Cara bicaranya mulai serius.

"Terus?"

"Sayangnya sampai hari ini saya belum menerima laporan dari para petugas, padahal ini sudah hari kelima." Pak Edi berdeham. "Kalau sampai hari ketujuh masih normal, maka saya ambil kesimpulan bahwa ini hanya isu semata," pungkasnya.

"Bagus. Seorang tukang santet tinggal di lingkungan pesantren, isu seperti itu sangat tidak bagus untuk nama baik desa kita. Terutama nama baik pesantren."

Percakapan itu berlanjut pada sesuatu yang tidak lagi menarik. Aku berhenti memperhatikan dan kembali merebah di kasur lantai, di depan televisi. Perlahan-lahan aku mulai larut dalam lamunan. Hampir semua rangkuman kejadian hari ini lewat di pikiran. Ada banyak yang kusyukuri, sebanyak yang aku sesali. Lalu aku terpejam, saat itulah bayangan rumah Pak Ahsan muncul di kepala. Mataku terbuka lagi lalu melihat jam dinding.

"Ini sudah setengah 8!" pekikku.

Tepat saat itu, kudengar suara Pak Edi sedang berpamitan. Masih disertai canda basa-basi yang membuat pamitannya jadi lebih lama.

Aku keluar kamar dan menghampiri kakek yang sedang berdiri di pintu melepas kepulangan sang tamu, tamu yang menurutku tidak tahu diri.

"Kenapa wajahmu kusut begitu?" tanya kakek.

"Pak Edi lama banget bertamunya. Masa dari magrib sampai isya nggak pulang-pulang," protesku.

"Jangan gitu sama tamu. Pak Edi selalu menyambut dengan baik kalau kakek bertamu ke rumahnya. Jadi, kita pun harus begitu. Tapi emang ngerepotin, sih." Tutur kakek. "Ngomong-ngomong, mana obat yang tadi kakek pesan?"

"Ah, iya. Ini saya mau berangkat, Kek"

Cepat aku pergi sambil menggaruk kepala, sebelum kakek sadar kalau sebenarnya aku lupa. Aku juga tidak menceritakan tentang saran Pak Ahsan yang melarang datang terlalu malam.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang