CHAPTER 12

3.8K 501 28
                                    

Malam datang membawa serta awan-awan mendung yang memperkelam langit hitam dan menyembunyikan bintang. Aroma embusan angin mulai berbau tanah, pertanda hujan akan turun. Segera kuselamatkan semua pakaian yang masih tergantung di kawat jemuran, serta memasukkan semua alas kaki yang ada di teras. Dalam kesendirian, sambil merengkuh kebosanan, kubiarkan televisi membuat keributan, dan berpikir kalau ini adalah waktu yang buruk untuk liburan.

Aku mulai sedikit menyesal karena tidak ikut bapak dan ibu ke rumah saudara. Kupikir mereka tidak akan lama, ternyata mereka harus tinggal sampai lebih dari sepekan. Salah satu alasan aku tidak ikut, dan memilih tinggal di rumah adalah, agar bisa melepas kangen dengan teman-teman masa kecil. Gerombolan bocah berbau kecut telanjang dada yang dulu sering berlarian di desa saat pulang dari madrasah, mengejar layangan putus hingga nyaris ditabrak becak, mengotori teras tetangga, bermain di sungai dan pulang sambil berkompetisi serdawa, menunggu dengan setia kedatangan tukang mainan, walaupun tidak pernah beli karena tidak punya uang.

Naifnya, aku tak menyadari bahwa terlalu lama kami terpisah, hingga waktu telah mengikis keakraban. Banyak dari teman-temanku telah pergi merantau. Mereka yang masih tinggal pun telah menjadi orang asing. Sebagian sudah berkeluarga, tentu mereka lebih memilih bermain dengan anak dan istri daripada duduk mengobrol denganku tentang masa kecil.

Cukup lama aku termenung, hingga nyaris saja tertidur di depan televisi. Film kungfu ini membuatku mengantuk, dialognya membosankan dan adegan berantemnya terlalu berlebian. Ceritanya juga mudah ditebak; maksudku, orang-orang berbaju hitam, berjenggot dan bersuara serak itu akhirnya pasti mati. Tipikal penjahat di film-film laga. Pahlawan selalu menang, gadis dan keluarga yang diculik selalu bisa diselamatkan, dan ....

PADAM?

Rumah mendadak gelap. Lampu indikator televisi pun perlahan redup dan hilang. Bersamaan dengan itu, suara hujan di luar mulai jelas terdengar. Beruntung aku sudah mempersiapkan datangnya hujan, hanya padam ini saja yang luput dari perkiraan, dan aku sama sekali tidak punya persiapan.

Aku bangun sambil berpegangan pada dinding. Badan sedikit pegal karena tidur di lantai beralaskan kasur tipis. Sebelum pergi mencari lilin, kupastikan televisi sudah dalam keadaan mati. Tidak ingin kaget tengah malam karena televisi yang tiba-tiba hidup saat listrik kembali menyala nanti. Sekarang, di mana kakek menyimpan senternya?

"Oh, iya. Senternya dibawa kakek buat ronda keliling. Bagus, sekarang aku harus berjalan seperti orang buta," gerutuku.

Kucari lilin yang aku sendiri tidak tahu di mana, pun ada atau tidaknya di rumah ini. Langkahku penuh kehati-hatian agar tidak menyenggol perabotan keramik, atau salah-salah jempol kakiku kesandung kaki lemari.

"Adoh! Sial, baru saja aku bilang sudah kesandung beneran"

Sebentar kuberhenti untuk menghilangkan nyeri. Lemari yang kutendang barusan ada di samping pintu kamar kakek. Setidaknya berkat kecelakaan kecil itu, aku jadi menemukan lilin meski cuma sebatang. Tinggal berharap padamnya tidak terlalu lama. Lilin ini tidak akan bertahan melewati tengah malam. Belum lagi, aku hanya punya sebatang, dan sedang bingung di mana pelita ini harus kuletakkan.

Kunyalakan lilin menggunakan korek, dengan segera cahaya menerangi sebagian ruang televisi. Kuncup apinya bergoyang-goyang karena tertiup angin yang masuk melalui jendela di ruang televisi. Kuteteskan lelehan lilin pada tutup stoples, kurekatkan batangnya agar bisa kubawa ke mana-mana.

Kututup jendela yang terbuka agar air hujan tidak bertempasan ke dalam. Sesaat kulihat betapa gelapnya di luar. Untuk sebuah rumah yang berada di dekat hutan, padam saat malam adalah sebenar-benarnya cobaan, sedangkan aku hanyalah sosok lemah yang sedang meratapi sunyi dan gelapnya kesendirian. Suara kendaraan besar yang bising saat siang, terasa jadi berkah di situasi seperti ini. Setidaknya masih ada suara selain bunyi tetes hujan di atap, dan setidaknya kendaraan yang lalu-lalang itu membuatku tidak merasa tinggal di antah berantah. Di antara paduan suara hujan dan kendaraan di jalan besar, ada satu suara yang seharusnya tidak kudengar. Tidak di rumah, tidak di sekitar sini, tidak pula malam-malam begini.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang