CHAPTER 10

4.1K 509 25
                                    

Sulit rasanya pura-pura menikmati sarapan setelah apa yang kualami semalam. Pagi ini aku dan kakek makan bersama di ruang tamu. Beruntung kakek pulang subuh bawa dua kotak nasi, karena hari ini aku tidak bernafsu masak, bahkan pergi ke dapur pun malas. Hampir setiap dua suapan aku teringat wajah di balik kaca. Setiap kali melihat pintu tripleks, aku teringat suara cakaran tengah malam. Ingin rasanya bercerita pada kakek, tapi kalau ingat bagaimana marahnya kakek saat aku bahas tentang Pak Ahsan kemarin, sebaiknya aku diam. Setidaknya untuk sekarang.

"Kok bengong?" tanya kakek, melihatku menjeda makan setiap dua suap.

"Masih ngantuk, Kek," jawabku.

Kakek cuma mengangguk. Aku tahu ada yang ingin dia tanyakan lagi, tapi karena sedang makan, kami membatasi percakapan.

Merasa benar-benar tidak nafsu makan, aku terpaksa menyisakan separuh nasi kotak. Mungkin akan kulanjutkan nanti, atau bisa jadi lupa sampai basi. Kakek juga tidak protes. Biasanya paling cerewet kalau anak dan cucunya menyisakan makanan.

***

Sudah lama aku tidak bertemu sahabatku. Warung kopi di dekat pesantren Sumbergede jadi tempat melepas kangen, karena di tempat inilah dulu kami biasa nongkrong berempat, sebelum masing-masing memilih jalan merantau, dan akhirnya kami hanya tinggal berdua.

Namanya Hariyanto, sejak kecil dipanggil Hari, setelah remaja minta dipanggil Erik. Sebuah proses yang wajar ketika melewati masa pubertas. Semua anak muda ingin punya nama keren, meski seringkali terdengar norak dan memalukan. Setidaknya nama Erik masih terasa normal dan mudah diucapkan, serta tidak terlalu kebarat-baratan. 

Aku pun demikian. Sejak kecil keluarga memanggilku Fatah, baru ketika masuk Madrasah ustaz dan teman-teman memanggilku Dani. Menurutku itu lebih baik, karena Abdul Fatah adalah nama salah satu pengasuh pesantren Sumbergede, dan itu jadi beban tersendiri buatku. Bagaimana jika akhlak dan ilmuku tidak sehebat nama besar yang kusandang? 

"Kurus sekali kamu Dani, di pesantren makan apa?" ledek Erik, yang sebenarnya jauh lebih kurus daripada aku.

"Nggak ada hubungannya sama makanan," jawabku.

Warung kopi ini tidak punya nama, dan seperti kebanyakan warung kopi tak bernama, maka nama pemiliknyalah yang dikenal orang. Kami menyebutnya Warkop Nyai Munah. Pemiliknya bernama Maimunah, suaminya bernama Maimun, tapi sudah meninggal. Karena letaknya yang masih berada di jalan utama Sumbergede, dekat dengan gerbang masuk pesantren, maka pelanggan utama Nyai Munah adalah para santri. Melihat pakaian Erik yang berkaus metal, bercelana celana jins sobek lutut, rasanya kontras sekali dengan kebanyakan pengunjung bersarung dan berbaju koko. Belum lagi rambut Erik yang belah tengah dan disemir kuning kecokelatan, membuatnya kerap jadi perhatian orang-orang berkopiah putih.

"Betah di Gandrung?" tanya Erik.

"Aku mondok di sana sudah tiga tahun, dibilang betah masih sering kangen rumah, tapi sudah terbiasa banget sama lingkungan di sana."

"Salahmu sendiri mondok di luar, padahal di Sumbergede ada pesantrennya juga. Lebih besar dari pesantren di kota Gandrung malah."

"Rencananya, sih, gitu, tapi Abahku ini ngotot banget mondokin aku di Darul Ulum Gandrung, soalnya Abah alumni sana."

"Pak Karim mondok di sana? Baru tahu. Kirain alumni Sumbergede."

"Jadi, ceritanya dulu tuh Abah sama Kakek musuhan—sampe sekarang, sih—Nah, Abahku ngambek, biasalah masih muda, akhirnya minggat. Eh, hampir enam bulan baru ada kabar kalau Abah udah nyantri di Darul Ulum, terus nggak mau pulang. Kakek juga nggak mau jenguk."

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang