LEGENDA BATU LEMBU (BAGIAN DUA)

1.2K 94 11
                                    

Bukan pertama kalinya bagi Ahsan melihat mayat tergeletak di atas genangan darah. Ia terbiasa menyaksikan yang jumlahnya belasan, bahkan puluhan. Kendati demikian, satu mayat di hadapannya kini punya kesan yang berbeda. Mayat itu bukanlah gerilyawan yang gugur di medan perang, bukan pula korban tindak kriminal, melainkan manusia pertama yang Ahsan kirimkan pada kematian dengan tangannya sendiri, tangan yang kini gemetar oleh sebuah pencapaian barunya sebagai pembunuh.

Dalam detik-detik yang terasa cepat, Ahsan mencoba menjustifikasi tindakannya barusan. Setidaknya status membela diri bisa ia jadikan sebagai peredam rasa bersalah yang mungkin akan menghantuinya seumur hidup.

"Satu lagi," gumam Ahsan.

Cepat ia pergi menyusul Hayati. Tak ingin rumahnya menampung satu mayat lagi. Selama berada di dapur, Ahsan sama sekali tidak mendengar suara. Bahkan setelah gaduh yang timbul akibat perkelahiannya barusan, ia sama sekali tidak mendengar reaksi sang istri. Ahsan berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi.

"Uda."

Ahsan mendapati Hayati sedang berada dalam posisi terancam. Ia berdiri kaku dengan kedua tangan terangkat, sementara sebilah pisau melintang di lehernya. Perampok berkemeja itu menyandera Hayati, menjadikannya tameng selagi ia mengutuk dan mengancam Ahsan dari belakang.

Di atas kasur, pasien ahsan telah meregang nyawa. Darah mengalir dari perutnya hingga menetes ke lantai. Tak perlu menerka, Ahsan tahu siapa pelakunya.

"Ke mana Sembing?" tanya si perampok sembari menodongkan pisau.

"Sembing?"

"Ke mana temanku?" Hardik si perampok.

"Dia ... lagi di kamar mandi," jawab Ahsan kikuk.

Ahsan sadar kebohongannya terlalu mencolok, ia bahkan tidak akan bisa membohongi anak kecil dengan alasannya barusan, apalagi seorang dewasa yang dengan liciknya bersandiwara demi bisa menerobos rumah.

"Dia mati, kan?" tanya si perampok.

"Ti-tidak, temanmu seh--"

"JANGAN BOHONG!"

Ahsan terhenyak, tapi dengan cepat ia meraih tenangnya kembali.

"Sebenarnya kalian mau apa? Uang? Saya bisa kasih."

"SEMBING!"

Perampok berkemeja itu memanggil rekannya. Ia bergerak selangkah demi selangkah mengitari Ahsan, mendekati pintu ke arah dapur sambil tetap berusaha menahan Hayati agar tidak lepas dari belenggunya.

Ahsan tidak menyangka perampok itu akan sangat marah. Berdasar dari pengalamannya bersinggungan dengan banyak orang jahat, mereka cenderung tidak peduli dengan nasib satu sama lain. Justru mereka senang bila rekannya tewas, karena tidak harus membagi hasil rampokan dengan banyak orang.

Dalam gamang dan panik, perampok itu akhirnya menyadari noda darah di tangan Ahsan serta beberapa percikan yang terlihat jelas di kemejanya. Seketika air muka si perampok memasam. Ia pun murka.

"Kau ... kau bunuh dia?" tanyanya.

Pisau di leher Hayati bergetar akibat geram si perampok yang sudah sampai ubun-ubun. Ia tampak tidak lagi segan menghabisi sanderanya.

"Kau bunuh Sembing? Kau bunuh adikku?"

"Di-dia masih hidup," Ahsan mencoba meredam amarah si perampok.

"Diam!"

Ahsan mengerti ke mana percakapan ini akan berujung. Ia tidak hanya membunuh rekan si perampok, tapi sekaligus adiknya, dan melihat bagaimana reaksi sang kakak, sepertinya balas dendam tak bisa terelakkan. Nyawa Hayati sedang di ujung belati. Tidak ada gunanya mengajak perampok itu bicara, segera Ahsan memberi Hayati aba-aba.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang