CHAPTER 19

2.8K 428 14
                                    

Firasat buruk tadi sore kubawa sampai malam datang, dan makin parah saat lagi-lagi aku menemukan sebuah ubi rebus di teras. Tanpa pikir panjang, aku langsung membuang ubi itu ke seberang jalan. Kiranya sejam aku mondar-mandir di dalam rumah menunggu kakek yang tak kunjung pulang. Gorengan yang tadi hangat kini mendingin bersama hawa malam mendung. Terpaksa aku makan juga karena lapar sudah tak terbendung.

Kuhabiskan waktu menonton televisi dan membaca buku, terus bergantian sampai kedua aktivitas itu tidak lagi terasa menghibur. Bosan. Kulihat jam dinding sudah menunjuk angka delapan. Waktunya memasukkan motor ke dalam ruang tamu.

Untuk kedua kalinya aku coba menelepon Erik. Panggilan pertama tak terhubung, sedangkan yang kedua aku hanya dapat kabar dari adiknya kalau Erik belum juga pulang. Barulah aku pasrah meratapi nasib. Tinggal di rumah yang jauh dari tetangga, sendirian jauh dari orangtua, berada di tengah ragam masalah yang terjadi di desa, dan tidak ada satu orang pun untuk berbagi cerita.

Saat memutuskan untuk tidur, kudengar suara dari ruang tamu. Kali ini bukan bunyi sembarang, bukan juga sepatah dua patah kata, melainkan satu bait lagu yang dinyanyikan dengan suara rendah, nada tak beraturan, dan napas yang cenderung mendesah, serta bahasa yang tidak kumengerti.

Pikiranku langsung tertuju pada mereka, keenam anak Pak Jawi yang dinyatakan hilang setelah kebakaran, karena selain mereka, tidak ada orang waras yang nekat pergi satu kilometer jauhnya, hanya untuk menerobos masuk ke rumah orang lain tanpa izin, di malam hari pula.

Aku bisa saja tetap di kamar dan mencoba tidak peduli, tapi rasa penasaranku tak bisa kutahan lagi. Kalau sumber suara di ruang tamu itu bisa menjawab satu saja misteri yang ada, maka aku rela memaksakan diri untuk memeriksa.

Kubuka pintu kamar. Kubawa sebelah sandal, tapi bukan sebagai alas kaki, melainkan sebagai senjata. Entahlah, semasa kecil dulu, aku amat takut jika ibu menjemputku sambil membawa sandal. Kupikir metode ini pun bisa menakuti anak-anak aneh itu.

Kali ini langkahku cepat. Takutku pada mereka mulai berkurang karena telah terbiasa, dan setelah semua yang terjadi, aku makin yakin kalau mereka hanyalah anak manusia, terlepas dari beberapa hal yang tidak biasa. Sesampainya di ruang tamu yang kuduga adalah sumber suara nyanyian barusan, aku tidak menemukan siapa-siapa, sementara nyanyian itu masih mengalun di ruangan gelap, dan tidak berhenti bahkan saat lampu kunyalakan.

"Se-sembunyi di mana kalian?"

Senjataku jadi tak berguna, tidak jadi kulemparkan karena tidak ada sasaran. Kuletakkan sandalku di atas jok motor, lalu melihat sekeliling ruangan berharap menemukan seseorang.

KAKAK

Aku menoleh ke belakang. Seseorang memanggilku dari ruang televisi. Sigap aku menghampiri, dan segera menyambar sakelar lampu yang ada di samping lemari. Sama seperti barusan, aku tidak menemukan siapa pun kecuali sebuah benda tergeletak di atas kasur lantai. Sebuah bantal berwarna putih dengan gambar mata, hidung, serta mulut yang dibuat menggunakan entah spidol, atau pena.

Tanganku belum lepas dari sakelar lampu, bergetar karena teror yang tidak masuk akal. Merasa terancam oleh sesuatu yang tidak bisa aku lihat, niatku untuk melawan kini berubah drastis menjadi rencana untuk kabur.

"I-itu boneka si Mencong?"

Instingku menajam, hingga tanpa diperintah serta tanpa alasan jelas, aku mendongak ke atas lemari, mendapati si Mencong sedang duduk jongkok, melongok ke bawah, menampakkan wajahnya yang rusak seperti terkena luka bakar.

"Kakak," sapanya, lirih.

Persetan dengan melawan, aku lari terbirit-birit kembali ke ruang tamu, berencana kabur sejauh mungkin dari rumah ini. Berharap pintu rumah tidak tiba-tiba macet seperti kebanyakan adegan di dalam film, dan syukurlah kunci pintu rumah terbuka hanya dengan sekali coba.

KAKAK

Aku menjerit karena tiba-tiba si Mencong sudah berada di belakangku, menyeret boneka anehnya itu, mengulurkan tangannya yang hitam legam. Jelas aku tidak menyambut uluran tangannya, justru aku makin mantap membuka pintu, menutupnya lagi, mengunci, lalu berlari ke halaman.

"Dani?"

"Erik?"

Terkejut dengan siapa yang kutemui di halaman rumah. Erik belum sempat mematikan mesin motornya, kesempatan yang bagus buatku untuk segera naik dan menepuk pundak Erik agar menyegerakan tahap akhir dari rencana besarku untuk kabur.

"Cepat berangkat!"

Tanpa banyak tanya, Erik memutar motor di halaman, lalu kami pun pergi meninggalkan si Mencong yang sedang mengintip di dalam rumah, di balik kaca jendela.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang